Perhatikan fakta berikut ini:
UGM berdiri 19 Desember 1949
UI berdiri 2 Februari 1950
Unair berdiri 10 November 1954
ITB berdiri 2 Maret 1959
ITS berdiri 10 November 1960
Cermati, ternyata kita hanya terpaut delapan bulan dengan saudara tua kita (ITB, red). Dengan Unair, tetangga kita, tepat enam tahun saja. Bahkan, dengan UGM, kampus tertua di Indonesia, kita hanya berselisih sembilan tahun. Ibaratnya, kakak UGM kelas 4 SD, sedangkan kita baru lahir.
Kata pepatah bijak: menjadi tua itu keniscayaan, tapi dewasa adalah pilihan. Seperti perkembangan seorang manusia, bayi lima bulan jika dibandingkan dengan anak lima tahun tentu sangat berbeda. Jika satunya hanya bisa nangis, sementara anak lima tahun sudah ngoceh segala macam.
Agaknya, itu juga berlaku juga untuk ukuran perkembangan institusi atau organisasi. Termasuk membandingan perkembangan kampus. Kita bisa mewajari jika kampus yang sudah sepuluh tahun berkiprah pasti lebih bagus dari kampus yang baru berdiri setahun kemarin. Sebuah nalar analog. Klasik.
Jika ITB sekarang lebih maju daripada ITS, itu hal wajar. Namun, apa sesederhana itu, kah? Mari dilanjutkan dengan fakta selanjutnya.
Saat ini, ITB telah memiliki 13 fakultas dan sekolah, sedangkan ITS masih dengan lima fakultas saja. Sementara untuk universitas, UI 15 fakultas, UGM 18 fakultas, dan Unair 14 fakultas. Perbandingan lain, UGM 18 fakultas, pascasarjana, advokasi, diploma, S1, S2 dan S3. UGM juga mempunyai prestasi dengan jumlah 51.000 mahasiswa, 900 mahasiswa asing dari 51 negara, serta 3.000 dosen.
Sementara di UI sudah ada hampir 5.000 dosen dengan jumlah mahasiswa 34.000, dengan 12.000 tambahan per tahunnya. Di level institut, jika dibandingkan dengan ITB, ITS tak jauh berbeda dari kuantitas mahasiswanya. ITB dengan 19.000 mahasiswa, sementara ITS 17.000 ribu. Jumlah Guru Besar (Gubes) pun sedikit jauh tertinggal. ITB memiliki 132 Gubes, ITS dengan 102.
Belum jika membandingkan kiprah para alumni di kancah nasional atau internasional. Nama-nama besar dari lulusan UI, ITB, dan UGM jauh mendominasi dibandingkan kampus lainnya. Tiga nama itu juga mendominasi dalam hal passing grade seleksi penerimaan mahasiswa baru. Jika ada lembaga atau Instusi pendidikan memberikan peringkat kampus terbaik, tiga kampus itu hampir selalu bersaing di puncak. Atau terkadang hanya tukar posisi. Tidak pernah bergeser.
Mana yang terbaik? Mungkin jawaban paling jamak tergantung di mana kita menuntut ilmu. Mahasiswa ITB pasti mengatakan lebih baik daripada yang lain, pun begitu dengan yang mahasiswa kampus lainnya.
”Everyone is special”, adagium psikologi ini bisa diterapkan pada dunia pendidikan. Kampus-kampus tersebut hebat dengan jalannya mereka sendiri. Tidak bisa disamaratakan. Tidak adil jika membandingkan universitas dengan institut, karena bidangnya saja sudah berbeda. Termasuk juga usianya, mahasiswanya, dosennya, sejarahnya, juga kisahnya.
Berikut, saya petikkan sejarah lima kampus negeri, yaitu UGM, UI, ITB, IPB, dan Unair. Sengaja saya pilih kelima kampus tersebut karena mewakili banyak sejarah kampus lainnya secara keseluruhan.
Sejarah Kampus UGM
Dimulai dari kisah kampus ”tertua” di Indonesia, UGM. Tanda petik di sini hanya saya gunakan mengacu pada tanggal resmi pendirian oleh pemerintah. Karena jika diruntut jauh ke belakang, masing-masing kampus tua bisa mengklaim menjadi yang tertua dari yang paling tua.
