ITS News

Senin, 02 September 2024
15 Oktober 2012, 13:10

Mengenang Pejuang ITS (8)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Cakrawala Surabaya sudah menghitam bersama tenggelamnya sang surya. Lampu jalanan menggantikan perannya. Cuaca pun sangat bersahabat, juga tidak ada hujan. Di bilangan Jalan Dharmahusada, saya mengendap-endap menuju alamat yang terdapat di kertas. Hingga akhirnya saya menemukan kediaman Prof Mahmud Zaki MSc, di perumahan dosen Dharmahusada. Saya pun baru menyadari, selain Perumdos Kalibokor masih ada yang lebih tua.

Rumah bergaya era Belanda itu menjorok jauh dari bahu jalan raya. Saat malam, halaman depan pagar dipenuhi dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang cukup ramai. Sehingga, dari luar rumah ini tampak terpencil. Namun, di rumah mungil inilah salah satu ceruk masa awal perkembangan ITS Sukolilo.

”Ini adalah Perumdos ITS pertama, hanya ada empat rumah,” ujarnya sambil menunjuk tiga rumah di sampingnya.

Di rumahnya ini, beliau menghabiskan hari-harinya selain mengajar di ITS. Selisih dua rumah di sebelah kirinya adalah kediaman Bapak BG Munaf, pelopor Fakultas Teknik Perkapalan yang menjadi cikal bakal citra maritim di kampus ini. Dua rumah lainnya adalah kediaman dosen senior Jurusan Teknik Elektro dan Teknik Kimia.

Di atas mejanya berjejer banyak buku Fisika yang sangat tebal. Lalu, saya dipersilahkan duduk sembari menjelaskan jika di atas meja itu adalah tesis mahasiswa pascasarjana Jurusan Fisika FMIPA.

”Saya harus lembur membaca semuanya. Besok harus menguji dua sidang mahasiswa S2, terus besok Rabunya, satu mahasiswa lagi,” ungkapnya.

Ya, di rumah ini, dosen yang akrab disapa Zaki ini tinggal bersama istri dan seorang putrinya. Setiap hari beliau masih aktif mengajar di Jurusan Fisika FMIPA. Di usianya yang sudah memasuki 78 tahun, ia belum berencana untuk berhenti mengajar. Walaupun masa purna tugasnya sudah diketok sejak tahun 2005.

”Saya mulai mengajar di ITS sejak 1962,” ungkapnya pada kesempatan lain.

Itu artinya, tepat setengah abad yang lalu. Dan, hingga kini beliau masih mengajar.

Prolog
Ingatan yang masih terekam kuat, tutur kata yang jelas dan selipan humor adalah tiga hal yang sangat berkesan selama mewawancarai beliau. Bagi saya sendiri, ingatan detailnya sangat luar biasa dan mengagumkan. Misalnya ia masih ingat tentang hari tes beasiswa Plan Colombo yang mengantarkannya kuliah di Australia.

”Tanggal 20 oktober 1955 saya masih tes di Jakarta. 1 November saya berangkat ke Australia beserta 90 peserta lainnya,” katanya membuat saya terdiam sejenak.

Atau ketika beliau merinci uang beasiswa yang diterima ketika beliau kuliah di UGM tahun 1954.

”Kita mendapatkan 309 rupiah 11 sen per bulan. Itu sudah lumayan banyak sekali. Untuk beli bakwan satu piring satu rupiah saja. Kontrakan saya pun Rp 90 per bulan, itu sudah termasuk makan dua kali sehari. Kalau di gedongan Rp 150 per bulan dan asrama hanya Rp 125 per bulan,” ungkapnya sambil menyunggingkan tawa khasnya.

Banyaknya detail penting dari penuturannya memang tidak akan cukup dimuat dalam satu profil saja, perlu sebuah buku untuk menampungnya. Sehingga kami hanya memilih hal-hal yang berhubungan dengan tema buku Memoar ITS, tentu selain pertimbangan humanisme atas teladan kehidupan dari kisah beliau.

