Petualangan Sherina sukses secara kritik maupun komersial. Film ini menjadi official selection beberapa festival film anak-anak. Seperti Cairo International Children’s Film Festival (2001) dan CineKids International Film Festival (2006). Secara komersial, situs Miles Film mengklaim bahwa Petualangan Sherina telah ditonton oleh lebih dari satu juta penonton di bioskop. Ah, memang Riri Riza dan Mira Lesmana ini luar biasa!
Dua tahun berlalu, hadirlah film Ada Apa dengan Cinta? (AADC). Rilisnya melejitkan nama Dian Sastrowardoyo sebagai aktris yang patut diperhitungkan di tanah air. Film yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo ini juga ditayangkan diberbagai negara, termasuk Malaysia dan Jepang.
Versi bahasa Inggrisnya memiliki judul What’s Up with Love? dan dalam bahasa Jepang Ganbare, Ai. AADC meraih sukses besar di Indonesia dan bersama Petualangan Sherina disebut-sebut sebagai awal kebangkitan kembali dunia perfilman Indonesia.
Setelah kesuksesan dua film tersebut, sineas Indonesia nampak semakin berani untuk berkarya. Semangat kebangkitan dunia perfilman Indonesia berkobar dan banyak sineas muda yang bermunculan. Film Indonesia mulai diproduksi dengan genre yang beragam.
Lebih Dicintai Bangsa Lain
Beberapa film karya anak bangsa, justru lebih diapresiasi oleh dunia perfilman internasional. Mungkin tak banyak yang mengetahui keberadaan film Rumah Dara (2009). Saya sendiri sempat melihatnya ditayangkan di bioskop Indonesia hanya sebentar saja. Rumah Dara memang tidak terlalu booming di tanah air. Tidak berhasil masuk nominasi Indonesian Movie Awards 2010 pula.
Film ini justru mencuri perhatian dunia perfilman internasional. Distribusinya di Amerika Utara dan Eropa, dengan judul Macrabe, telah dibeli oleh Overlook Entertainment. Sebelum rilis di Indonesia, Rumah Dara telah mengikuti dan mendapat penghargaan di berbagai ajang festival film internasional. Shareefa Danish memperoleh Best Actress di Puchon International Fantastic Film Festival atas perannya sebagai Dara. Selain itu, Macrabe juga diputar di Fantastic Festival 2009 di Los Angeles dan Fantastic Film Festival Germany 2009.
Ada pula Merantau (2009), yang hanya sempat saya tonton di layar televisi. Merantau sama sekali tidak mendapat nominasi apapun di Festival Film Indonesia 2010. Namun film ini meraih penghargaan sebagai film terbaik di ActionFest 2010, sebuah festival film aksi tahunan yang digelar di Amerika Serikat. Bahkan, rangkingnya mengalahkan film lain seperti 14 Blades dari Hong Kong yang dibintangi oleh Donnie Yen.
Itu baru dua dari sekian banyak judul film Indonesia yang justru lebih dihargai di kancah internasional dibandingkan di tanah air sendiri. Ada pula seperti Berbagi Suami (Love to Share) dan Pintu Terlarang (Forbidden Door) yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Madame X menjadi film Indonesia pertama yang hadir di bioskop-bioskop Chicago selama berlangsungnya Chicago International Film Festival 2011. Padahal mungkin film itu juga tak akrab di telinga kita.
Belum lagi film-film dokumenter, yang juga banyak meraih penghargaan di festival film tingkat internasional. Sebut saja Negeri di Bawah Kabut (The Land Beneath The Fog) yang meraih penghargaan khusus Special Jury Price Muhr Asia Africa Documentary Awards. Penghargaan ini diberikan pada The 8th Dubai International Film Festival 2011. Heaven for Insanity (Le Ciel pour Folie) juga menang dalam Festival Film Internasional Anuu-ru Aboro di New Caledonia, Prancis, untuk kategori film dokumenter pendek.
Ah, jika ditulis semua mungkin tulisan saya ini akan sangat panjang. Seandainya bisa saya tulis semua tentu akan saya umbar dengan bangga prestasi-prestasi film Indonesia di luar sana. Satu hal yang langsung terpikir, jangan sampai bangsa lain yang lebih mencintai karya anak bangsa Indonesia. Saya cemburu. Cinta saya sebagai rakyat Indonesia harus lebih besar!
