ITS News

Kamis, 14 November 2024
29 Maret 2012, 01:03

Berani Menjadi Bersih?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Jawabannya tidak bisa dipahami secara langsung sebagai sebuah polemik ekonomi semata. Berkaca pada Hot, Flat and Crowded karangan Thomas L. Friedman, kebutuhan energi yang tinggi di berbagai sektor menghasilkan emisi (hot) dan berbanding lurus dengan dua hal lain. Yaitu pesatnya kemajuan teknologi yang membuat jarak dan rentang waktu antara berbagai belahan dunia semakin kecil dan tak berarti. Atau dalam kata lain, dunia menjadi flat. Di sisi lain, pertumbuhan populasi manusia terus meningkat (crowded). Ketiga fenomena itu tidak dapat dipisahkan.

Apa yang terjadi di Indonesia? Pada tahun 1971, jumlah penduduk Indonesia adalah 119 juta jiwa. Pada tahun 2010, jumlah itu berlipat ganda menjadi 238 juta jiwa. Ini disertai (atau juga dipengaruhi) oleh standar kualitas kehidupan masyarakat Indonesia yang juga meningkat, menyebabkan lebih banyak orang yang bisa menikmati kecanggihan teknologi. Tak terkecuali kendaraan bermotor.

Pada tahun 2010, PT Astra Honda Motor dengan bangga menyatakan bahwa pangsa pasar di Indonesia akan memungkinkan perusahaannya untuk menghasilkan 30 juta motor dalam dua tahun. Tahun berikutnya, terjadi lonjakan besar kepemilikan kendaraan bermotor. Yaitu 850 ribu unit untuk sepeda motor, serta 900 ribu unit untuk mobil. Semakin banyak kendaraan (dan kemacetan), semakin banyak BBM digunakan, semakin banyak emisi yang dihasilkan.

Harga BBM tidak pernah mengalami penurunan. Sebenarnya ini pun terjadi di seluruh dunia. Pada tahun 2004, kantong-kantong minyak bumi dunia, telah banyak yang kehabisan pasokannya demi memenuhi kebutuhan pasar global, terutama negara-negara yang berkembang pesat seperti Cina dan India. Produksi minyak bumi di Indonesia sejak tahun yang sama menurun 17,7 persen hingga tahun 2011. Kita telah mencapai tipping point kebutuhan energi yang tidak bisa kita mundurkan, kita ulangi, maupun kita kurangi. Permintaan akan terus bergerak naik dan harga-harga akan terus bertambah mahal.

Akan tetapi, bukankah Indonesia termasuk salah satu negara dengan sumber daya minyak bumi berlimpah? Ah, benar. Sayangnya, pengembangan sumber daya lingkungan di Indonesia banyak berbasis sistem ‘petik-jual’, bukan ‘petik-olah-jual’ (Kompas, 26 Maret 2012). Kita memiliki sumber daya alam yang berlimpah, dan kita menjualnya kepada negara-negara lain. Lantas mereka mengelolanya untuk nantinya kita beli lagi dalam bentuk produk yang berbeda.

Tidak fair? Ya, memang, tapi sistem inilah yang telah menghidupi kita. Kenaikan harga BBM yang menghasilkan begitu banyak gejolak, harus menjadi titik balik ketergantungan terhadapnya. Tidak boleh ada kecolongan lagi dalam masalah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, apalagi terkait masalah energi.

Sama halnya seperti minyak yang selama ini turut menjadi salah satu penentu kebijakan-kebijakan politik dunia. Di masa mendatang, salah satu faktor penentu itu adalah masalah energi terbarukan. Siapa yang memiliki energi terbarukan (untuk menghidupi negaranya sendiri serta negara lain), dialah yang akan berkuasa.

Karena sudah sangat mustahil bagi kita selaku manusia untuk melepaskan diri dari ketergantungan energi. Setiap detik, kita berada dalam lingkungan yang menyedot energi dalam berbagai bentuk. Ketersediaan energi menjadi penentu perkembangan kita. Energi menyatu dengan teknologi yang kita gunakan. Sehari tanpa internet saja akan membuat kita tertinggal dengan berbagai banyak perkembangan dunia.

