ITS News

Kamis, 14 November 2024
28 November 2011, 08:11

Belajar dari Jembatan Kutai Kartanegara

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Faktor Penyebab
Karena terjadinya keruntuhan baru tanggal 26 November 2011, sekitar pukul 15.00, maka penyebab terjadinya keruntuhan belum bisa diuangkap secara pasti. Tetapi tim investigasi forensik penyebab terjadinya keruntuhan tentunya sudah mulai bekerja. Penyebabnya masih diselidiki oleh pakar yang kompeten.

Tidaklah mudah mencari penyebab runtuhnya struktur jembatan. Penelitian bisa dimulai dari meminta informasi saksi mata. Langkah selanjutnya adalah mempelajari model keruntuhan struktur, dengan mengamati kerusakan pada struktur yang telah berdiri maupun kerusakan ‘bangkai’ struktur yang telah roboh jatuh ke sungai.

Semua kemungkinan penyebab keruntuhan dicatat untuk kemudian dianalisa dengan berdasarkan gambar pelaksanaan (shop drawing) maupun gambar perencanaan (engineering drawing). Di sinilah diperlukan institusi Rekayasa Forensik yang independen untuk mengetahui penyebab runtuhnya struktur bangunan.

Banyak sekali kemungkinan penyebab runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara. Mulai dari faktor beban tetap, beban angin, beban kendaraan, maupun faktor pengaruh alam. Yang paling sering mendapatkan perhatian terhadap kasus jembatan jenis Suspension Bridge ini adalah faktor beban angin.

Beban angin yang menyebabkan terjadinya puntiran seperti pada dek jembatan Tacoma Narrows-Washington. Apakah saat runtuhnya jembatan Kukar bertiup angin kencang? Apakah jembatan Kukar terlalu langsing? Faktor kelelahan material juga tidak boleh diremehkan walaupun usia jembatan baru berumur 10 tahun.

Di sini yang menentukan adalah beban dinamis, baik oleh angin maupun kendaraan. Faktor penggerusan dasar sungai terhadap posisi pilar jembatan juga tidak boleh diabaikan, karena menurut informasi terdapat pergeseran posisi pilar akibat kejadian ditabrak kapal yang berlalu lintas di sungai Mahakam. Walaupun sudah memperhitungkan semua kemungkinan pembebanan, tidak mustahil ada beberapa bagian elemen struktur yang mengalami perlemahan akibat korosi. Perlu dievaluasi lebih mendalam.

Pelajaran yang bisa dipetik
Karena jembatan bentang panjang jumlahnya tidak banyak dan biaya yang diperlukan untuk membangun juga sangat besar, maka pembangunan jembatan harus dilakukan oleh konsultan dan kontraktor yang mempunyai tenaga ahli bersertifikat.

Undang-undang  No 18 tentang Jasa Konstruksi yang mempersyaratakan adanya sertifikasi tenaga ahli baru diundangkan tahun 1999, dan pelaksanaannya pun sampai saat ini masih belum berjalan dengan maksimal. Jumlah sarjana teknik yang bersertifikat untuk menjadi Insinyur Profesional masih sedikit sekali. Tenaga ahli konstruksi baik Perencana, Pelaksana, Pengawas maupun Manajemen Konstruksi harus bersertifikat.

Setelah bangunan selesai masa konstruksi masih diperlukan anggaran untuk pemeliharaan. Hampir dipastikan bahwa menentukan biaya pembangunan lebih mudah dan lebih cepat untuk diputuskan. Tetapi alokasi anggaran untuk pemeliharaan dan rehabilitasi bangunan yang telah berdiri sangat sedikit sekali dianggarkan, ataupun kalau kita mau jujur, bahkan tidak ada sama sekali.

Perlu diketahui bahwa, minimal anggaran yang harus disiapkan adalah sekitar 1 persen – 2 persen dari total biaya awal membangun (initial cost). Biaya pemeliharaan tergantung dari lebar jembatan, panjang bentang, kepadatan lalu lintas dan umur jembatan. Sebagai ilustrasi, jembatan Chicago yang telah berusia 100 tahun lebih, biaya perawatan setiap tahunnya bisa mencapai 2,82 kali biaya awal membangun.

Diperlukan sistem monitoring jembatan selama masa rencana umur jembatan. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, sangatlah mudah untuk memonitor kondisi jembatan dari waktu ke waktu, bahkan setiap detiknya. Monitoring terhadap pengaruh lingkungan, pengaruh lalu lintas, pengaruh efek kelelahan material akan dengan mudah diketahui dan bisa diketahui sejak dini. Sehingga peristiwa runtuhnya jembatan secara tiba-tiba dapat dicegah. Sekarang, bagaimana kita memanfaatkan teknologi untuk mencegah terjadinya korban jiwa dan material akibat runtuhnya jembatan.  

Bisa membuat, tetapi tidak bisa memelihara. Kurikulum jurusan Teknik Sipil perlu ditinjau ulang. Semua Perguruan Tinggi yang mempunyai jurusan Teknik Sipil, sebagian besar mata kuliah yang diajarkan adalah bagaimana merencanakan dan merancang bangunan (planning and design), sangat sedikit atau bahkan tidak ada yang mengajarkan bagaimana memelihara bangunan agar awet dan bertahan sampai lebih dari 50 tahun.

Harus diakui bahwa mata kuliah pemeliharaan bangunan hanya diajarkan di Program Magister dengan Peminatan Manajemen Konstruksi, itu pun hanya 3 SKS. Di lain pihak, Perguruan Tinggi sangat minim pakar yang mempunyai pengalaman luas di bidang konstruksi jembatan, karena di dalam kenyataannya, profesi sebagai dosen dilarang berpraktik sebagai konsultan perencana jembatan.

Sungguh sangat memprihatinkan, di satu sisi kita perlu dosen yang berpengalaman, tetapi di sisi lain dosen tidak boleh berpraktik sebagai insinyur. Tantangan bagi kita semua untuk menyempurnakan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi maupun Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Perlu Lembaga Independen
Diperlukan kajian dari lembaga independen untuk menegetahui penyebab dan penanggungjawab runtuhnya jembatan tersebut.  Tidaklah mudah mencari penyebab runtuhnya jembatan, apalagi mencari siapa yang harus bertanggung jawab.

Menurut peraturan perundangan yang berlaku, UU No.18/1999, harus ada yang bertanggung jawab terhadap adanya kegagalan struktur, apalagi yang menyebabkan terjadinya korban jiwa. Yang bertanggung jawab bisa Pengguna Jasa (Pimpro) atau Penyedia Jasa (konsultan, Kontraktor), adakah unsur perbuatan melanggar hukum oleh para pihak tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan penyelidikan secara forensik.

Semoga pelajaran dari runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara bisa dipetik untuk dijadikan pengalaman yang berharga bagi kita semua. Sekali lagi pesan dari Kukar: Jangan hanya bisa membuat, tetapi yang lebih penting adalah memanfaatkan dan memeliharanya. (*)

 

Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD
Dosen Jurusan Teknik Sipil ITS

Berita Terkait