ITS News

Senin, 02 September 2024
27 Mei 2012, 15:05

Enam Tahun Lalu, Gempa Itu

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Batas tumbukan Lempeng Samudara Hindia-Australia dan Lempeng Benua Eurasia berada sekitar 300 kilometer dari pantai selatan Jawa dan membentuk palung yang dikenal dengan Palung Jawa. Panjang totalnya sekitar 5.600 kilometer, terbentang mulai dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai ke Sumba di bagian timur.

Pada batas lempeng ini terjadi akumulasi energi sampai suatu batas tertentu. Atau dengan selang waktu tertentu, kekuatan lapisan litosfer terlampui sehingga terjadi pelepasan energi yang dikenal dengan gempa bumi.

Gempa ini bisa terjadi tiap tahun, sepuluh, hingga seratus tahun atau lebih. Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan goncangan (ground shaking) dan pergeseran (displacement). Gempa (lindu) akan menyebabkan hancurnya bangunan-bangunan dan infrastruktur lainnya. Ini akan memicu longsor, likuifaksi, dan gelombang pasang tsunami.

Ini merupakan fenomena yang timbul dengan kriteria-kriteria tertentu. Yaitu ketika terjadi pergeseran arah vertikal episentrum gempa di laut dengan magnitude kekuatan lebih dari 6.5 skala Richter dan kedalaman pusat gempa dangkal lebih dari 50 kilometer. Apabila tidak mencapai tingkatan-tingkatan tersebut, maka tsunami tidak akan terjadi.

Sampai saat ini gempa merupakan fenomena alam yang belum bisa diprediksi, datang tiba-tiba dengan goncangan yang mengejutkan, tidak bisa dihindari dan tidak bisa dijinakkan. Getaran dan goncangan selama terjadinya gempa tidak langsung menyebabkan kematian. Hal ini sebagian besar karena tertimpa tembok yang runtuh, kaca dan benda-benda yang tergantung.

Kasus Gempa Yogyakarta
Gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan magnitude 5,9 skala Richter mengakibatkan banyak korban. Yaitu lebih dari 5.000 orang meninggal, puluhan ribu luka-luka dan telah menghancurkan ribuan rumah. Bagaimana bisa terjadi gempa sebesar itu di Yogyakarta?

Menurut Kepala Badan Geologi Bandung, tahun 1867 pernah terjadi gempa besar melebihi dari gempa yang ada sekarang ini. Begitu pula pada tahun 1943, di masa pendudukan Jepang. Kerusakan parah terutama pada jalur gempa di sepanjang Kali Opak (‘patahan Opak’: Pleret-Piyungan-Prambanan-Gantiwarno Klaten) dan dataran Bantul mengarah ke barat.

Kerusakan di dataran Bantul ini disebabkan karena lapisan tanah di bawahnya didominasi lapisan aluvial yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Gelombang gempa sangat tergantung media yang dilewatinya. Ketika melewati endapan aluvial serupa, amplitudonya akan membesar sehingga energi gempa juga besar.

Isu tsunami yang timbul akibat gempa Yogyakarta turut menimbulkan kepanikan massal. Sedikitnya pengetahuan tentang gempa dan tsunami yang dimiliki masyarakat membuat mereka lebih percaya isu daripada ilmu.

Masyarakat, mungkin termasuk pula kita sendiri, seringkali diajari bahwa segala bencana itu peringatan dan ujian bagi kita agar lebih mendekat pada Allah. Ini menyebabkan reaksi kepasrahan (‘wis wayahe’), ataupun ketakutan (”jangan ngomong itu (gempa), nanti terjadi sungguhan”).

Media massa juga ternyata turut berperan dalam kepanikan massal ini. Dahsyatnya tsunami Aceh ditayangkan secara terus-menerus oleh hampir semua media televisi pasca gempa Bantul. Sehingga mempengaruhi persepsi hampir seluruh rakyat Indonesia bahwa tsunami terjadi empat jam setelah gempa. Peringatan polisi dan ilmuwan tidak digubris, semuanya bergerak ke utara. Mereka yang dalam kondisi luka parah pun ikut panik.

Kita semua, masyarakat Indonesia, harus belajar dan mengenal gempa dan tsunami dengan baik dan benar. Ini sangat penting agar saat terjadi gempa kita tidak panik, tahu tata cara menyelamatkan diri dan kita tahu, bahkan bisa menyelamatkan orang lain. Anak saya yang terlahir dan besar di Surabaya juga harus tahu itu dan harapnnya kalau sedang travelling di pantai selatan tahu mengenainya.

Ada seorang anak Inggris bernama Tilly Smith yang pada tahun 2004 bisa menyelamatkan banyak orang saat tsunami melanda pantai Maikhao, Thailand. Pengetahuan mengenai keselamatan saat terjadi tsunami diketahuinya sejak diajarkan di sekolah dasar. Padahal, semua orang tahu Inggris belum pernah terkena tsunami. Namun Tilly Smith tahu dan bisa menyelamatkan orang.

Kita semua, masyarakat Indonesia masih beruntung karena gempa dan tsunami yang beberapa tahun ini terjadi pada saat bukan pada jam istirahat, jam sibuk, jam masuk sekolah maupun saat masuk kerja.

Ribuan gedung sekolahan dan kantor rusak berat saat terjadi gempa Yogya dan Jawa Tengah. Bisa dibayangkan kalau terjadi pada saat jam sekolah dan jam kerja, korbannya akan sangat banyak dan mengerikan. Seolah untuk mengingatkan bahwa Gusti Allah masih menyayangi kita. Bahkan menyentil kita, berfikirlah, berbenahlah untuk masa depan lebih baik.

Kita semua, masyarakat Jawa Timur tetap perlu waspada. Mulailah belajar gempa dan tsunami, khususnya yang bermukim di kawasan Pantai Selatan, sehingga kita bisa selamat karenanya. Kalau kita amati, bangunan-bangunan di delapan kabupaten Provinsi Jawa Timur bagian selatan, masih cukup rawan gempa.

Sebagian besar merupakan bangunan yang ‘un-engineered‘, dengan konstruksi bata sederhana tanpa tulangan. Apalagi, akhir-akhir ini terdapat berita adanya bangunan sekolah yang roboh dengan sendirinya. Bahkan bila mungkin, sebuah building code khusus daerah Jawa Timur dapat diteliti dan diusulkan.

Ingat juga tahun 1994 pernah terjadi tsunami yang meluluh lantakkan Banyuwangi dan Jember. Ini belum mencakup pendidikan bencana bagi masyarakat difabel, baik itu tuna netra, tuna rungu, maupun tuna daksa. Kita semua, sivitas akademi ITS mempunyai tanggung jawab moral memberi dan meningkatkan kapasitas masyarakat yang ada di sekitar kita, bahkan tingkat birokrasi sekalipun.

Ir Amien Widodo MS
Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim LPPM ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Enam Tahun Lalu, Gempa Itu