ITS News

Kamis, 14 November 2024
06 Maret 2012, 10:03

Paspor Mahasiswa Pas-Pasan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saya juga tidak memiliki keahlian khusus seperti menyanyi. Bahkan saya bukan pula bagian dari jurusan yang mencanangkan studi ekskursi keluar negeri. Saya hanya memiliki niat yang terpendam.

"Tak mungkin keluar negeri, saya mahasiswa pas-pasan," itulah yang terbesit di benakku saat melihat foto-foto pemandangan luar negeri. Namun, enam bulan kemudian, ternyata saya bisa menjejakkan kaki di negara lain.

Niat itu semakin kuat saat saya membaca tulisan dari Rhenald Kasali berjudul Paspor yang sempat menjadi pembicaraan hangat. Profesi sampingan saya sebagai jurnalis kampus juga mengharuskan saya bertemu dengan orang-orang sukses di ITS.

Saya bertemu dengan tim Spectronics yang berlomba di Jerman. Di minggu yang sama, saya bertemu dengan mahasiswa yang mengikuti lomba di Inggris. Ada lagi mahasiswa yang mengikuti pertukaran pelajar ke Singapore dan juga tim paduan suara yang akan terbang ke Prancis dan Italia.

"Apa-apaan ini? Dalam rentang waktu yang berdekatan saya dikelilingi orang berbau luar negeri," pikirku. Saat itu juga kuputuskan bahwa saya harus backpacker keluar negeri saat masih mahasiswa. Membuka mata dan pikiran dengan hal di luar sana.

"Ah, nanti sajalah keluar negerinya, saat sudah bekerja," pikir sebagian besar mahasiswa. Tapi apa hebatnya keluar negeri saat sudah bekerja dengan uang melimpah? Keluar negeri menjadi hebat justru karena perjuangan untuk mendapatkannya lebih sulit.

Uang? Itu soal belakang. Yakinlah di mana ada kemauan, di sana ada jalan. Bukan dengan jalan meminta uang orang tua. Kita mahasiswa bukan pengemis elit. Mahasiswa selalu punya cara untuk mencari uang misalnya dengan cara klasik seperti memberi les privat atau cara kreatif dengan berbisnis. Bukan pula dengan memanfaatkan uang beasiswa. Apa bedanya kita dengan Gayus? Pencuri uang negara untuk jalan-jalan ke luar negeri.

Mungkin orang lain melihat bahwa ke luar negeri hanyalah kegiatan tersier yang menghambur-hamburkan uang. Namun menurut saya jika pengalaman dan ilmu merupakan kebutuhan primer, maka ke luar negeri termasuk di dalamnya.

Saya memilih Malaysia dan Singapura sebagai tujuan awal karena saya pikir dua negara ini akan membuka gerbang ke negara lainnya. Di sana saya menemukan berbagai ilmu dan pengalaman baru. Saya mempelajari bagaimana budaya yang unik di dua negara tersebut.

Bagaimana sistem transportasinya. Bagaimana berkomunikasi dengan orang lain. Bagaimana ilmu teknik bisa mempengaruhi kehidupan sehari-hari di negara lain. Sampai bagaimana cara untuk memberhentikan mobil di jalan tol saat bis yang kita tumpangi mogok. Semua pengalaman dan ilmu yang saya dapat sepanjang perjalanan seminggu itu takkan pernah ada di bangku kuliah.

Sedikit cerita lain tentang luar negeri. Rentang seminggu setelah saya memesan tiket pesawat ke Kuala Lumpur, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti beasiswa fast track Prancis. Ternyata untuk keluar negeri itu sangatlah mudah, tergantung dari kemauan dan usaha. Ada banyak program magang di luar negeri yang ditawarkan oleh perusahaan.

Ada banyak penawaran beasiswa luar negeri. Ada banyak program pertukaran pelajar. Ada banyak lomba tingkat internasional. Atau jika sekarang masih merasa seperti saya dulu yaitu mahasiswa kemampuan pas-pasan yang meratapi foto-foto luar negeri. Maka, segera buka internet dan beli tiket pesawat termurah keluar negeri. Jangan lupa cek kalender akademik untuk memastikan waktu liburan. Lalu buatlah paspor.

Paspormu sekarang tengah menunggu stempel negara lain.

Elita Fidiya Nugrahani
Mahasiswa Jurusan Teknik Fisika angkatan 2008

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Paspor Mahasiswa Pas-Pasan