ITS News

Senin, 02 September 2024
28 Oktober 2012, 15:10

Jejak "Pemuda"

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Buat apa perayaan formal setahun sekali diulang? Toh, Sumpah Pemuda bukan lagi sesuatu yang bisa diulang. Apalagi, Indonesia sudah merdeka. Masyarakatnya sudah satu. Juga tidak ada lagi yang menggunakan bahasa penjajah Belanda sebagai bahasa utama.

Semua orang seharusnya juga sudah tahu apa itu Sumpah Pemuda. Sejumlah mahasiswa dari beberapa kelompok etnis yang akhirnya meneriakkan sumpah heroik untuk mempersatukan sesama. Bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu.

Seberapa susahnya mengumpulkan sekelompok mahasiswa untuk melakukan sebuah kegiatan? Bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia organisasi pasti tahu, jawabannya bisa susah sekali. Apalagi, bila yang diajak adalah para mahasiswa aktif yang rata-rata juga sibuk semua.

Mengumpulkan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia pastinya jauh lebih berat lagi. Keadaan 1928 tak bisa dibandingkan dengan keadaan sekarang, di mana undangan dan kolaborasi antar sesama hanya hitungan detik di SMS, e-mail, ataupun messenger. Betapa besarnya usaha para pemuda nasionalis tersebut, hanya untuk bertemu dengan sesama!

Sepenggal cerita dari seorang pelaku sejarah mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenainya. Ir Marmijanto, dosen di Fakultas (sebelum menjadi jurusan) Arsitektur ITS, adalah juga seorang pejuang perang kemerdekaan. Hingga kini, ia masih merupakan anggota aktif Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).

”Meskipun masih sangat muda, kami dulu tidak pernah takut,” ceritanya mengenai perjuangan para pemuda saat itu. Bayangkan, di usia 17 tahun, Marmijanto dan rekan-rekannya tak takut untuk ikut peperangan beneran. Bukan tawuran pengecut antar dua SMA, melainkan benar-benar melawan penjajah Belanda yang bersenjatakan senapan. 

Marmijanto yang berasal dari Jawa Tengah sendiri mengalami beberapa peperangan besar, salah satunya Pertempuran Sidobunder. Di area tersebut masih bisa dijumpai monumen yang memperingati berlangsungnya perang antar pemuda dan tentara Belanda. Tentu saja, ungkapan ‘pemuda’ dalam konteks ini tak hanya berlaku bagi mereka yang berjenis kelamin pria. Semua yang masih muda, dan masih memiliki jiwa semangat yang tinggi, adalah para honourable mentions catatan sejarah ini.

Dalam situasi keamanan yang tidak menentu, penyampaian berita sering lebih terpercaya melalui word of mouth, atau dari mulut ke mulut. Begitu pula dengan undangan para pemuda antara sesama. Mereka aktif berkunjung ke berbagai daerah, saling berjanji untuk melakukan pertemuan pada sebuah waktu yang ditentukan bersama.

Kalau saja dulu sudah ada handphone, mungkin pertemuan-pertemuan tersebut tak akan terwujud. Lantaran akan sangat mudah pula janji tersebut dibatalkan. Namun, sifat amanah para pemuda rupanya tak tergoyahkan.

Apapun akan mereka lakukan untuk memenuhinya. Bolos sekolah bukan suatu hal yang luar biasa. Kendala transportasi juga tidak terlintas di benak mereka. Berjalan puluhan kilometer selama berhari-hari sanggup mereka lakukan, meski dengan pesangon yang tak seberapa, atau malah hampir tak ada.

Lantas, bagaimana mereka makan selama perjalanan tersebut? Lagi-lagi, tak seperti kondisi sekarang ini, masyarakat sangat menghargai dan mempercayai para pemuda. Mereka tak segan-segan memberikan bantuan kepada mereka, mulai dari makanan, sekadar tempat untuk bermalam, hingga uang. 

Ketika para pemuda saling berkumpul, mereka pun bersikap seolah keluarga karib. ”Kami langsung salaman, berpelukan erat, meskipun tidak saling kenal!” kenang pria yang kini bertempat tinggal di Jakarta itu. 

Dari situ, mulailah rangkaian pertemuan dan penyusunan siasat perang yang mereka lakukan. Tanpa para pemuda, semangat perang kemerdekaan tak akan sebesar yang telah terjadi. Hingga saat ini, hampir di setiap daerah terdapat perkumpulan TRIP yang masih aktif berkumpul. Apakah mereka lebih ‘pemuda’ dari kita yang masih muda?

Berbeda, Tapi Satu
Tentunya, keadaan memang sudah beda sekarang. Kita tidak akan pernah bisa mengulang atau merubah sejarah. Tetapi, esensi dari sebuah peristiwa sejarah akan tetap sama, dan kita bisa mempertahankan dan menjaganya.

Terlampau ceroboh untuk bilang bahwa karena Indonesia telah merdeka, tak perlu lagi mengadakan forum-forum untuk mempersatukan anak-anak negeri. Terlampau ignorant juga untuk berpikir setelah kemerdekaan, Indonesia tak lagi mengalami masalah independensi. Apalagi, bila makanan pokok kita setiap hari tak lagi berasal dari tanah sendiri.

Bangsa ini tidak akan pernah bisa dibangun oleh usaha yang parsial. Itulah mengapa para pemuda ikut serta untuk menyebarkan semangat nasional. Ironis apabila Jakarta terus berkembang pesat, tapi beberapa daerah Papua Barat masih saja belum menikmati pasokan listrik tak stabil setiap harinya. Untuk menerbangkan sebuah pesawat, butuh stabilitas pada kedua sisinya. Setiap tahun, Sumpah Pemuda hadir sebagai titik nol untuk memperbaharuinya, membawa ke tingkat yang lebih bermakna. 

Saat ini, di Jakarta, beberapa pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia juga tengah berkumpul. Mencoba merekonstruksi kembali semangat para pemuda 1928. Kita tidak akan pernah bisa mengulang sejarah. Tapi semangat yang terkandung di dalamnya, tetap bisa kita jaga dan pertahankan.

Lisana Shidqina
Mahasiswa Jurusan Arsitektur angkatan 2009

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Jejak "Pemuda"