ITS News

Kamis, 14 November 2024
23 Januari 2012, 20:01

Hati-Hati ITS!

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Seluruh video diawali dengan sebuah pertanyaan mengenai setiap topik. Intinya sebenarnya sama; bagaimana mahasiswa ITB mempertanggungjawabkan keahliannya di hadapan rakyat.  Baik dari sisi akademik, sosio-ekonomi, teknologi, maupun seni dan budaya. Pertanyaan ini lantas dijawab oleh beberapa orang narasumber. Mereka tak lain adalah mahasiswa ITB sendiri yang sudah berkontribusi di bidang-bidang tersebut.

Mendengar jawaban mereka, saya sebenarnya tidak terlalu impressed. Di bidang akademik, misalnya. Ada mahasiswa yang mengadakan kegiatan pendidikan non-formal untuk anak jalanan. Ada yang memilih memberi pendidikan bagi warga di desa binaan terkait mengolah potensi desa mereka. Ada juga yang mengadakan pendidikan bagi anak-anak usia SD dan SMP.

Dalam hati saya bertanya, apa bedanya dengan Surabaya Goes To School yang sudah selama ini dikelola secara tekun oleh mahasiswa ITS? Juga bagaimana dengan mahasiswa anggota kelompok Lentera Harapan dan membina anak-anak di kawasan lokalisasi Dolly setiap pekan? Apa bedanya, apa kelebihan mereka dari kita?

Meskipun, memang, saya akui, beberapa kegiatan bisnis mereka memang bisa dibanggakan. Comdevor, misalnya yang menangani consulting bagi pengrajin-pengrajin lokal untuk menambah nilai jual produk-produknya. Mereka nampak sangat profesional mengelola bisnisnya.

Dari segi teknologi, sepertinya ITS juga masih kehilangan nyali. Salah satu narasumber video itu, Iyan Nurdiansyah dari jurusan Teknik Sipil ITB, memimpin teman-temannya se-himpunan mahasiswa dalam pembangunan jembatan bagi sebuah desa. Program ini juga dibawanya dalam Program Kreativitas Mahasiswa dan juga lolos ke Pimnas. Entahlah, ini mungkin sedikit tohokan bagi mahasiswa Teknik Sipil yang setiap tahunnya langganan juara Kontes Jembatan Indonesia (KJI).

Melihat serial video ini, membuat pertanyaan yang semula diajukan kepada mahasiswa ITB berbalik kepada penontonnya sendiri. Apa yang sudah kalian lakukan?

Lepas dari kreativitas konsep video tersebut, saya menangkap dua kunci utama dari Hati-Hati ITB. Yaitu kebersamaan mahasiswa serta dampak terhadap masyarakat. Mungkin, di luar sana, ada entah berapa banyak mahasiswa yang juga sebenarnya ber-‘kontribusi’ untuk masyarakat. Tapi, mungkin dua kunci utama itu belum terpenuhi dengan sempurna untuk menjadi nilai yang berarti bagi masyarakat.

Hati-Hati dengan PKM

Ada euforia besar dengan kembali lolosnya sejumlah besar proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) ITS. Kali ini, jumlah total kelolosan menduduki peringkat kedua, hanya dikalahkan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sekali lagi, mahasiswa menggembar-gemborkan keberhasilan ini dengan semangat untuk merebut piala di Pimnas nantinya.

Seseorang pernah berkata, bahwa setiap manusia bisa melakukan suatu hal atas dua niat. Niat yang tulus tapi diiring oleh niat yang mengharapkan pamrih. Dan dalam keadaan itu, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Tidak satupun dari yang diharapkannya itu.

Jika apa yang kita kejar itu semata-mata juara di Yogyakarta, maka hanya itulah yang akan kita dapatkan. Tak lebih. Kita akan mendapatkan kemenangan dan mendapatkan kemasyhuran. Tapi mungkin kita tidak berhasil untuk mengembangkan atau menggali lebih jauh manfaat dari PKM yang telah kita laksanakan. Hal ini, sebenarnya, adalah kerugian yang lebih besar daripada kita kalah, atau tidak lolos ke Pimnas.

