ITS News

Kamis, 14 November 2024
11 April 2012, 18:04

Mengenang Pejuang ITS (3)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Lontaran kalimatnya mantap, tanpa kesan ragu sama sekali, sesuai ciri khas orang Surabaya jika bergumam. Di akhir kata, justru diselingi dengan tawa yang berintonasi kuat. Ya, memang lucu. Lucu jika saya memaknai dialeknya dari awal. Tapi juga menyakitkan hati, karena itu pernghinaan terhadap almamater saya. Inilah kejujuran dalam realita.

Pancen ITS iku kere,” ujarnya kali kedua.

Rasanya seperti diinjak dua kali di luka yang sama. Yah, realita memang harus diterima. Inilah fakta tentang kampus kita, lima puluh tahun silam. Saat YPPT 10 Nopember masih jatuh bangun meretas dan memperjuangkan kampus ITS. Kata petuah bijak, mempertahankan itu jauh lebih susah daripada memulai.

Inilah realitas dari sebuah kisah perjuangan para pejuang di kampus Perjuangan.

Jika institusi Pendidikan Tinggi Swasta biasanya didirikan oleh anggota yayasan yang sudah terlebih dahulu, YPPT 10 Nopember didirikan dari nol. Tidak seperti Universitas Muhammadiyah (UM), Universitas Katolik (UK), atau kampus swasta berbasis Yayasan, cikal bakal kampus ITS adalah bagian kisah perjuangan paling dini, dari semua kisah perjuangan heroik lainnya. Termasuk lebih dini dari soal pengkaderan yang berdaya juang akut itu.

”Pak Angka itu hanya seorang dokter, bukan pengusaha. Uang dari mana untuk membiayai keberlangsungan kampus?” tanyan Bu Budi dengan nada tinggi.

Para anggota YPPT mayoritas adalah praktisi dari profesi masing-masing, dokter, insinyur, kolonel, professor, dll . Ada pula yang pengusaha, salah satunya Bapak Asnoen Arsyad dan Jahja Hasyim. Namun keberadaan para pengusaha itu bukan jaminan keberlangsungan hidup kampus. Walaupun banyak pula hibah materi, tenaga dan pikiran yang diberikan oleh mereka.

Lebih dari itu, banyak pertanyaan sederhana harus dijawab oleh mereka. Bagaimana Yayasan menggaji para dosen? Bagaimana mahasiswa praktikum? Dengan apa mahasiswa mengasah teori keinsinyurannya selain dari buku? Bagaimana menyusun kurikulum pendidikan per fakultas/jurusan? Bagaimana menyusun sistem pendidikan teknik (yang tentu sangat rumit) dari nol? Dan bagaimana-bagaimana lainnya.

Memang, tidak ada penuturan sejarah tentang susahnya mendirikan pendidikan tinggi di zaman orde lama yang kondisi perekonomian masih belum stabil, keamanan yang pasang surut, dan tentunya minat masyarakat terhadap pendidikan tinggi masih sangat rendah.

Ironi itu bisa dituturkan dengan ungkapan sederhana dari kondisi tempat perkuliahan yang terpencar-pencar, dosen tetap yang tidak lebih dari lima dosen, seringnya kuliah batal tanpa, waktu tempuh studi yang lebih dari 6 tahun, sampai banyaknya mahasiswa yang mutung kuliah alias OD (Out Dewe, red) di tengah ketidakjelasan nasib kelulusan mereka. Hal ini jamak dan biasa.

Mayoritas tempat kuliah saat itu adalah hibah dari pihak ketiga, termasuk kampus paling ”elite” Baliwerti yang dihibahkan dari Pemerintah. Ada pula bekas Rumah Sakit Belanda yang dijadikan ruang kuliah. Sampai saat ini bangsal-bangsal yang dahulu digunakan sebagai untuk ruang jenazah masih bisa kita saksikan bersama logo ITS yang mengelupas di Jalan Ketabang Kali. Bahkan ada pula hibah tempat berupa gudang pabrik gula yang juga dijadikan tempat kuliah.

”Sampai Bapak lengser pun, belum ada mahasiswa ITS yang lulus,” ujarnya tentang ironi lain.

