ITS News

Senin, 02 September 2024
01 Maret 2013, 10:03

Mengenang Pejuang ITS (9-selesai)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Buku telah terbit. Rasanya tidak adil jika kami menyimpan ragam cerita bahagia ini hanya dalam bingkisan foto. Walaupun bukan sesuatu yang sangat perlu untuk dibagikan, tapi setidaknya kami bisa memberikan sebuah kesan pesan daripada sekedar informasi yang biasa kami sajikan dalam tulisan sebelumnya.

Titik Nol Kampus Perdjoeangan, menjadi sangat berkesan bagi kami di Hari Pahlawan tahun kemarin. Kami menandai hari itu seperti sebuah hari kelahiran anak. Memang agak berlebihan, namun hari itu juga menjadi momen pertama kami (akhirnya) bisa bertatap muka dan berbicara langsung dengan Prof BJ Habibie. Tidak banyak kata yang bisa mewakili pertemuan yang kami anggap sebagai kesempatan ajaib itu, karena sudah pasti membuat banyak teman kami bertanya-tanya dan -tentu saja- iri.

Kejutan berlanjut saat IKA ITS Bussiness Summit 2012, buku kami menjadi buah bibir para mahasiswa dan alumni di sana. Efek lainnya, kami -bersama bukunya- bisa mejeng bersama beberapa menteri RI, alumni dan berkeliling ke kediaman narasumber buku di ibu kota. Untuk yang terakhir, kami seperti sedang reuni kembali dengan banyak narasumber yang sudah kami anggap keluarga sendiri.

Waktu dua tahun pembuatan memang waktu yang sangat lama. Kehadiran kami kembali pada mereka adalah keajaiban lain yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Ada rasa haru dan kebanggaan saat kami bisa memberikan buku itu ke tangan mereka. Sesuatu yang sangat emosional dan mengikat kami hingga sekarang.

"Kita bertemu terakhir setahun lalu. Kami berpelukan lama, sampai hampir saya menangis. Ibunya sudah seperti nenek saya sendiri," ujar salah satu tim Djoeang saat bertemu dengan Ibu Soebagio, putri dokter Angka Nitisastro.

Ada pula kisah lain ketika ada rekan kami yang mengalami momen mengharukan saat memberikan buku kepada narasumbernya. Berikut kami cuplikan dari tulisan aslinya.

Beliau mungkin tidak bisa mengucapkan terima kasih. Tapi saya bisa membaca betul dari gurat wajah dan dari dalam tatapan matanya. Sebuah buku yang saya berikan, dibolak-balik secara perlahan. Tangannya sudah tidak setangkas dulu lagi. Tapi tetap saja, halaman demi halaman dicermatinya satu persatu.

Sesekali saya memberikan narasi, sekedar menjelaskan sekilas tentang isi buku. Dan lagi, agar keheningan sore itu pecah. Karena sejak awal menerima kedatangan saya, tak sedikit pun beliau bisa berkata-kata. Ya, penyakit stroke menghalanginya melakukan hal itu.

Tiba-tiba tangisnya pecah, air matanya berhamburan. Ia menangis seperti anak kecil kala membuka halaman berisi foto Pak Munaf. Saya terdiam sejenak, hampir saja terhanyut ikut meneteskan air mata. Saya memegang pundak beliau, berusaha menenangkannya lalu menanyai, "Bapak teringat Pak Munaf?" Beliau hanya mengangguk. Sudah sampai pada halaman akhir, beliau kembali membuka buku dari halaman awal. Pecahlah lagi tangis beliau untuk kedua kalinya. Kembali saya pegang pundak beliau.

"Ini untuk Bapak. Harapan kami, semoga generasi di ITS tidak hanya mengenal Pak Munaf sebagai nama sebuah aula," tutup saya di penghujung pertemuan itu.

Tidak semuanya berakhir dengan kisah mengharukan. Ada pula rekan kami yang terdiam lama saat mengetahui bahwa narasumbernya sudah meninggal dunia tanpa sempat kami berikan bukunya. Ada kesedihan dan rasa bersalah saat menerima kenyataan itu. Lalu kita bertanya pada diri kita sendiri "Mengapa lama sekali membuat bukunya? Andaikan…."

Ada dua narasumber kami yang meninggal dunia sebelum kami memberikan buku tersebut. Hal yang membuat kami sering tersadar tentang umur dan kehidupan. Semoga Allah menerima arwah beliau di sisi-Nya. Amin.

