ITS News

Sabtu, 09 Agustus 2025
24 Februari 2012, 10:02

Pustaka Merah Putih, Dari Komunitas Menuju LSM

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Konon, terlaksananya acara Road Show PMP yang digelar Kamis (23/2), tidak luput dari bantuan himpunan mahasiswa terdekat dari area dihelatnya acara. Muhlas Hanif Wigananda, sang penggagas PMP mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena PMP dalam Keluarga Mahasiswa (KM) ITS hanyalah sebuah komunitas tak berbentuk. ”Bukulah yang membuat kami menjadi sebuah kesatuan,” ungkapnya.

Namun, sekali terbentuk menjadi sebuah komunitas, Muhlas tidak ingin hanya terus menerus menjadi komunitas. Maka, sebuah gambaran tentang masa depan gerakan PMP ini pun telah dipersiapkan. PMP akan dibentuk menjadi sebuah LSM yang bergerak dengan asas sosial. Namun faktanya tidak mudah ternyata membuat sebuah komunitas menjadi sebuah LSM di KM ITS.

Menurut peraturan ormawa, pembentukan LSM harus melalui Mahkamah Konstitusi Mahasiswa (MKM). Sedangkan hingga saat ini, MKM belum terbentuk dalam tatanan KM ITS. Sehingga pembentukan PMP menjadi LSM pun harus menunggu hingga MKM terbentuk. ”Insya Allah bulan April bisa menjadi organisasi resmi dalam bentuk LSM,” tukas Muhlas berangan-angan.

Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil ini pun mengungkapkan tujuan PMP menjadi sebuah LSM. Menurutnya, dengan menjadi LSM, PMP tidak akan terlibat dengan kegiatan politik kampus. Hal ini terkait dengan tujuan awal dibentuknya PMP untuk menyerukan gerakan ITS membaca. Sehingga gerakan PMP ini bisa secara langsung berimbas pada mahasiswa tanpa perantara apapun, dengan murni atas dasar gerakan sosial.

Strategi yang kini sudah dipikirkan oleh Muhlas untuk mengembangkan PMP adalah dengan menghimpun banyak anggota. Membuat banyak mahasiswa ITS terlibat dalam gerakan tersebut. Hingga saat ini, penyedia buku yang tergabung dalam komunitas PMP mencapai 12 orang.

Di sisi lain, sekarang PMP dapat survive dengan dana minimal yang dikumpulkan oleh para motornya. Untuk itu, Muhlas telah mempersiapkan pertimbangan sistem pendanaan yang akan dilaksanakan ketika telah menjadi LSM, yaitu dengan sistem koperasi dengan sistem semua pendanaan dari internal. ”Sebab LSM adalah lembaga sosial, tanpa ada pemberian dana dari birokrasi,” jelasnya.

Jika terdapat dana dari Birokrasi, tentunya harus terdapat laporan kemana larinya dana tersebut. Menurut Muhlas, hal tersebut akan membuat kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) dari PMP lebih terfokus pada hal tersebut, bukan pada gerakan sosialnya sendiri. ”Takutnya nanti tujuan utama kami malah terbengkalai,” paparnya.

Selain kendala status komunitas yang belum jelas, PMP pun cenderung sulit melakukan aksinya dalam dunia nyata. Sejauh ini yang kerap dilakukan PMP sebagai gerakan nyata adalah dengan road show ke beberapa tempat di ITS. Hal ini tak lepas dari para penggerak PMP adalah mahasiswa tahun keempat yang tengah sibuk mengerjakan Tugas Akhir (TA).

Maka, Muhlas berharap PMP segera menjadi LSM agar dapat mengadakan sebuah open recruitment anggota. Hingga nantinya para motor PMP telah lulus, gerakan ini tidak hanya hidup dalam ingatan saja. ”Tapi masih tetap ada dan bermanfaat secara langsung terhadap mahasiswa ITS,” ujarnya. Meski begitu, PMP tetaplah sebuah gerakan sosial. Muhlas menyatakan bahwa meskipun tidak menjadi LSM, ia tetap menginginkan gerakan ini berjalan. (fin/fz)

Berita Terkait