Sejak saat itu, perhatian dunia terhadap lingkungan menjadi semakin berkembang, dari sekedar wacana di kalangan akademik menjadi masalah global. Mulailah terbentuk badan-badan internasional, diantaranya UNEP (United Nation on Environment Program) badan PBB yang khusus mengani masalah lingkungan.
Indonesia, termasuk negara yang ikut berperan di dalamnya, kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup pertama kali didirikan pada tahun 1975, dan Prof. Emil Salim ditunjuk sebagai Menterinya. Entah bagaimana muasal ceritanya, yang jelas Indonesia telah ikut berperan secara aktif, sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia dalam mengangkat masalah lingkungan hidup ini ke tataran proses pembangunan suatu negara.
Lingkungan hidup yang tadinya hanya sekedar eksternalitas, telah berkembang menjadi bagian dari proses pembangunan itu sendiri. Dalam bahasa Pak Emil, “internalisasi eksternalitasâ€. Apapun itu, yang lalu menarik untuk dikaji adalah, sejauh mana capaian pengelolaan lingkungan hidup yang telah diperoleh bangsa Indonesia selama 40 tahun keterlibatan kita dalam lingkungan hidup ini?.
Ada beberapa catatan yang perlu kita renungkan bersama. Secara sederhana, untuk mencapai kualitas hidup yang baik, setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh manusia, yaitu kebiasaan hidup higienis, ketersediaan air minum yang memenuhi syarat serta pengelolaan air limbah yang layak. Cobalah perhatikan bagaimana situasinya saat ini, sebab dari waktu ke waktu kita bisa melihat bagaimana kampanye “Stop BABS†atau “Cuci Tangan Pakai Sabun†masih didengung-dengungkan saat ini. Hal ini menandakan bahwa masih rendahnya kesadaran masyarakat kebanyakan di negara kita akan kebiasaan hidup yang higienis.
Belum lagi kita selalu disuguhi berbagai tayangan televisi yang melakukan “investigasi†terhadap produk-produk makanan – baik untuk dewasa maupun anak-anak – yang dicampur dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya, dari mulai supaya awet tidak cepat basi, supaya kenyal, supaya manarik berwarna-warni bahkan hal-hal yang tidak pernah dibayangkan oleh akal sehat kita terjadi disini, misalnya sapi di glonggong supaya lebih gemuk! Ini mungkin bentuk dari kreativitas bangsa kita yang salah arah.
Lalu bagaimana dengan pelayanan air minum? Ya sama saja, sebab bangsa kita yang telah merdeka lebih dari 66 tahun ini, hanya mampu dilayani oleh PDAM sekitar 40% di perkotaan dan 9% di pedesaan. Itu pun dengan kualitas yang tidak sesuai sepenuhnya dengan baku mutu air minum, sehingga sering PDAM diplesetkan sebagai Perusahaan Daerah Air Mandi. Belum lagi kalau kita melihat status kesehatan perusahaannya, sebab hanya sekitar 10% saja PDAM yang sehat dari sekitar 340 PDAM yang ada di Indonesia, sementara sisanya kalau kurang sehat, tidak sehat atau menggigil nyaris almarhum!.
Lalu, bagaimana dengan pengelolaan air limbah? Nah, kalau yang ini, lebih parah lagi. Sebab hanya Kamboja dan Laos saja yang status pelayanan air limbahnya lebih rendah dari kita di Asia Tenggara ini. Ironis bukan? Bahkan Vietnam yang berpuluh tahun dilanda perang dan bahkan baru merdeka jauh lebih muda dari kita, telah mencapai tingkat cakupan pelayanan yang lebih baik. Ada apa dengan bangsa kita?.
Permasalahan bidang pengelolaan lingkungan hidup di atas, baru dibahas dari satu sisi saja yaitu built environment (lingkungan terbangun). Lingkungan terbangun dalam kawasan yang dihuni oleh manusia, baik di kota maupun di desa, sebagai bagian dari proses menjalani pembangunan dan kehidupan ekomoni sehari-hari.
Ini artinya, belum lagi bicara dari sisi lingkungan yang lain, yang lebih makro seperti hal-hal yang berkaitan dengan kesetimbangan lingkungan, ketahanan pangan, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya air, perubahan iklim, bencana alam dan sebagainya itu. Mungkin, kalau tidak punya kemampuan untuk menyikapinya secara positif, kita akan cepat terpuruk menjadi bangsa yang terbelakang.
Tema yang diangkat UNEP dalam Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini adalah “Green Economy: Does it include you?“. Tema ini sebenarnya kembali menegaskan apa yang sudah disampaikan sejak awal berdirinya kementerian LH di Indonesia oleh Emil Salim di atas, yaitu menginternalisasi eksternalitas dengan pemahaman yang lebih dalam.
Karena ‘green’ mengandung makna sebagai suatu visi, suatu sikap hidup bahkan mungkin bisa dikatakan sebuah ideologi yang selalu mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap keputusan yang diambilnya. Pendekatan pembangunannya bukan lagi forecasting tapi dengan pendekatan backcasting, yaitu dengan berpikir seperti apakah dunia yang berkelanjutan itu dalam 30 tahun yang akan datang, dan bagaimana cara kita mencapainya?.
Akan halnya dengan Indonesia, KLH menerjemahkan tema tersebut menjadi “Ekonomi Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkunganâ€. Hal ini menunjukkan bahwa kita berusaha realistis untuk mencapainya. Sebab ketika sudah berbicara lingkungan sebagai suatu pandangan hidup, maka hal itu berarti sudah disupport secara penuh dua aspek utama lainnya, yaitu oleh aspek ekonomi dan aspek sosio-kultural.
Padahal dari apa yang telah dijelaskan di atas, tampak sekali bahwa kita masih sangat jauh tertinggal dalam kedua sektor tersebut dibandingkan dengan negara-negara maju. Sehingga memang cukup realistis apabila kemudian tema yang dicanangkan pemerintah untuk pembangunan ekonomi hijau di atas adalah baru bersifat ajakan untuk merubah perilaku dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang terlanjur mengalami deteriorasi.
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, sampai kapan kita akan bersikap inferior ke dalam? Sebab ironis sekali, ketika berbicara di level internasional, Indonesia sangat aktif dan berperan penting. Katakanlah dalam berbagai pertemuan internasional, kita sangat dikenal. Bahkan ketika konferensi perubahan iklim di Bali COP 13 (Conference on the Parties) UNFCCC yang menghasilkan deklarasi penting Bali Road Map, Indonesia menjadi presiden-nya.
Demikian juga dalam pertemuan lingkungan lainnya. Bahkan salah satu rintisan KLH yang dikenal dengan program Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) yang memberi atribut kinerja bagi perusahaan yang taat pada sistem dan peraturan lingkungan telah diakui oleh Bank Dunia sebagai sebuah model pengelolaan lingkungan yang paling cocok bagi negara-negara berkembang sehingga kemudian diadopsi banyak negara-negara di dunia; baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Namun semua keunggulan ini tidak membuat Indonesia menjadi semakin baik kondisi lingkungannya.
Ini jelas merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua, para generasi penerus bangsa. Sudah saatnya kita tidak hanya pandai berkonsep tapi juga pandai dalam mengimplementasikannya.
Green life, does it include you?***
Joni Hermana, Guru Besar Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP ITS
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)