Saya dan teman sekelompok sudah membuat janji untuk melakukan survei di sebuah kantor perusahaan telekomunikasi di daerah Ketintang, Surabaya. Kami berdua menuju ke sana menggunakan taksi yang saya telepon untuk jemput di kampus. Bukannya sok elit, tapi saya bukan orang asli Surabaya, setahun di kota ini belum cukup memberanikan diri untuk pergi jauh kalau tidak konvoi bersama teman.
Agak lama taksi menjemput sampai saya harus telepon dua kali untuk memberikan petunjuk letak jurusan. Ketika datang, kami segera masuk dan menyebutkan tujuan. Lalu berangkatlah kami.
Tidak ada pembicaraan di antara kami pada awalnya, hanya ada musik campursari dari radio mobil. Saya begitu menikmati musiknya karena jarang-jarang bisa mendengarkan musik berbahasa Jawa Timur-an yang high-level alias baku atau sopan.
Beberapa meter di sekitar Royal Plaza, sopir taksi berbicara kepada kami. Awalnya, sopir itu mengira saya bekerja di kantor perusahaan yang sedang kami tuju. Mungkin karena saya mengenakan setelan baju kerja mirip pekerja kantoran. Ketika tahu kami berdua masih mahasiswa, ia segera menasihati kami. ”Belajar yang benar yo, mas. Jangan males-malesan,” ujarnya mengingatkan.
Kami mengobrol lebih jauh. Ia mulai bercerita mengenai adiknya, yang sekarang bekerja di Jakarta. ”Adik saya dulu gak tak (tidak saya, Red) bolehin kuliah, mas. Sampai dia nangis-nangis,” ia mengawali. Sopir itu berkata, saat itu ia bingung bagaimana harus membiayai adiknya itu, karena ia hanya seorang sopir taksi.
Tapi ternyata adiknya bersikeras hendak kuliah. Akhirnya sopir itu mengalah. Adiknya pun kuliah di Teknik Elektro ITS. Tetapi ia hanya bisa memberikan uang Rp 130 ribu setiap bulannya. ”Untungnya di kampus banyak keringanan ini-itu,” lanjutnya.
Meski begitu, sopir itu nampaknya sedikit menyesalinya. Dulu, saat lulus adiknya pernah langsung bekerja di sebuah kantor pajak. Namun, tak lama kemudian ia keluar. Ternyata adiknya merasa tak cocok dengan kondisi kerja di tempat itu.
Menurut sopir itu lagi, sebenarnya adiknya itu memang sudah menjadi kutu buku sejak kecil. Karena itu, mungkin tidak heran ketika ia begitu bersikeras untuk kuliah. ”Padahal saya sudah bilang, banyak lho yang kuliah juga kerjanya tidak jelas, tidak sesuai bidangnya,” imbuhnya.
Adiknya termasuk di antara orang-orang yang beruntung. Selepas kuliah, ia pun melanjutkan studi ke Korea selama dua tahun. Ia juga sempat bekerja di perusahaan teknologi Samsung. Saat ini, ia bekerja di perusahaan telekomunikasi ternama di Jakarta. ”Waktu dia wisuda saya tanya, banyak tidak teman-temanmu yang belum jelas kerjanya? Dia mengakui bahwa memang masih banyak yang selepas kuliah justru bertambah ogah-ogahan,” kata sopir itu.
Saya dan teman hanya bisa tercengang mendengar ceritanya, speechless! Dan saat itu pula saya merasa bahwa Tuhan memang sengaja mempertemukan saya dengannya, mungkin untuk lebih memotivasi saya dalam kuliah.
Sebenarnya kisah ini tergolong klasik. Kisah yang bahkan mungkin terjadi pada kita sekalipun. Namun saya sangat kagum pada bagaimana sopir itu bercerita mengenai adiknya.
Hanya beberapa menit saja, namun tergambar dengan jelas betapa optimisnya adiknya itu. Keinginan kuatnya untuk kuliah, walaupun sederhana, tetapi saya yakin ia berpendapat seperti itu semata-mata agar kualitas keluarganya menjadi lebih baik.
Stephen R. Covey dalam bukunya The Four Discipline of Execution mengungkapkan bahwa kita perlu memiliki sebuah rutinitas sebagai aksi dalam mencapai tujuan, bukan lagi sekedar langkah yang run-once-and-done (sekali jadi lantas usai). Contohnya, ketika seorang staf menetapkan discipline of execution (DoX) bagi dirinya sendiri berupa interaksi dengan atasan setidaknya tiga kali seminggu.
Ia konsisten melakukannya, tidak peduli apa yang orang bicarakan, bahkan walau hanya bertemu di lift sekalipun. Pada suatu saat atasannya diminta menentukan seorang penerus atau pengganti, orang yang akan pertama keluar di kepalanya kemungkinan besar adalah staf yang sering berinteraksi dengannya.
Mungkin tanpa sadar adik sopir taksi itu telah menerapkan apa yang disebut Covey sebagai DoX itu. Ia tidak peduli akan kerja di mana, yang penting kuliah sebaik mungkin, dengan penuh totalitas. Selain karangan Covey itu, kekuatan akan keyakinan juga pernah ditulis oleh Rhonda Byrne dalam buknya The Secret dan Ayu Widya dengan Semesta Mendukung.
Mari kita bercermin pada diri kita sendiri. Betapa kita sering kali mengeluh. Padahal fasilitas sudah lumayan lengkap, walaupun tidak mewah. Masihkah kita sanggup mengeluh dan mengabaikan cita-cita kita dan harapan orang-orang yang menyayangi kita?
Adhika I D Pratomo
Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi angkatan 2010
Selamat ber-resolusi 2012!
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)