ITS Dulu dan Kini
Lulus dari Universitas New South Wales tahun 1961, tawaran pertama yang disodorkan kepadanya adalah mengajar di UGM dan ITB. Namun, keduanya ditolak dan justru memilih ITS yang saat itu baru setahun berdiri. Ibarat anak orang, ITS masihlah seperti bayi.

Mengapa memilih ITS? Jawabannya sungguh mengejutkan saya, dan juga mengundang tawa kita bersama. (jawaban ada di Buku Memoar)

”Saat saya masuk, dosen tetapnya hanya dua orang saja,” katanya.

Dua dosen itu adalah Bapak Soemani dan Bapak Soemadijo. Beliau masuk ITS bersama dengan Bapak Teguh yang mengajar di Perkapalan. Sisanya ada puluhan dosen tidak tetap atau dosen luar biasa dari beberapa praktisi industri dengan jumlah mahasiswa mencapai 900 mahasiswa. Namun, hal itu tidak diimbangi dengan sistem akademik yang tidak memadai.

”Banyak dosen luar biasa yang mengajar seenaknya sendiri. Mau datang atau tidak, terserah beliau sendiri, jadinya banyak mahasiswa yang juga malas kuliah,” akunya.

Membenahi jadwal, mengatur kurikulum, sekaligus mengajar adalah aktivitas pertama yang dijalani bersama selama di kampus perjuangan ini. Tempat kuliah yang tersebar di banyak tempat pun diingatnya lengkap dengan kenangan yang menyertainya.

Rektorat pertama ITS yang terletak di Jalan Embong Ploso adalah bangunan milik YPTT Sepuluh Nopember. Ruangan itu juga ditempati sebagai ruang kuliah sekaligus sebagai ruangan resmi Rektor ITS, dr Angka Nitisastro dan dua Pembantu Rektor.

”Itu aslinya hanya satu ruangan yang disekat menjadi dua ruangan menggunakan papan. Tidak ada yang istimewa dari ruangan Rektor, perabot di dalamnya juga apa adanya,” imbuhnya.

Kampus Undaan Kulon menyimpan cerita unik pula. Awalnya ruangan itu adalah gudang pabrik yang dijadikan tempat kuliah. Karena letaknya di gudang, maka letaknya menjorok ke dalam. Terdiri dari tiga ruangan yang dipisahkan hanya oleh anyaman bambu atau sesek. Lama kelamaan sesek ini pun berlubang.

”Jadi dari satu ruangan ke ruangan lainnya bisa saling mendengarkan. Kalau satu ruangan ramai, satunya bisa mendengarkan dengan jelas,” akunya sambil tersenyum kecil.

Yang paling mengesankan tentu pembangunan Kampus Sukolilo. Dari pembelian tanah setengah rawa tahun 1964 oleh YPTT Sepuluh Nopember, pengukuran tanah, sampai pembangunan satu per satu pembangunannya bisa dijelaskan oleh beliau. Menurutnya, pembangunan Kampus ini memakan waktu sangat lama.

Baru tahun 1982 Kampus Sukolilo baru bisa ditempati secara resmi. Selama 20 tahun, mimpi dr Angka Nitirsastro untuk menyatukan seluruh tempat kuliah menjadi satu tempat baru terwujud. Beliau mengakui bahwa ini adalah mimpi besar yang menjadi kenyataan.

”Pak Angka adalah orang yang luar biasa visioner!” urainya memuji kegigihan perjuangan pendiri ITS tersebut.

Selain sebagai dosen senior, jabatannya sebagai Pembantu Rektor ITS dan sebagai Rektor ITS dua periode tahun 1973-1982 memberikan ribuan pengalaman yang berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan Kampus Perjuangan. Juga peningkatan kualitas dosen ITS berupa pemberangkatan beberapa dosen ke luar negeri, beliau juga turut andil di dalamnya.

Seperti juga pada tahun 1977, mahasiswa ITS dihebohkan oleh Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) serta adanya mahasiswa ITS yang ditahan oleh Pemerintah Orde Baru. Semua bisa diutarakan oleh beliau secara gamblang, penuh kejutan dan tentunya sarat pelajaran.