Jangan Sampai Mati Lagi
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negeri sendiri pada tahun 1980-an. Film yang terkenal pada saat itu antara lain Catatan Si Boy, Blok M, dan masih banyak lagi. Namun tahun 1990-an perfilman Indonesia semakin jeblok dan memasuki masa suram.
Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negerinya sendiri. Film-film Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut. Untunglah Petulangan Sherina dan Ada Apa dengan Cinta? berhasil mengawal kebangkitan perfilman Indonesia kembali, seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya.
Kebangkitan itu terlihat hingga kini. Film Indonesia tak kalah bagus dengan film Hollywood yang kini juga menjamur di bioskop-bioskop Indonesia. Jangan lupakan Eiffel I’m in Love, Di Sini Ada Setan, Love, Get Married, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Kambing Jantan, Garuda di Dadaku, Tanda Tanya, Republik Twitter, The Raid, Modus Anomali, Soegija. Ditambah pula dengan Perahu Kertas baru saja dirilis Kamis (16/8) lalu, adalah film-film Indonesia yang saya tonton sendiri di bioskop. Terlepas dari kekurangan yang ada, saya toh tidak pernah menyesal dan rugi telah melihatnya.
Tentu masih jelas terpatri dibenak kita tentang Laskar Pelangi yang berhasil memenangkan penghargaan sebagai Film Terbaik Asia Pasifik 2010. Ah, tak perlu jauh-jauh ke tahun 2010. Baru beberapa bulan lalu, penggemar film di tanah air dihebohkan dengan rilisnya The Raid. Film ini adalah film Indonesia pertama yang perilisannya dilakukan serentak di Indonesia, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Soal penghargaan internasional tidak perlu ditanya. Salah satu penghargaan tertinggi adalah sebagai The Cadillac People’s Choice Award kategori Midnight Madness dalam ajang Toronto Film Festival yang ke-36.
Sudah begitu banyak pretasi dan usaha dari sineas Indonesia demi kejayaan perfilman tanah air. Lupakan Suster Ngesot atau Suster Keramas. Lupakan film ‘horor esek-esek’ ala Dewi Persik dan Julia Perez. Anggap saja itu adalah ‘ketidaksadaran’ sesaat dari para pembuat film. Masih ada Catatan Akhir Sekolah, Radit dan Jani, The Mirror Never Lies, Denias, Soe Hok Gie, Merah Putih, Darah Garuda, Hati Merdeka, Sang Penari, Perempuan Berkalung Sorban, yang mengemas tema cinta, sosial, budaya, dan lingkungan, dengan baik.
Film Indonesia berhak diberi kesempatan. Berhak untuk tidak diremehkan. Berhak untuk tidak menerima perkataan, ”Ngapain nonton film Indonesia di bioskop? Rugi lho!”, bahkan sebelum ditonton. Berhak untuk dicintai oleh rakyat Indonesia sendiri. Bukankah mencintai berarti memberi kesempatan dan tidak meremehkan? Bukankah kita mencintai Indonesia? Jangan sampai film Indonesia mengalami masa suram lagi hanya karena hilangnya kesempatan dan perkataan meremehkan rakyatnya sendiri.
Lihat kan? Mencintai begitu sederhana. Masa membawa bambu runcing dan mengikat ikat kepala merah-putih sudah berlalu. Kita tak perlu mengorbankan nyawa seperti para pahlawan dahulu, untuk membuktikan cinta kepada Indonesia. Cukup dengan menghargai karya anak bangsa, lalu belajarlah dari karya-karya itu. Ambil sisi positifnya dan perbaiki sisi negatifnya. Selanjutnya, kitalah yang berkarya!
Ni Luh Putu Satyaning Pradnya Paramita
Mahasiswa program Fast Track Prancis Jurusan Statistika
Angkatan 2011
Spiderman memang film yang menakjubkan
Apalagi Batman
Tapi karena cintaku pada Indonesia
Aku memberikan kesempatan kepada Tanda Tanya
Juga Soegija dan Perahu Kertas
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)