ITS News

Senin, 02 September 2024
04 September 2012, 11:09

Mengenang Pejuang ITS (7)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Abraham Lincoln, berkata ”one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah  ”never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah history-mu.

Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi dari pada hasil semua perjuangan kita dimasa lampau.

Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.

Penggalan di atas adalah kalimat pidato terakhir Ir Soekarno pada HUT RI tahun 1966, sebelum lengser dari jabatannya. Kalimat itu juga dipampang di halaman utama situs KM ITB yang juga almamater beliau.

Mengapa sejarah menjadi penting? Bagi kita, sejarah mengajarkan bagaimana sesuatu bermula, tumbuh, berkembang hingga mati. Sejarah juga mengajarkan tentang masa depan. Termasuk sejarah sebuah institusi Perguruan Tinggi.

Sejarah menjadikan setiap jalan Perguruan Tinggi menjadi berbeda. Tidak akan sama antara Institut dengan Universitas, tidak sama orang-orangnya, berbeda pula perjalannya. Karena berbeda, setiap PT menjadikannya mereka spesial. Tidak bisa dibanding-bandingkan dengan satu mata.

ITS, Kampus Tertua di Indonesia

Mungkin ITS adalah merupakan tertua di Indonesia yang didirikan secara ”independen”. Kata independen di sini dimaksudkan bahwa ITS bukan kampus differensiasi dari kampus lain seperti ITB, IPB, atau Unair. ITS juga bukan pula kampus hasil integrasi seperti UGM. Juga merupakan kampus termuda karena cikal bakalnya baru berdiri tahun 1957 tidak seperti kampus lain yang embrionya sampai menjulur di awal tahun 1900-an.

Tidak ada pula mergersisasi dengan kampus lain. Dari awal hingga saat ini, ITS berdiri sendiri dengan fakultas serta jurusannya sendiri. Tidak ada satu pun Fakultas atau Jurusan dari kampus lain yang dipindah ke ITS, juga tidak ada pula yang digabungkan dengan kampus lain.

Namun, kisah pendirian ITS memang tidak bisa dilepaskan dari nama kampus lain. Para pendiri Yayasan Perguruan Tinggi Teknik (YPTT) Sepuluh Nopember yang menjadi embrio ITS adalah para alumnus berbagai kampus yang lebih tua. Bapak dr Angka adalah lulusan kedokteran STOVIT (Unair). Ada Ir R Soendjasmono dan Kol Laut Ir Marseno Wirjosapoetra Rektor kedua ITS juga merupakan lulusan THS Bandung (ITB).

Ada Ir Harjono Sigit, Ir Sugeng Gunardi dan Prof Johan Silas, para pelopor dan pendiri FTSP ITS, merupakan alumnus ITB semuanya. Ada Prof Mahfudz Zaky yang pernah kuliah di UGM. Namun, ada pula para tokoh pendiri yang bukan akademisi seperti Jahja Hasyim, Asnoen Arsat, Aris Moenandar dan lainnya.

Mengapa ITS disebut Kampus Perjuangan?

Sepenjang kita menanyai, membaca, dan mengamati sejarah ITS dari awal berdiri, tidak ditemukan jawaban pasti atas pertanyaan ini. Tidak ada literasi valid yang memaparkan tentang pertanyaan ini. Tidak pula dengan banyak narasumber yang kita wawancarai memberikan jawaban pasti. Yang ada hanyalah hikayat lisan yang turun temurun dengan penggalan kalimat ini ”ITS adalah Kampus Perjuangan”.

Jika ditinjau dari sejarahnya pun, lika-liku perjuangan pendirian kampus ITS kalah jauh dari kampus lebih tua. Bahkan, jika parameter perjuangan diukur dari sejarah pendiriannya, predikat ini paling layak disematkan pada kampus UGM karena banyaknya pendiri serta akademisi yang berguguran karena berjuang pada era revolusi kemerdekaan. Juga faktor kondisi geo-politik Jogjakarta kala dulu.

Jauh sebelum Ir Soekarno memberikan mandat untuk meresmikan Perguruan Tinggi Teknik Sepuluh Nopember, di Surabaya sudah terdapat Universitas Airlangga yang diresmikan tanggal 10 November pula. Dipilihnya tangal 10 November pun dengan satu alasan klise, yakni agar bisa meneruskan jejak semangat pertempuran arek-arek Suroboyo pada 10 November 1950.

