ITS News

Kamis, 14 November 2024
05 Februari 2012, 22:02

Kiat Esemka, Di Manakah Arek ITS?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kehadiran mobil yang diberi nama Kiat Esemka ini ibarat angin segar di industri otomotif Indonesia. Berbagai apresiasi bermunculan dari banyak tokoh, mulai dari pejabat, akademisi, hingga kalangan artis sekalipun. Harapan pun muncul untuk menjadikan mobil buatan siswa SMK 2 Surakarta itu sebagai mobil nasional.

Jauh sebelum ini, Indonesia sudah beberapa kali mencatat sejarahnya. Sebut saja, Marlip, Maleo, Gea, Tawon, Komodo, Timor. Keenamnya, sama-sama karya anak bangsa. Ironinya, semua juga sama-sama jalan di tempat. Pertanyaannya, akankah Kiat Esemka mengalami hal serupa?

Sebenarnya, ketenaran Kiat Esemka hingga seperti sekarang, tidak lepas dari peran Walikota Surakarta, Joko Widodo memperkenalkan mobil tersebut kepada khalayak luar. Tidak hanya itu, belakangan, Jokowi -panggilan akrabnya- berada di garda depan untuk mendukung Kiat Esemka.

Bahkan dia pun bersemangat menjadikan mobil Kiat Esemka sebagai industri mobil rumahan sekaligus embrio untuk mewujudkan impian lama (mobil nasional). Dengan basis industri rumahan, Kiat Esemka tidak akan menjadi manufaktur besar. Melainkan hanya sebuah industri kecil dengan perkiraan kapasistas produksi 300-600 per bulan.

Kiat Esemka bisa jadi menjadi salah satu wujud perlawanan terhadap maraknya mobil impor di Indonesia. Jokowi mengimbuhkan, sebagai mobil nasional berbasis industri rumahan, Esemka tidak akan menjadi manufaktur besar, melainkan industri rakyat kecil dengan perkiraan produksi sekitar 300-600 unit per bulan.

Jokowi memang tidak salah berharap. Namun, perlu ditegaskan bahwa industri ini belum dapat berkembang menjadi industri otomatis. Begitupun ketika ditargetkan menjadi industri rumahan. Pasalnya, untuk membuat satu mobil Esemka, diperlukan waktu tida bulan. Sementara itu, industri mampu membuat satu unit mobil dalam delapan menit saja.

Ditambah lagi, beberapa pakar seperti Dahlan Iskan sempat meragukan kinerja dari mobil tersebut. Ia beranggapan bahwa potensi keterampilan siswa sekolah menengah kejuruan di Surakarta yang membangun Esemka masih sebatas proses pembelajaran, bukan proses produksi.

Bagaimanapun, berbagai perdebatan yang terjadi tidak menampik fakta Kiat Esemka mampu membuka mata masyarakat bahwa Indonesia telah siap berdikari di dunia otomotif. Selain itu, mobil ini pun menunjukkan eksistensi kemampuan siswa SMK yang tidak kalah dengan mahasiswa perguruan tinggi. Yang tidak kalah penting, disadari atau tidak, Kiat Esemka ini telah menjadi momok bagi perusahaan Jepang yang mempunyai pasar mobil di Indonesia.

Lantas, Di Manakah ITS?
Sekali lagi, disadari atau tidak, mobil Kiat Esemka bagai petir di siang bolong bagi para mahasiswa. Khususnya mahasiswa teknik. Tak dapat dipungkiri, kehadiran mobil ini menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat. Di manakah kau para mahasiswa?

Dalam satu kesempatan, saya sering mendengar, ”Ah, arek ITS gampang gawe mobil koyo ngono”. Atau pernyataan, ”Kita bisa buat yang lebih hebat”.

Kalau boleh saya bilang, ini bukan perkara gampang atau sulit, Bung. Saya seribu persen percaya, kalau arek ITS itu jauh lebih hebat. Atau justru bagi mahasiswa tingkat atas, membuat semacam mobil Esemka adalah hal yang terlampau mudah.

Tetapi inti masalah utamanya, mana buktinya? Mana ada yang percaya jika tak ada bukti!

Bisa jadi dua pernyataan di atas menjadi alasan bagi mahasiswa ITS untuk tidak berkarya. Mungkin ada puluhan mahasiswa ITS yang merasa membuat mobil seperti itu bukan ranahnya. Dengan gelar mahasiswa, menciptakan hal-hal yang menakjubkan adalah bagiannya. Mulai mobil irit, mobil bahan bakar A, B, C hingga mungkin suatu saat nanti mobil tanpa bahan bakar atau bahkan mobil terbang.

Selama ini ITS memang telah banyak menelurkan karyanya di bidang otomotif. Sebut saja Sapu Angin I hingga Sapu Angin V, SpeKtonics, TriCycle, hingga Mobil Antasena yang kini sedang dikembangkan. Sayangnya, kebanyakan dari mereka (mobil-mobil) hanyalah piranti lomba sesaat. Ketika menang dielukan, dan sudah itu tak ada nilainya.

Mungkin masih lekat dalam benak seluruh sivitas akademika ITS ketika mantan Wakil Presiden Indonesia, Yusuf Kalla mampir ke ITS. Pernyataan singkat yang seharusnya membuka mata kita. Hasil riset dan penelitian itu tak ada artinya sebelum memiliki nilai jual. Ditambah lagi, menyebutkan bahwa SpeKtronics tak ubahnya mainan sang cucu.

Memang menyakitkan, tapi seharusnya menjadi pelajaran. Seorang dosen pernah mengakui jika mahasiswa ITS memang suka hal-hal yang terlihat wah. Bukan sesuatu yang dibutuhkan dan disukai.  Ironinya, tak selalu apa yang wah itu disukai.

Saatnya Untuk Berubah
Kemunculan mobil Esemka bukanlah akhir dari segalanya. Justru ini menjadi momentum yang tepat bagi mahasiswa ITS untuk belajar bagaimana membuat sesuatu yang dibutuhkan. Bukan hanya sekedar wah. Membuat sesuatu yang menjawab kebutuhan masyarakat. Bukankah hal tersebut merupakan pengabdian masyarakat? Bukankah pengabdian masyarakat adalah bagian dari kewajiban mahasiswa?

Dari segi kemampuan, tentunya arek ITS jauh di atas siswa. Baik itu, kemampuan teknis kemampuan berpikir dan kemampuan manajemen. Dari segi kenekatan, arek ITS dikenal dengan bondo nekad (bonek)-nya. Bukankah itu lebih dari cukup?

Jaharani
Mahasiswa Teknik Kimia 2010

Berita Terkait