Ramadan juga merupakan pengobat hati serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sekaligus sebagai pembersih hati serta penenang jiwa dan raga. Inilah nikmat terbesar dan teragung serta pasti akan berguna bagi manusia.
Orang yang berpuasa berada dalam kondisi keadaan rileks dan siap meremajakan kembali sel-sel tubuh. Maka makanan yang dikonsumsi, baik jumlah maupun kualitasnya, mestinya harus diperhatikan. Yaitu harus betul-betul halal dan tayib (baik, red). Saat ini, dengan kebebasan impor yang sedemikian rupa, kehalalan dan ketayiban terkadang meragukan. Oleh karenanya, sangat diharapkan kita membeli makanan dari orang yang betul-betul tahu makanan halal dan tayib.
Demikian juga dengan jumlah yang masuk ke tubuh kita, sebaiknya jangan terlalu berlebihan. Rasulullah pernah bersabda, ”Kami kaum yang tidak makan hingga kami merasa lapar, dan ketika makan, kami tidak (makan sampai) kenyang,” ia mengingatkan.
Salah satu hadits lain bahkan menjelaskannya dengan lebih detail. ”Hendaklah ia menjadikan sepertiga lambungnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara,” begitu bunyi ucapan Nabi.
Di dalam Alquran pun, hal tersebut telah ditetapkan. ”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” adalah isi surat Al-A’raf ayat 31.
Demikian pula dalam berpuasa, hanya makan 2 kali sehari. Tidak seperti selama ini, yaitu begitu memasuki waktu berbuka maka kita makan sebanyak-banyaknya seolah balas dendam. Ini jelas melanggar konsep puasa yang diharapkan sesungguhnya, yaitu menyimpan dan mencadangkan jatah satu porsi makanan demi keselamatan masa depan. Kenapa demikian?
Mari kita hitung bersama seberapa besar konstribusi kita untuk masa depan. Kita ambil contoh satu porsi makanan yang disimpan dalam bentuk daging.
Penelitian telah menunjukkan bahwa satu kilogram daging akan menghasilkan 36,4 kilogram emisi karbon dioksida. Selain itu, pemeliharaan dan transportasi yang digunakan untuk menghasilkan sepotong daging sapi, kambing, atau babi juga menghabiskan energi yang cukup besar. Bahkan, untuk mendapatkan sepotong daging, jumlah energi yang dibutuhkan sama dengan menyalakan sebuah bola lampu 100 Watt selama tiga minggu.
Dalam laporan salah satu badan PBB, yaitu Food and Agriculture Organization (FAO), tercatat bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar, yaitu sebanyak 18 persen. Jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia, yaitu 13 persen.
Peternakan menyita 30 persen dari seluruh permukaan tanah kering di bumi dan 33 persen dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak. Bahkan, peternakan juga penyebab dari 80 persen penggundulan hutan Amazon.
Sementara itu, laporan tahun 2007 yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyoroti masalah pentingnya mengubah pola hidup. Tepat seperti apa yang telah dikatakan Rajendra Pachauri yang menjabat sebagai ketua IPCC sejak tahun 2002. ”Ini adalah sesuatu yang takut untuk diucapkan oleh IPCC beberapa waktu yang lalu, tetapi kini sudah saatnya kami harus mengatakannya. Kurangilah konsumsi daging karena daging benar-benar komoditas penghasil karbon yang signifikan,” tutur peraih anugerah Nobel ini.
Bahkan, laporan United Concerned Scientists (UCS) dari Belanda menyatakan bahwa dana yang diperlukan untuk mengekang perubahan iklim berkurang secara dramatis ketika daging ditiadakan dari pola makan. Tindakan ini dapat mencapai penghematan 80 persen jika semua menerapkan gaya hidup vegetarian.
Kita asumsikan makanan yang disimpan dan dicadangkan dari satu porsi makanan setiap muslim sebesar satu gram. Sementara jumlah kaum muslim yang berpuasa sebesar satu miliar orang, selama 30 hari. Maka total porsi makanan kaum Muslim adalah 1 gram x 1 miliar x 30 hari = 30 miliar gram atau 30.000.000 kilogram.
Setiap satu kilogram menghasilkan 36,4 kilogram emisi karbon dioksida. Maka, berpuasa selama satu bulan penuh berpotensi menurunkan emisi karbon dioksida sebesar 1.092.000.000 kilogram atau sekitar satu juta ton.
Perhitungan tersebut hanya salah satu unsur saja dari makanan. Bila ditambah dengan faktor lain maka kita akan tahu penuh seberapa besar kontribusi puasa dalam mencegah perubahan iklim. Inilah manfaat puasa yang rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Tapi sayang, budaya kita berpuasa lebih konsumtif dan berlebihan. Jadi, untuk mencapai angka itu tentunya dibutuhkan perubahan budaya yang sangat sulit dan butuh waktu yang panjang sekali.
Dr Ir Amien Widodo MS
Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)