Apa? Tanya saya dalam hati. Mahasiswa masuk ke ITS tahun 1957 dan Pak Angka lengser tahun 1964, itu artinya dari 7 tahun sejak ITS berdiri, tak satu pun insinyur yang dilahirkan.dari rahim ITS. Apalagi setelah itu adalah tahun 1965, para kakek-nenek kita pasti pernah mengalami sejarah kelam tahun ini: G 30S/PKI!

Suami Bu Budi sendiri adalah alumni Jurusan Mesin angkatan ketiga alias M-3 sehingga juga mengerti detail perjuangan para pendiri ITS kala itu, selain dari kisah Bapaknya sendiri.

Mendadak Negeri
Kesusahan yang melilit YPPT ternyata juga menjadi salah satu alasan untuk menjadikan Yayasan ini menjadi sebuah kampus negeri. Walaupun sudah direncanakan sejak lama, kondisi YPPT yang hampir pailit harus segera diselamatkan dengan menegerikan Yayasan ini.

Sama dengan kondisi Perguruan Tinggi saat ini, status PTN bisa mengurangi beban Yayasan dengan pengambilalihan kepengurusan oleh Kementerian Pendidikan dari pusat.

Berbekal nekad dan relasi, Pak Angka segera menghubungi Ruslan Abdul Ghani, Menlu kala itu yang juga teman akrab beliau untuk melobi Bung Karno untuk ke Surabaya dan meresmikan kampus ITS. Hingga akhirnya Institut Teknologi Sepuluh Nopember resmi berdiri pada 10 Nopember 1960.

Ada kejadian unik di bagian dapur saat persiapan peresmian tersebut. Kala itu, YPTT memang sedang terkena krisis moneter. Hingga untuk membelikan hidangan penyambutan Bung Karno lebih banyak dipenuhi banyak pertimbangan.

”Kita mau menghidangkan buah-buahan. Tapi kita bingung mau pilih buah apa karena harga buahnya mahal-mahal semua,” ungkap Bu Budi yang memang kala itu seksi dapur.

Hal itu dikarenakan budget yang disediakan tidak sebanding dengan harga buah yang diinginkan.

Saking lamanya kita berdebat, saat buahnya sudah kita beli, Bung Karno malah sudah selesai meresmikan dan sudah pulang,” ujarnya sambil tertawa lepas.

Jadilah buah itu menjadi konsumsi para panitia acara itu. Agak miris memang.

Sebuah Sejarah Perjuangan
Kala sejarah diputar seperti lorong waktu, selalu akan ada banyak serpihan sejarah yang terlupakan, dilupakan, atau sengaja dikaburkan. Bersama dengan waktu yang menggerus ingatan manusia, generasi yang telah berganti, masa pun bisa meluputkan sebuah tindakan besar.

Saat ini, kita bisa duduk manis di sebuah kampus teknik terbesar kedua di negeri ini. Kita bisa menikmati akses pendidikan dengan segala fasilitas dan kemudahan yang jauh berbeda dengan 55 atau 52 tahun yang lalu. Kita juga sudah bisa menyandang sebuah nama besar dengan ”hanya” berjuang menjadi mahasiswa ITS saja. Nama besar yang dirintis oleh orang-orang besar yang sungguh visioner.

”Pak Angka itu orang yang sangat luar biasa, sangat visioner. Kampus Sukolilo ini adalah salah satu gagasan beliau yang revolusioner,” ujar Prof Mahmud Zaki, Rektor ke-4 ITS yang juga salah satu tenaga pengajar awal di ITS.

Sebuah tindakan besar itu adalah rencana pembangunan kampus ITS yang terintegrasi pada satu tempat sudah digagas oleh Pak Angka saat baru mendirikan YPTT. Walaupun impian tersebut baru terwujud hampir 30 tahun setelahnya, gagasan itu adalah bentuk kontribusi yang bisa dirasakan hingga saat ini.