Namun mengapa bukan Unair yang dijuluki sebagai Kampus Perjuangan? Atau pertanyaan ini, mengapa Unair menggunakan nama Airlangga bukan Sepuluh Nopember? Padahal saat itu didirikan, momen-momen hari kepahlawanan masih hangat, baru empat tahun berselang. Belum ada satu pun bisa yang bisa menjawab dengan kepastian.

Tanpa menanyakan alasan tentang opsi nama lain, Airlangga adalah nama seorang Raja dari Kerajaan Kahuripan. Memang tidak seterkenal Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Kahuripan ”hanya” meliputi wilayah Jawa Timur yang berpusat di Kahuripan, wilayah Sidoarjo. Mungkin karena memang terdapat sanad hubungan antara Kerajaan ini dengan kota Surabaya, maka dipilihkan nama ”Airlangga”.

Tak dipungkiri, sejarah modern Negara kita tidak akan bisa dilepaskan dari sejarah kerajaan Hindu-Budha. Terutama yang berkaitan dengan lambang, simbol dan sejenisnya. Selain Airlangga, ada nama Universitas yang bernama Gadjah Mada, patih yang terkenal dengan Sumpah Palapa dari Kerajaan Majapahit. Palapa sendiri digunakan sebagai nama satelit milik Negara. Ada Universitas Udayana, yang merupakan ayah dari Raja Airlangga. Di Kalimantan ada Universitas Mulawarman, Raja dari kerajaan Kutai Martadipura.

Selain Universitas, ada juga logo atau lambang. Contoh yang mungkin paling terkenal adalah lambang Negara berupa Garuda, merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu. Garuda juga menjadi simbol Universitas Airlangga. Ganesha, logo ITB adalah dewa Ilmu Pengetahuan.

Frase ”Bhenika Tunggal Ika” juga disadur dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Padahal asli kalimat utuhnya bukan tentang kenegaraan, namun spiritualitas. Berikut kalimat asli beserta terjemahannya.

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa / Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen / Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal / Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan: Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda / Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? / Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal / Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Kembali pada sejarah julukan Kampus Perjuangan. Mungkin karena Unair sudah terlanjur menggunakan nama Airlangga, sehingga nama kampus tekniknya dinamakan dengan ”Sepuluh Nopember”. Mengapa bukan Institut Teknologi Surabaya? Yang kalau disingkat menjadi ITS, sementara Institut Teknologi Sepuluh Nopember seharusnya menjadi ITSN.

Mungkin (lagi), sebab pasti mengapa kampus ini disebut kampus Perjuangan hanya karena dua hal. Pertama karena kampus ini didirikan di tanah kota Surabaya, dan kedua karena namanya mengandung kata ”Sepuluh Nopember” yang memang identik dengan hari Pahlawan dan perjuangan. Sebab lainnya karena karena julukan itu seolah turun temurun dengan sendirinya.

Atau yang paling jamak ditemukan ”Masuk ITS itu susah, tapi keluar dari ITS itu jauh lebih susah”. Adigum ini pula yang sering berkelana dalam pikiran mahasiswa dulu tentang makna kata ”Perjuangan”. Ada pula yang menghubungkan dengan pengkaderan, yang pada zaman dulu sangat penuh dengan perjuangan.

Untuk mencari jawaban atas mengapa di atas, benarnya kita harus menanyakan kepada para inisiator pendirian kampus ini. Namun satu hal yang pasti, pemilihan nama itu dimaksudkan untuk menjaga dan meneruskan semangat kepahlawanan yang pernah terjadi di kota Surabaya pada tahun 1950.

Ada sejarah yang pernah diucapkan salah satu narasumber kita. Di awal 1960, Ir Soekarno pernah memberikan opsional pada YPTT Sepuluh Nopember untuk berubah menjadi Perguruan Tinggi Negeri atau digabungkan menjadi Fakultas Teknik di bawah Universitas Airlangga. Jika saat itu ITS tidak jadi lahir, apakah Kampus Perjuangan akan berpindah-tangan menjadi julukan dari Unair?

Bagaimana menurut anda?

Bersambung ke profil Bapak BG Munaf (pelopor pendirian kampus maritim ITS) dan Bapak Prof Mahmud Zaki, Rektor ke-4 ITS.

a.n Tim Djoeang

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mengenang Pejuang ITS (7)