Dalam UUD 1945, tersurat jelas empat misi besar bangsa Indonesia. Diantaranya; membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Ini bukan sebuah perumusan singkat. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tak sekadar bermain kata-kata. Para pasukan bambu runcing jelas menaruh harapan besar pada kita, para generasi penerus bangsa.
Sampai sekarang pun, pembacaan Pembukaan UUD 1945 tetap menjadi agenda rutin di detiap upacara bendera. Petugasnya selalu membacakan dengan intonasi perlahan, namun tegas.
Namun, 66 tahun sejak kemerdekaan Indonesia, sudahkah negeri ini benar-benar memajukan kesejahteraan umum? Atau telah cerdaskah seluruh rakyatnya?
Pada Oktober 2011, data Dinas Sosial Kota Pekanbaru mencatat sebanyak 1.293 anak-anak Riau telah putus sekolah. Peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan Education for All pada tahun 2011 pun menunjukkan sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak Sekolah Dasar (SD) putus sekolah setiap tahunnya.
Data-data tersebut menunjukkan masih banyaknya sekolah-sekolah di Indonesia yang mengalami kemerosotan mutu. Beberapa daerah di pedalaman bahkan tak terjamah fasilitas pendidikan. Sedangkan sekolah-sekolah di daerah perkotaan sudah kesusu menggembar-gemborkan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), adanya standardisasi mutu pendidikan dari International Organization for Standardization (ISO), dan sebagainya.
ISO sendiri sebenarnya adalah lembaga nirlaba internasional. Pada awalnya, ISO dibentuk untuk membuat dan memperkenalkan standardisasi internasional untuk apa saja. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan memperbaiki manajemen organisasi. Baik melalui perencanaan, pelaksanaan, pengukuran dan tindakan perbaikan, dan sebagainya.
Menjelang akhir tahun kedua saya di SMA, standardisasi untuk bidang pendidikan mulai marak dicanangkan di sekolah-sekolah favorit di Indonesia. Menjadikan kualitas internasional sebagai tolok ukur, tak pelak satu per satu lembaga pendidikan berlomba-lomba mencapai SBI.
Permasalahannya, sudah siapkah anak-anak negeri ini? Sudahkah pendidikan benar-benar merata di Indonesia? Jika belum, apakah standardisasi internasional itu tidak terlalu dini?
Lantas, mau dikemanakan anak-anak Pekanbaru? Tak perlu jauh-jauh, pengamen cilik di lampu merah Kertajaya saja, apakah mereka tidak berhak mengenyam pendidikan?
Pendidikan seolah menjadi kemewahan yang hanya dapat dinikmati mereka yang berstatus tinggi. Kesenjangan sosial seperti sengaja ditanamkan sejak dini, ke dalam jiwa-jiwa penerus bangsa. Generasi muda yang kelak meneruskan pembangunan Negara.
Lantas, kapan seluruh rakyat Indonesia bisa cerdas? Ironisnya, yang cerdas pun kebanyakan lari ke negeri orang, tak betah di tanah air sendiri. Sisanya menetap disini; tikus-tikus cerdas yang hobi mengerat uang rakyat.
Kembali pada misi besar bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah cerdaskah pilihan pemerintah untuk anak-anak negeri?
Cerdaskan Indonesia! Maka rakyatnya akan sejahtera.
Feny Puspa Sari
Mahasiswa jurusan Desain Produk Industri angkatan 2010
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)