Dengan kebutuhan yang tidak dapat disangkal, maka yang mutlak harus dilakukan adalah mencari alternatif-alternatif baru sumber daya energi ‘bersih’ tersebut. Yakni energi alami yang tidak menghasilkan emisi, serta tidak akan berkurang atau akan terolah kembali melalui siklus yang natural. Angin, panas matahari, gelombang air, geothermal dan gas alam; secara geografis, kita memiliki semuanya.

Namun yang diperlukan di sini lebih dari sekadar penggalian sumber daya. Melainkan sebuah sistem pemanfaatan sumber daya tersebut. Pengembangan pembangkit-pembangkit energi baru harus disertai dengan perencanaan yang strategis. Semakin lama, pemanfaatan sumber daya terbarukan harus semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pertanyaannya untuk sekarang adalah, siapkah kita untuk mulai mengurangi ketergantungan terhadap BBM? Siapkah kita, mulai dari sekarang, untuk menggunakan transportasi umum setiap kali kita pergi? Ya, kita mungkin akan merasa lebih panas. Kita mungkin akan harus lebih mempertimbangkan waktu untuk bepergian (dus, kita seharusnya bisa lebih disiplin). Kita mungkin akan harus lebih berbagi space dengan orang-orang lain selama perjalanan. Kita juga mungkin akan harus berjalan kaki dalam beberapa bagian perjalanan kita.

Di lain sisi, pemerintah pun memang akan harus berkorban lebih banyak untuk memajukan transportasi umum di Indonesia. Kita mungkin tidak perlu membangun jaringan kereta Mass Rapid Transit (MRT) seperti Singapura. Cukuplah sistem angkutan umum kita, misalnya (di sisi lain juga tetap mempertahankan pendapatan pengelolanya yang rata-rata merupakan kelas menengah ke bawah). Tapi tentunya dengan sistem yang lebih terintegrasi. Sehingga lebih banyak daerah yang terjangkau dalam rentang waktu yang lebih efisien, serta kenyamanan penumpang yang ditingkatkan. Yang lebih keren, tentu saja ketika semua sistem angkutan umum ini bergantung pada sumber energi terbarukan.

Sepuluh tahun yang lalu, Pertamina sudah menyiapkan 33 unit pengisian bahan bakar gas (BBG) di berbagai wilayah di Indonesia. Sampai hari ini, hanya tersisa 9 unit karena kurangnya peminat. Ketika pemerintah menghidupkan kembali unit-unit pengisian BBG, apakah kita akan bersegera beralih kepada energi alternatif ini juga? Dalam beberapa tahun ke depan, kita yang ‘mampu’ mungkin akan berkewajiban mengganti mobil-mobil kita dengan mobil-mobil yang lebih ‘bersih’. Yakni berteknologi hibrida canggih atau semacam Antasena yang telah diproduksi massal. Bersediakah kita?

Ini baru pembahasan masalah transportasi yang on the surface. Kita menyadari, bahwa teknologi yang dimiliki Indonesia untuk mengembangkan sumber daya energi terbarukan masih sangat kurang. Atau mungkin negeri ini belum bersegera mengembangkannya. Mengubah dunia menjadi bersih butuh sebuah revolusi, kata Friedman. Dan revolusi adalah sebuah proses panjang yang butuh pengorbanan.

Ada yang bisa sedikit kita syukuri dari merebaknya isu kenaikan BBM ini. Yaitu meningkatnya perhatian masyarakat mengenai kebutuhan energi (alternatif). Tiba-tiba pemerintah, masyarakat, media massa, mulai berbicara mengenai energi terbarukan ketika sebelumnya diabaikan. Maka makin banyak orang menyadari seberapa besar cakupan dari masalah energi ini.

Ibarat sebuah ketapel yang telah lama diulur, momen ini adalah penyentak, pendorong, pelatuk pada sebuah senapan, yang menghasilkan sebuah gerakan melaju ke depan. Hanya saja, sejauh mana kita akan bergerak, itu akan bergantung pada daya adaptif dan inovasi kita selama perjalanan mewujudkan sistem energi bersih itu.

Saya rasa ini juga tantangan yang baik bagi ITS.

Lisana Shidqina
Mahasiswa jurusan Arsitektur angkatan 2009

Ketika angin berubah arah, ada yang membangun dinding, ada pula yang membangun kincir angin. (Pepatah Cina)

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Berani Menjadi Bersih?