Tapi keberhasilan juara di Pimnas maupun di kancah lainnya, itu memang bukan hal kecil. Itu adalah dampak alami dari kesungguhan menjalankan program yang kita rencanakan.

Ah, sebenarnya kita sangat beruntung. Kita berada di Surabaya, metropolitan dengan banyak permasalahan bawah tanah yang perlu diselesaikan.

Dulu, ITS sempat membantu warga di kawasan Lumpur Lapindo saat awal bencana itu menimpa. Saat ini, riset yang dilakukan masih berjalan. Tapi belum ada gerakan lanjutan terorganisasi yang secara teratur menangani masalah di sana.

Sebenarnya, diskusi ini juga beberapa kali saya jumpai dalam beberapa sesi wawancara bersama beberapa pihak di ITS. Pertanyaannya selalu adalah bagaimana agar ITS bisa lebih terasa oleh masyarakat sekitarnya? Kapan Keputih dan Gebang bisa menunjuk bangga kepada institusi di halamannya sendiri dan berkata, ”Orang-orang di sini lho, yang bikin kami hidup lebih sejahtera,” dalam apapun bentuknya itu.

Saya mungkin termasuk salah satu dari sekian orang yang menyayangkan betapa beberapa pihak di ITS terkadang lebih bangga bertindak untuk mendapatkan pamrih pengakuan dari media massa. Atau bahwa hingga saat ini ITS masih belum memiliki sebuah lembaga khusus yang secara totalitas menangani corporate social responsibility untuk masyarakat. Kegiatan pengabdian masyarakat sebenarnya banyak, namun terpecah-pecah dan mendapatkan dukungan yang tidak merata.

Kebebasan informasi di era ini, memang kadang-kadang bisa kejam. Kalau tak sanggup membawa nama dan reputasi sampai benar-benar ke kancah global maka bisa dianggap gagal. Ini bisa membuat kita kehilangan perspektif; mencoba mengejar yang tinggi dan jauh, sementara yang lebih dekat dan mulia terkadang terlupakan.

Mungkin saat ini kita tidak selalu secara besar-besaran dikenang di media massa nasional. Mungkin saat ini nama kita tidak melayang-layang di telinga dunia internasional. Tapi mungkin ada yang lebih penting daripada semua pengakuan tingkat atas. Yaitu seberapa besarnya masyarakat sekitar merasa memiliki sebuah institusi akademik bernama ITS.

Semuanya harus menjadi sebuah hubungan dua arah. Antara kerjasama mahasiswa maupun sivitas akademika dengan masyarakat di sekitarnya. Akademika butuh masyarakat untuk aplikasi keilmuannya. Masyarakat juga butuh nafas baru teknologi dan keahlian itu.

Hubungan itu perlu satu bumbu lagi, yaitu konsistensi. Layaknya sebuah biji perlu dipupuk dan disiram dalam jangka waktu tertentu sebelum menghasilkan bunga. Jangan harap bisa ‘menyelamatkan’ sebuah masyarakat hanya dalam jangka waktu pelaksanaan satu PKM, tanpa kontinuitas pasca program tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Hati-Hati ITB? Saya rasa apa yang mereka lakukan adalah mulai mengejar lagi apa yang selama ini mulai lepas. ITS, selama ini sudah banyak yang terjun ke masyarakat. Jiwa sosial kita mungkin sudah selangkah lebih di depan.

Semuanya memungkinkan untuk dibawa ke level yang lebih hebat. Dimana kita benar-benar melibatkan seluruh keilmuan kita. Baik dalam teknologi, sosio-ekonomi, pendidikan maupun seni budaya. Asalkan kita tetap waspada dan tidak pernah berhenti untuk menghasilkan manfaat.

Lisana Shidqina
Mahasiswa jurusan Arsitektur angkatan 2009

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Hati-Hati ITS!