ITS News

Senin, 02 September 2024
25 Januari 2013, 19:01

Belajar dari Banjir Jakarta untuk Indonesia

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hingga saat ini daerah sekitar sebagian Kecamatan Penjaringan yang meliputi empat kelurahan yaitu Kelurahan Pluit, Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Penjagalan, dan Kelurahan Kapuk masih terendam banjir dengan ketinggian bervariasi. Bahkan, pada beberapa titik ketinggian air mencapai dua meter.

Luapan Waduk Pluit, Kali Angke Hilir dan hujan setempat pun menjadi penyebab banjir Jakarta ini. Jebolnya tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) di Jalan Latuharhary menyebabkan banjir menggenangi sebagian kawasan Jalan Sudirman, Bunderan Hotel Indonesia, Jalan Thamrin dan sekitarnya.

Kejadian ini praktis mengakibatkan kerugian baik secara material dan immaterial. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono  memperkirakan  kerugian material mencapai Rp1 triliun.

Jika dilihat dari sudut pandang berbeda, ada pelajaran berharga dari banjir Jakarta yang sudah  berulang kali tetapi penyelesaiannya selalu tidak ke penyebab masalah. Faktor hujan memang tidak bisa dihindari. Apalagi, bulan Januari dan Februari curah hujan sedang berada di puncaknya. Sehingga yang harus diperhatikan bagaimana kondisi tata ruang dan masyarakatnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, sedikitnya ada beberapa masalah utama terkait perilaku buruk masyarakat. Yaitu, terjadi perubahan tata guna lahan di kawasan resapan air di kawasan Puncak Gunung Pangrango. Kawasan hutan diubah menjadi kawasan terbangun. Akibatnya, daerah resapan air berkurang. Air hujan mengalir menjadi air banjir yang mengerosi tanah dan mengendapkannya ke sungai. Sehingga, terjadilah pendangkalan sungai.

Masalah lain, banyaknya penduduk yang bermukim di bantaran sungai. Akibatnya lebar sungai akan semakin menyempit. Demikian pula dengan perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan termasuk ke Kali Ciliwung. Sampah seperti kasur, sofa, lemari, bantal, styrofoam, plastik ditemukan didalamnya.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk juga memberikan pengaruh yang tidak kalah besarnya. Keadaan tersebut menekan sungai, ikut mengurangi jumlah hutan kota, mengingkatkan konsumsi air tanah hingga berlebih dan tidak terkontrol yang akan mengakibatkan penurunan tanah di beberapa tempat di Jakarta.

Dengan kondisi tersebut, maka tidak heran apabila sungai tidak dapat menampung air saat hujan besar datang. Sungai akan menjebolkan tanggul dan menyebabkan banjir.

Permasalahannya, kebiasaan buruk tersebut dilakukan semua kalangan. Dari para pejabat dan birokrat sampai masyarakat, dari profesor sampai provokator, dari konglomerat sampai yang melarat. Intinya, semua level baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak, semua melakukan ini dengan sadar.

Yang cukup mengherankan, banjir Jakarta ini ibarat agenda tahunan. Sudah berulang kali tetapi tidak kunjung teratasi. Pemerintah Jakarta hanya melakukan tindakan parsial. Misalnya melakukan pengerukan sungai dan pembersihan sampah.

Padahal, seandainya kawasan resapan hanya digunakan untuk hutan saja maka erosi dan sedimentasi sungai tidak akan terjadi. Sehingga pengerukan sungai tidak perlu dilakukan lagi. Pun jika dilakukan program edukasi secara sistematis dan termonitor tentang pembuangan sampah kepada masyarakat maka proyek pembersihan sampah tidak perlu dilakukan.

Rencana Jokowi membangun terowongan multiguna justru akan sia-sia kalau sedimentasi dan perilaku buang sampah masyarakat masih tetap terjadi. Bisa jadi akan menimbulkan masalah baru. Karena semua terlibat, maka upaya revitalisasi kawasan resapan dan revitalisasi sungai menjadi sulit dilakukan. Alasannya karena pemerintah pun juga tidak mau melakukan.

Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi daerah aliran sungai besar lain yang banyak terdapat di Indonesia. Kalau mereka terus membiarkan kejadian yang sama tanpa mengatasinya maka kondisinya akan seperti Jakarta yang selalu bermasalah dengan banjir.

Dr Amien Widodo
Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim

Berita Terkait