ITS News

Senin, 02 September 2024
26 Februari 2013, 13:02

Menjadi Manusia Global

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Pertemuan itu senyatanya bertujuan untuk membahas permasalahan brain drain yang memang sedang dirasa booming. Arti sederhananya, yaitu larinya para ulul albab, atau orang-orang pintar Indonesia ke luar negeri, demi mencari penghidupan yang lebih baik. Contohnya, bapak insinyur Indonesia pak Habibie. Kasusnya sering bermula dari kesempatan belajar di luar negeri yang diterima oleh para mahasiswa, namun menjelang akhir studi, mereka tidak kembali ke Indonesia. Melainkan menetap dan bekerja di negara tempat numpang tersebut.

Seluruh mahasiswa Indonesia di luar negeri, yang merupakan perwakilan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) itu berbagi tentang keadaan yang mereka hadapi di dunia luar. Tidak ada satupun yang menampik bahwa ada daya tarik yang besar bagi orang-orang Indonesia di luar negeri untuk terus bekerja di sana. Faktor-faktor utamanya: keadaan ekonomi yang lebih baik, lapangan kerja yang lebih luas tersedia, serta sistem kerja yang lebih melek teknologi serta profesional. 

Simak saja cerita perwakilan dari Filipina. Kerja part-time di perusahaan untuk menghidupi dirinya selama jadi mahasiswa, dengan jadwal kuliah yang disesuaikan dengan jadwal kerjanya, ia bisa mendapat upah sebesar Rp 8 juta per bulan, dibayar sesuai dengan shift jam kerjanya setiap minggu. Itu baru tingkat lulusan undergraduate

Cerita dari perwakilan Swedia tidak jauh berbeda. Seorang tukang sampah saja (Swedia adalah negara yang mengoversi sampahnya dan sampah negara tetangga menjadi energi) digaji sekitar Rp 20 juta per bulan. Siapa yang tidak ngiler. Siapa yang bisa menyalahkan orang-orang yang akhirnya menetap di sana.

Faktor lain adalah kasus lulusan magister maupun doktoral luar negeri yang kembali ke Indonesia tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya. Seringkali, kesempatan kerja yang ada memiliki persyaratan kompetensi yang lebih rendah. Ini juga beban; bagaimana seseorang merasa tidak bisa mengaplikasikan keseluruhan ilmunya dengan baik.

Mereka Lari, Terus Kenapa?
Bahaya brain drain, yaitu bahwa Indonesia bisa kekurangan orang-orang paling mumpuni-nya di dalam negeri sendiri. Padahal kalau dibandingkan, masih banyak sekali kekurangan di dalam negeri yang membutuhkan keahlian dan kemajuan pemikiran. Kasusnya menjadi semakin urgent, karena kesempatan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk menetap di luar negeri, bisa dibilang semakin besar.

Indonesia termasuk negara yang banyak diincar karena resource manusianya yang besar, sejalan dengan statusnya sebagai productive country. Apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara makmur seperti di Eropa, yang sudah mulai memasuki tahap aging country dan kehilangan SDM produktifnya, terutama untuk tenaga industri. 

Sebenarnya, persebaran orang-orang Indonesia di luar negeri juga bisa berdampak baik bagi perkembangan diplomasi, ekonomi dan akademisi. Contohnya adalah orang-orang Tiongkok yang juga tersebar ke berbagai negara, namun tetap terhubung dengan jaringan bisnis dan ekonomi di negara sendiri. Sehingga negara mereka juga turut berkembang karenanya.

Nampaknya hal ini yang sedikit luput. Karena motif tinggal ke luar negeri yang masih lebih banyak untuk ‘membahagiakan’ diri sendiri, maka banyak kemungkinan faktor kepedulian terhadap masyarakat di kampung sendiri terlupakan, atau terabaikan. Ada missing link antara para diaspora ini dengan masyarakat di dalam negeri sendiri yang mengakibatkan transfer ilmu sedikit terhambat. Apakah lantas ini jadi sebuah masalah nasionalisme?

Pada titik ini diskusi dalam pertemuan itu mencapai titik ‘sensitif’. Mereka yang di luar negeri tidak mau menerima anggapan bahwa keberadaan di luar negeri lantas membuat mereka tidak kehilangan semangat nasionalisme. Sementara yang berada di Indonesia merasa bahwa mereka di luar tidak merasakan perjuangan yang sama untuk mengoptimalisasi diri dan membangun negeri.

Menanggapi pemikiran ini, saya rasa I Made Andi Arsana di Australia menyajikan sudut pandang yang menarik.  Sebagai orang Indonesia ‘tulen’, paling tidak dasar rasa cinta kepada negeri yang harus ada. Termasuk cinta pada masyarakat Indonesia sendiri. Sehingga bisa tumbuh rasa ‘one for allall for one‘, bahkan ‘all for all‘. 

Memang, bisa jadi kita tidak suka dengan keadaan di negara sendiri. Namun, ”…mengutuk dan mencaci Indonesia tanpa berbuat sesuatu yang sesungguhnya bisa dilakukan, tidak menjadikan seseorang sebagai kaum nasionalis. Di sisi lain, meneriakkan nasionalisme dan buta akan kelemahan negeri serta antipati terhadap orang yang gemar mengkritik Indonesia juga tidak menjamin seseorang menjadi seorang nasionalis,” kata ‘Bung’ Andi. Pemikiran ini tertuang dalam artikel berjudul Menera Ulang Nasionalisme

Jadi, apakah nasionalisme itu terikat pada negara mana seseorang berada? Mungkin tidak. Namun, yang lebih berarti adalah upaya-upaya yang mereka lakukan untuk negara sendiri. Bagi seorang akademis, tentunya ini terkait dengan menyebarkan dan mengaplikasikan ilmu yang mereka miliki. Bagaimana bila wadah bagi hal itu non-existent di dalam negeri sendiri? "Jadi entrepreneur saja!" kata Hary Tanoesoedibjo yang turut hadir dalam salah satu rangkaian pertemuan tersebut.

Jadi Orang Indonesia: Mahal
Mencari kesejahteraan hidup itu memang mutlak bagi setiap manusia. Nabi Muhammad dulu juga berhijrah ke Madinah demi mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, setelah sejahtera, ia dan kaum Muslim yang sudah lebih kuat barisannya pun kembali ke Mekkah untuk membangun kembali peradaban yang lebih baik.

Menjadi orang Indonesia itu nampaknya memang sedikit ‘mahal’. Kemerdekaan kita dulu tidak lepas dari gugurnya jutaan jiwa. Kini, orang-orang dengan niat untuk membangun Indonesia, memang harus sedikit melepas kenyamanannya di tengah situasi yang masih kurang ideal. Mudah-mudahan, globalisasi turut mendorong kita menuju tingkatan nasionalisme yang lebih tinggi. Yaitu nasionalisme yang mendorong kita untuk mengevaluasi negara sendiri agar terus menjadi lebih baik.

Bagi saya sendiri, kesempatan belajar ke luar negeri tidak lepas dari tanggung jawab besar. Sebuah tuntutan tidak tercatat seakan mengiringi, untuk menjadi seseorang yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Saya sendiri terus berdoa semoga kejadian-kejadian di masa ini menjadi pemicu pergerakan-pergerakan baru yang profesional dari Indonesia. Semoga.

Lisana Shidqina
Mahasiswa Jurusan Arsitektur angkatan 2009
Turut mewakili BEM ITS dalam Indonesian Students’ Global Conference 2013.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Menjadi Manusia Global