ITS News

Senin, 02 September 2024
10 November 2012, 03:11

Ia Datang

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Seharusnya hari ini mereka hadir. Menyaksikan kota-kota yang sudah mereka tukarkan dengan darah dan keringat, dan kini terbangun rata. Saya membayangkan mereka ada, berdiri, berjalan, di sepanjang jalanan kota. Berpesta bersama. Menatap semua kemegahan dan kemakmuran masyarakatnya.

Apa yang bisa kita banggakan untuk mereka? Kemakmuran itu pasti. Sebuah keniscayaan dari hasil kerja keras, apalagi sebuah perjuangan. Kemegahan menyusul kemakmuran. Itu juga keniscayaan.

Namun kemegahan kita masih tidak bisa dibilang seimbang. Ibarat timbangan, satu sisi naik sementara lainnya merosot. Satu belahan rakyat hidup dalam gedung-gedung tinggi, yang bagi belahan lain hanya mimpi.

Di sisi lain, kemakmuran kita juga masih kecolongan. Di antaranya terselip budaya-budaya instan, kemalasan, kurang bekerja keras, kurang bersemangat, kurang peduli dengan sesama. Hanya sebagian yang masih memilikinya; semangat pembaharuan, dahaga kesetimbangan dan keadilan, dan keberanian untuk berkarya. Hanya sebagian dari mereka pula yang bisa menyebarkannya kepada masyarakat luas.

Andai Bung Tomo, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan tokoh-tokoh pahlawan lainnya bangkit kembali, siapa sajakah yang akan mereka kunjungi? Siapa yang akan menyambut mereka? Tentara? Atau justru ‘rakyat jelata’, mereka yang hidup di pinggir-pinggir kemakmuran?

Pahlawan Hari Ini
Hari ini seorang pahlawan hidup datang bertandang. Mengetuk pintu-pintu hati pendengarnya, mengumandangkan salam perjuangan. Manusia dari berbagai tempat berbondong-bondong, mencari siraman semangat terhormat itu.

Pahlawan hidup mengingatkan akan buruh-buruh usaha kecil menengah. Jumlah mereka paling banyak di seluruh negeri. Tapi pendapatan total yang mereka jauh di bawah sedikit usaha milik para bos dan direktur dengan dasi dan jas. Mengapa bisa demikian?

Pahlawan hidup mengingatkan pada kemampuan anak-anak muda. Yang otak-otaknya masih cemerlang dengan ide-ide yang terus berkembang. Betapa mereka harus mendedikasikan diri untuk orang-orang yang masih ‘terlalu banyak bekerja’. Bukan karena jabatan yang tinggi, tetapi karena bayaran yang tak mencukupi.

”Ibu saya lahir pada 10 November, ayah saya lahir pada 17 Agustus. Mau tidak mau saya dibesarkan dengan semangat juang pahlawan,” ucapnya ringan. Pahlawan hidup mengingatkan dirinya sudah menua. Ia hanya punya wejangan-wejangan yang hanya bisa ia ulang dan orang lain dengar. Ia masih punya tenaga, dan selama itu masih ada, ia akan menggunakannya. Namun para orang muda, ya, mereka yang harus bisa melanjutkannya.

Suaranya mengeras, tertahan, menggema ketika berbicara mengenai tindak-tindak kejahatan negara. Mengenai industri-industri dalam negeri yang dimatikan dengan berbagai alasan. ”Membunuh industri itu seperti membunuh manusia, irreversible!” Siapa yang akan mencegah hal itu terulang? Hanya pahlawan-pahlawan yang bisa.

Ketika pahlawan hidup BJ Habibie tersenyum, melucu, terlihat jenaka, para pengamatnya pun ikut terhibur. Ketika ia menangis, para pendengarnya turut menangis. Terharu. Mereka telah, masih, dan akan terus meminjam semangat juangnya. Tanpa jaminan akan kembali kepadanya. Mereka berharap ia takkan pergi, dan akan terus kembali…

Andai Bung Tomo, Panglima Sudirman, Sultan Hasanuddin dan tokoh-tokoh pahlawan lainnya akhirnya bertemu dengan BJ Habibie, apa yang akan terjadi? Siapa yang akan menangisi siapa?
Lisana Shidqina
Mahasiswa Jurusan Arsitektur 
Angkatan 2009

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Ia Datang