Dari Madura Langkahnya Dimulai
Semburat pelangi kisah perjalanan hidup yang beliau lontarkan selalu berujung dengan senyuman. Penyuka novel Andrea Hirata ini selalu sukses membawa suasana cerita kehidupan seperti drama dengan akhir bahagia (happy ending). Bahkan untuk sesuatu yang sangat ironi pun bisa menjadi hal yang tak hanya patut untuk ditangisi namun juga layak untuk ditertawakan.

4 Februari 1935, beliau dilahirkan di Surabaya. Namun, keluarganya asli Madura dan beliau pun dibesarkan di Pulau Garam oleh kakek-neneknya. ”Saya itu hanya numpang lahir di Surabaya, setelah 40 hari saya dibawa ke Madura,” tuturnya memulai kisah.

Selama masa sekolah, ia mengalami pergantian situasi zaman. Saat mulai sekolah kelas 1 masih zaman Belanda, kelas 2 Belanda meninggalkan Indonesia dan Jepang masuk, kelas 5 Indonesia merdeka. Pindah-pindah Sekolah dan pergantian kurikulum sesuai dengan era-nya membuat Zaki kecil terlambat lulus hingga 1,5 tahun.

Selepas lulus dari Sekolah Rakyat (SR), Belanda kembali ke Indonesia lagi lewat Agresi Militer Belanda pertama. Studinya menjadi terhambat karena semua sekolah di Madura menutupkan diri. Namun, para pemuda pergerakan mendirikan SMP Dr Soetomo di Sumenep. Beliau sekolah di sana hingga lulus SMA.

Di akuinya, sekolah pada zaman itu adalah hal langka dan hak orang-orang tertentu. Bagi sebagian penduduk pribumi, sekolah adalah keistimewaan. Hanya anak-anak pejabat atau pamong praja yang bisa sekolah. Mayoritas adalah hak anak-anak Belanda.

”Lagian, bagi penduduk pribumi faktor utamanya adalah karena mereka tidak merasa butuh sekolah. Sekolah itu tidak penting,” imbuhnya sambil tersenyum kecil. (Kisah lengkap di Buku Memoar)

Epilog
Hari itu selepas Salat Jumat, saya bertemu beliau di ruangan dosen Jurusan Fisika FMIPA. Ruangan paling dekat pintu belakang yang sering disapa ramah oleh penghuni ruangan lainnya. Beberapa buku berjejer terbuka di atas mejanya bersama lembaran kertas putih penuh dengan tulisan tangannya.

”Ya beginilah aktivitas saya kalau menganggur, membuat kunci jawaban dari diktat atau buku perkuliahan,” tutur dosen dengan keahlian mengajar Fisika Optik ini.

Selain kegemarannya berolahraga, aktivitas itu diyakini sebagai salah satu cara agar pikirannya tetap bekerja dan menggugah ingatan-ingatan tentang ilmu fisikanya. Sebagai orang lanjut usia, hal ini juga sebagai salah satu terapi agar tidak cepat gampang lupa, selain juga memang tanggung jawabnya sebagai seorang pengajar.

Sejenak saya dipersilahkan duduk di depannya, sementara tangannya masih mempertahankan aktivitas coret-mencoret kunci jawabannya. Saya bertanya soal kapan beliau berhenti mengajar. Sejenak, beliau hanya tertawa kecil memandang saya.

”Saya akan terus mengajar, sampai disuruh berhenti. Karena bidang saya ini memang belum ada penggantinya. Jadi ya harus terus dijalani,” ungkapnya.

Kembali, beliau menekuni lembar demi lembar soal-soal dalam buku setebal ribuan halaman itu. Di belakangnya, papan putih yang berisi jadwal mingguan beliau sebagai pengajar sudah penuh dengan isian aktivitasnya.

Tepat, setengah abad lalu beliau memulai mengajar dan mendidik. Sampai hari ini dan entah sampai kapan semangat Sang Pendidik itu akan senantiasa menebarkan inspirasinya. Menggemakan inspirasi dalam keabadian.

a.n Tim Djoeang
Lantai 6 Perpus Pusat ITS
Telp: (031) 599251-54  ext  1195
Mobile: 081231074413

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mengenang Pejuang ITS (8)