Bagi saya, UGM adalah sejarah paling kompleks hingga nampak seperti labirin waktu yang sekatnya sangat panjang dan mbulet. Cikal bakal pendirian kampus UGM dimulai di Gedung SMT Kotabaru, 24 Januari 1946 silam. Di sini, didirikan Balai Perguruan Tinggi Swasta untuk mengimbangi pendirian kampus Universitas Indonesia di Jakarta. Kampus tersebut didirikan oleh Nederlands Indies Civil Administration (NICA).
Dengan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, maka saat itu terdapat dua perguruan tinggi di Yogyakarta. Yang satu lagi adalah Sekolah Tinggi Teknik, yang berdiri tanggal 17 Februari 1946. Sekolah Tinggi Teknik ini merupakan usaha penghidupan kembali Sekolah Tinggi Teknik Bandung (cikal bakal ITB, red) yang terpaksa ditutup karena suasana perang antara Indonesia dan tentara sekutu.
Setelah penyerbuan Belanda ke Yogyakarta, 19 Desember 1948, kedua perguruan tinggi di atas terpaksa ditutup. Para dosen dan mahasiswanya memilih berjuang menentang Belanda daripada melanjutkan proses belajar-mengajar. Penutupan kampus tersebut juga terjadi di kampus-kampus lain sekitar Yogyakarta, seperti di Klaten yang saat itu adalah kota dengan kampus terbanyak dan Solo.
Tahun 1946, Klaten sudah memiliki beberapa kampus dengan banyak bidang keilmuan. Ada Perguruan Tinggi Kedokteran, Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan, Sekolah Tinggi Farmasi, Perguruan Tinggi Pertanian, Institut Pasteur yang dipindahkan dari Bandung, dan Fakultas Kedokteran Gigi. Namun, semua kampus itu buyar karena para pengajar dan mahasiswanya lebih memilih berjuang melawan Belanda.
Ada pula Akademi Ilmu Politik yang ditinggalkan mahasiswanya karena meletusnya PKI Madiun. Bahkan, di Solo ada Balai Pendidikan Ahli Hukum yang akan diresmikan 28 Desember 1948. Namun, buyar karena Belanda datang lebih dahulu.
Sampai selesainya agresi militer Belanda, ada inisiasi dari profesor, tenaga pendidik, dan pejabat tinggi Yogyakarta untuk mendirikan institusi pendidikan di kota tersebut. Saat itu, tidak ada satu pun bangunan untuk aktivitas belajar pendidikan tinggi di Yogyakarta. Sampai akhirnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersedia meminjamkan kraton dan beberapa gedung di sekitar kraton untuk ruangan kuliah.
Dari sinilah, lahir Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang membawahi Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Farmasi, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran, FakultasTeknik dan Akademi Ilmu Politik. Pada pembukaan embrio fakultas ini, Bung Karno pun turut hadir untuk meresmikan. Lalu didirikan Fakultas Hukum yang merupakan pemindahan dari Sekolah Tinggi Hukum Negeri Solo.
Beroperasinya beberapa fakultas tersebut mendorong lahirnya UGM pada 19 Desember 1949. Tanggal ini dipilih, seperti disebut Bung Karno, adalah untuk memperlihatkan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia sanggup bangkit, meskipun sudah diserang habis-habisan oleh Belanda, 19 Desember 1948. Dengan kata lain, tanggal 19 Desember 1949 dipilih untuk menghilangkan noda 19 Desember setahun lalu.
Sebagai kota terakhir yang tidak tersentuh oleh Belanda, kota ini dipenuhi oleh para pejuang, negarawan, akademisi juga banyak tokoh nasional. Sehingga ketika beberapa fakultas dibuka, banyak kota ini yang diserbu oleh mahasiswa. Selain itu, sebagai kampus negeri pertama di Indonesia, hal ini memberikan gairah pendidikan yang tinggi dengan berdirinya banyak kampus-kampus lainnya. Tak heran, Yogya dikenal sebagai kota pelajar karena 20% penduduknya adalah pelajar yang menjejali 137 perguran tinggi di sana.
Sejarah Kampus UI
Saya urutkan dari kampus tertua ke-2 dari pendirian resminya, Universitas Indonesia (UI). Bagi khalayak internasional, UI mungkin lebih dikenal karena penggalan kata negara kita. Dan bila dicari ujungnya, kampus UI adalah titik awal banyak kampus negeri di Indonesia. Semacam induk semangnya.
