Empat istilah tersebut sering menjadi topik bahasan pelestarian lingkungan. Meski perusakan yang sama terus berulang, diiringi dengan dampak yang berpengaruh langsung terhadap stabilitas ekosistem lingkungan. Kita (manusia) seolah tidak kenal jera sebelum planet ini benar-benar mencapai batas ketahanannya menanggung segala destruksi. Global warming, climate change, kerusakan ozon, dan pencemaran sungai. Dahulu, kerusakan semacam ini masih berupa prediksi ilmuan dan pemerhati lingkungan. Namun kini semua itu mulai nyata.
Ada satu masalah pokok yang belum dapat kita selesaikan dengan benar, yang merupakan ihwal paling mendasar untuk segera ditemukan. Masalah lingkungan sudah semakin urgent. Terlebih ketika media semakin sering meletakkannya sebagai trending topic dalam isu berita.
Masalah lingkungan bukan lagi soal integrasi antar negara industri dan negara berkembang untuk sama-sama mereduksi kerusakan lingkungan. Bukan juga tentang pabrik industri yang makin rajin memproduksi limbah hingga mencemari air, tanah, dan udara. Ini lebih kepada penyikapan individu terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Sikap individu memposisikan alam dan entitas pengisi di dalamnya.
Orangutan
Seperti apa kita meletakkan perspektif terhadap makhluk di luar spesies kita?, seperti flora, fauna, dan ekosistem. Ketika kita beranggapan semua entitas itu tak lebih dari sekedar barang komoditas, produsen, maka yang terjadi adalah eksploitasi yang berujung pada kriminalitas terhadap makhluk hidup selain manusia.
Definisi kriminalitas tidak hanya berlaku pada perusakan manusia oleh manusia. Merampas hak hidup satwa dan flora, bagi saya, juga termasuk tindak kriminal. Kompas cetak edisi 23 November menyuguhkan cerita dramatis ”pembantaian” orangutan dan beberapa spesies sejenis lainnya.
Dalam segmen lingkungan dan kesehatan Kompas memaparkan, ketika orangutan sebagai satwa dilindungi diburu dan dibunuh karena dianggap sebagai ”hama” tanaman kepala sawit. Padahal, bisa jadi indikasi tersebut muncul karena habitat orangutan yang dijamah oleh industri perkebunan kelapa sawit, lantas merampas habitat asli orangutan. Tetapi, dengan tanpa merasa berdosa, manusia menghilangkan nyawa satwa langka tersebut.
Di segmen lain, illegal logging semakin marak. Pepohonan hutan lindung dibabat tanpa ampun. Akibatnya sudah jelas. Kering ketika kemarau, dan banjir bandang manakala hujan. Atau tengok saja ulah industri membuka hutan tempat habitat satwa liar. Berdalih untuk kepentingan peningkatan produksi hingga kebutuhan pasar.
Perburuan dan destruksi semacam ini tidak akan terjadi, manakala kita menganggap hewan dan tumbuhan tidak hanya sebagai komoditas atau benda. Melainkan makhluk hidup bernyawa yang juga memiliki hak untuk sama-sama hidup.
Ada indikasi sikap semena-mena manusia terhadap makhluk hidup. Yang penting untung, yang penting dapat uang, selebihnya tak ada urusan. Sensitifitas terhadap lingkungan pun seolah terbenam di ruang antah berantah. Bisa jadi kepemilikan akal membuat manusia merasa menguasai segala apa yang ada di bumi berikut isinya.
Bisa jadi kita tidak akan percaya, sebelum teori kerusakan ekosistem yang acap kali dipublikasikan ilmuan dan pemerhati lingkungan benar-benar terwujud dalam gambaran nyata. Sampai hari ketika segala kerusakan menunjukkan ancaman terhadap kehidupan spesies manusia itu datang. Baru saat itu kita sadar. Lantas dengan mudahnya muncul ungkapan ”menyelamatkan bumi”.
Kalimat menyelamatkan bumi, bagi saya, terasa ganjil. Ungkapan tersebut mempunyai implikasi bahwa manusia lebih kuat dari bumi. Logikanya, pihak yang menyelamatkan tentu punya kekuatan lebih dari pihak terselamatkan. Apa benar manusia sedemikian kuatnya hingga mampu menyelamatkan bumi – ketika kerusakan sudah semakin parah.
Manusia Ibarat Tukang Kebun
Menurut National Geographic, populasi manusia Bumi kini sedang menuju angka sembilan hingga sepuluh miliar. Saya tak kuasa membayangkan, apa jadinya jika Bumi kita dipenuhi manusia yang masih beranggapan bahwa bumi adalah rumah tempat mereka ”bermain” dan menguasai segala ihwal di dalamnya.
Rasanya kita masih perlu banyak belajar menghargai. Bumi sebagai tempat kita numpang. Terhadap bumi, bukan hak milik yang kita miliki melainkan hak pakai, hak tinggal sementara. Ibaratnya bumi ini rumah, sementara manusia tak lebih dari tukang kebun. Bertugas memelihara dan memperindah setiap ihwal yang hidup di dalamnya. Mencegah kerusakan yang berpeluang menghancurkan habitatnya. Manusia adalah tukang kebun bagi rumah (Bumi), maka tidak sepantasnya seorang tukang kebun menghancurkan kebunnya sendiri.
Solusi bagi setiap perbuatan destruksi bukan hanya sanksi. Lebih dari itu, akan lebih efektif kiranya jika kita tumbuhkan ”sensitifitas alam” dari dalam diri kita. Selama manusia masih menganggap flora dan fauna tak ubahnya barang dagangan, perusakan itu akan tetap terjadi.
Intinya, sebagai sesama makhluk bernyawa sepatutnya kita saling menghargai hak hidup. Menganggap diri berada di puncak rantai makanan membuat kita seolah lupa ihwal siapa sebenarnya diri kita. Sejatinya, kita tak ubahnya tukang kebun di halaman rumah Tuannya.
Arinda Nur Lathifah
Mahasiswa D3 Statistika Angkatan 2010
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)