Tidak mudah membeli lahan seluar 180 hektar ini. Soal pendanaan, ada keputusan kontroversial ketika Pak Angka yang mewakili YPTT menjual lahan kampus Cokroaminoto yang ternyata digunakan untuk menabung biaya untuk membeli tanah. Kontroversi juga muncul pada pemilihan lahan yang jauh dari pusat kota, dan masih berupa hutan rawa. Saat itu, batas kota Surabaya timur hanya sampai Karang Menjangan saja. Terasa sekali betapa pedalamannya kawasan Sukolilo saat itu.

”Masak kita mau kuliah di tengah rawa?” Cemoh mahasiswa saat itu

Pikiran visioner itu sudah menjadi masterplan dalam diri beliau sejak awal, yang baru dirasakan oleh para mahasiswa dan sivitas lainnya pasca tahun 1980-an hingga saat ini dan (mungkin) sampai beberapa tahun ke depan. Dan bagian dari sejarah itu terungkap, lebih dari sekedar simbol patung beliau yang terdiam bersama deru langkah para mahasiswa.

Kiranya pesan dari Bapak Ruslan Abdul Ghani, tokoh pergerakan Indonesia yang juga mantan Menteri Luar Negeri dan teman seperjuangan beliau: ”Jangan lupakan Pak Angka, setidaknya undang wali beliau kalau ada acara”.

Legowo untuk Lengser
Pergantian bentuk Yayasan 10 Nopember menjadi institusi negeri tanpa pergantikan nama rektor, membuat ITS kala itu seperti hanya berubah nama. Keberadaan Pak Angka yang seorang dokter menjadi ”penghinaan” bagi kalangan mahasiswa kala itu.

Masak seorang dokter yang akan menandatangani ijazah seorang insinyur?” beber Buchori Nasution, salah satu M-3.

Banyak mahasiswa lainnya merasa tidak legowo dengan keberadaan rektor yang seorang dokter. Beragam cara dilakukan untuk ”melengserkan” Pak Angka dari jabatannya. Mahasiswa tak hanya bersuara di tingkat birokrasi kampus, tapi juga melakukan protes sampai tingkat nasional di Kementerian Pendidikan di Jakarta.

Ragam cara yang dilakukan untuk melengserkan Pak Angka sebenarnya sudah dirasakan oleh beliau. Pun hingga ketika Pemerintah Pusat menunjuk Kol Laut Ir Marseno Wirjosapoetra untuk menggantikannya, beliau pun legowo untuk lengser.

”Memang dari awal Bapak itu tidak ngotot untuk menjadi rektor, sehingga pas lengser pun bapak justru malah bersyukur,” ungkap Bu Budi.

Kelegowoan itu disampaikan oleh Pak Angka tepat saat serah terima jabatan kepada Pak Marseno. Keinginannya agar ada seorang insinyur tulen yang bakal memimpin kampus teknik ini akhirnya terkabul karena desakan mahasiswanya yang menginginkan beliau mundur.

”Saat itu Pak Angka hanya mengucapkan kalimat ‘terima kasih’ kepada saya. Sesaat setelah itu saya meresa sangat bersalah kepada beliau. Namun di sisi lain saya juga tahu betapa besar hati beliau,” imbuh Buchori, salah satu pakar pendidikan Indonesia.

Catatan pinggir:
*) Prof Widjojo Nitisastro yang saya singgung sedikit di tulisan sebelumnya, meninggal dunia tanggal 9 Maret kemarin di usia 84 tahun. Jika dirunut sejarah panjang, seolah keluarga Nitisastro seperti klan yang sukses membuat perubahan di kancah negeri Indonesia. Bahkan, Ashanti (salah seorang artis,red) mengaku Prof Widjojo adalah pamannya. Jadi, dr Angka Nitisastro juga bersaudara dengan Bapak/Ibu-nya artis tersebut. Kembali, saya bertanya pada sejarah, siapa lagi saudara Nitisastro lainnya? Siapakah Nitisastro itu?

*) Untuk saudara-saudara kita di Sumatra yang diuji dengan musibah, semoga diberikan perlindungan dan keselamatan oleh Allah, amiin. #prayforsumatera

bersambung….

Nur Huda
a.n Tim Djoeang

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mengenang Pejuang ITS (3)