Sejarah UI meloncat jauh pada 1849. Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah universitas yang kemudian diberi nama Dokter Djawa School (School of Medicine for Javanese) yang khusus untuk melahirkan asisten dokter. Pada tahun 1898, nama sekolah ini berubah menjadi School tot Opleiding van Indische (STOVIA).
Selain STOVIA, kemudian dibangun empat sekolah tinggi lain di beberapa kota di Jawa. Sekolah tinggi tersebut adalah Technische Hoogeschool te Bandoeng (Fakultas Teknik) yang berdiri di Bandung pada 1920, Recht Hoogeschool (Fakultas Hukum) di Batavia pada 1924, Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Kemanusiaan) di Batavia pada 1940, dan Faculteit van Landbouwweteschap (Fakultas Pertanian) di Bogor yang dibangun setahun kemudian.
Pada awal kemerdekaan tahun 1945, Pemerintah Indonesia mendirikan Badan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) di Jakarta. BPTRI memiliki tiga fakultas yang merupakan perubahan status dari sekolah-sekolah di atas, yaitu Fakultas Kedokteran dan Farmasi, Sastra, dan Hukum. Ketika tentara kolonial Belanda kembali menguasai Jakarta pada akhir tahun 1945, BPTRI dipindahkan ke Klaten, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.
Pada tanggal 21 Juni 1946, NICA (Pemerintah Sipih Hidia Belanda, red) mendirikan sebuah Nood Universiteit atau Universitas Sementara di Jakarta yang menggabungkan lima fakultas di atas. Pada tanggal 21 Maret 1947, nama Nood Universiteit diganti menjadi Universiteit van Indonesie (UVI). Akhirnya, Belanda hengkang dari Indonesia, Jakarta berhasil diambil alih kembali, pemerintah mengembalikan BPTRI ke Jakarta dan menggabungkannya dengan Universiteit van Indonesie. Serta, memberinya nama baru, Universiteit Indonesia (UI).
UI secara resmi memulai kegiatannya pada 2 Februari 1950. Berkedudukan di Jakarta, tepatnya di gedung Fakultas Kedokteran di Jalan Salemba. Tanggal ini pula yang kemudian dijadikan hari kelahiran UI.
Awalnya, UI memiliki 9 fakultas dan 3 lembaga yang tersebar di lima kota, yaitu Fakulteit Kedokteran, Fakulteit Ilmu Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat, serta Fakulteit Sastra dan Filsafat di Jakarta; Fakulteit Ilmu Alam dan Ilmu Pasti, Fakulteit Ilmu Pengetahuan Teknik, dan Lembaga Pendidikan Guru Menggambar di Bandung; Fakulteit Pertanian dan Fakulteit Kedokteran Hewan di Bogor; Fakulteit Ekonomi di Makassar; Fakulteit Kedokteran dan Lembaga Kedokteran Gigi di Surabaya.
Pada tahun 1955, Undang-Undang Nomor 10 tentang perubahan kata universiteit, universitet, dan universitit diganti dengan universitas. Sehingga sejak itu, Universiteit Indonesia secara resmi diubah namanya menjadi Universitas Indonesia dengan singkatan yang sama, UI. Berikut juga fakulteit yang diubah menjadi fakultas.
Fakultas-Fakultas yang berada di luar Jakarta kemudian berkembang menjadi universitas-universitas terpisah di antara tahun 1954-1963. Pada tanggal 2 Maret 1959 Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam di Bandung terbentuk dan berkembang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Selanjutnya pada 1 September 1963 Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan UI memisahkan diri pula menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Fakultas di Surabaya menjadi Universitas Airlangga (Unair) dan di Makassar menjadi Universitas Hasanuddin (Unhas). Pada 1964 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta dan kini berubah kembali menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Bisa dikatakan, UI merupakan induk yang sengaja disiapkan pemerintah untuk melahirkan embrio kampus-kampus lainnya. Karena kampus-kampus yang memisahkan dari UI tersebut juga ”melahirkan” kampus-kampus lainnya. Seperti beranak-pinak.
bersambung
a.n Tim Djoeang
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)