Bedah Buku Pertama
Jujur, saat buku diterbitkan ada kelegaan atas beban yang menghantui kami selama dua tahun. Seolah orang yang dikejar anjing, di momen terakhir bahkan kami harus lari terbirit-birit dan hampir tergigit oleh anjing bernama ‘keputusasaan’.

Dan saat buku telah terbit, ekspektasi kami tidak banyak. Hingga saat kami menyaksikan satu demi satu rangkaian kejutan dan keajaiban yang membuat kami menganga takjub, kami baru sadar bahwa memang buku ini sangat spesial. Pun dengan ekspektasi kami terhadap narasumber dan pembaca.

Kami menggelar bedah buku dengan menghadirkan beberapa narasumber buku. Tempatnya sengaja dipilih di plasa dr Angka dengan tujuan untuk membawa suasana lebih historis. Dengan ditemani hujan deras dan awan pekat hitam, kami melihat masih ada mahasiswa yang peduli dengan masa lalu kampusnya. Mereka memang bukan mahasiswa sosiologi, namun mereka adalah manusia yang bisa berdiri di sini karena masa lalunya. Itu hal yang kami tangkap dari antusiasme mereka.

Ada banyak pesan dan kisah dari Prof Mahmudz Zaki, Prof Pinardi Koestalam, Ir Anggraini dan Mudiati Genowati yang terlontar hingga gelap menjemput bumi. Itulah akhir dari bedah buku dengan ulasan tentang sejarah ITS yang pertama di kampus ini. Memang singkat, namun kami telah berani memulai hal baru dan berharap bisa memberikan banyak manfaatnya.

"Terima kasih Dik, keluarga kami semua sangat berterima kasih telah membuatkan buku tentang Bapak kita," tutur Bu Budi, saat kami antarkan pulang ke rumahnya.

Dengan banyak kisah yang tidak tertuliskan dalam buku tersebut, sebenarnya kami menginginkan adanya bedah buku jilid kedua dengan konsep yang lebih baik. Namun, semua menjadi ilusi saat kita menatap Tugas Akhir (TA) di depan mata. Ya, mayoritas dari kami adalah mahasiswa tingkat akhir.

Pelangi Harapan Kami
Buku diterbitkan bukan tujuan akhir kami. Walaupun kami sadar sepenuhnya bahwa ada banyak kekurangan dalam buku tersebut, namun memiliki banyak harapan lain daripada ‘hanya sekedar menerbitkan buku’.

Dalam proses pembuatan buku tersebut, kami mengalami banyak momen berharga saat bisa bertemu dengan puluhan narasumber yang kaya pengalaman hidup. Kami berhasil mengumpulkan cerita, data, inspirasi dan memorabilia yang menjadi pijakan pertama dari embrio kampus ITS.

Harapan kami adalah bagaimana caranya kekayaan itu tidak menguap dalam satu atau dua generasi saja. Mayoritas inspirasi dari buku tersebut kami dapatkan dari generasi kedua, bukan dari tokohnya langsung karena tokohnya sudah lama meninggal. Dan sebelum semuanya tergerus oleh waktu, ada baiknya inspirasi itu diabadikan.

Pertama, usulan kami adalah dengan mendirikan sebuah papan informasi tentang awal pendirian ITS, baik dari tokoh ataupun kisah heroiknya. Wujudnya bisa dalam bentuk galeri bergambar, atau bisa dengan alat yang lebih modern yaitu dengan teknologi layar LED touch screen yang biasa digunakan dalam diorama. Cukuplah satu buah didirikan di samping patung dokter Angka.

Kedua, kami menginginkan buku ini dicetak massal untuk seluruh mahasiswa baru (maba)  ITS. Tujuannya sudah pasti, mengedukasi maba tentang kampus perjuangan. Dengan jumlah 5.000 maba, biaya cetak satu buku mungkin berkisar Rp 20.000 saja. Kami tidak mempermasalahkan hak cipta penulisan, semua bisa digunakan secara gratis melalui persetujuan dengan kami.

Ketiga, informasi yang kami tuliskan dalam buku bisa dikatakan sangat kurang. Banyak informasi yang tidak mendalam karena cakupan yang teramat luas dan keterbatasan halaman. Terutama pada bagian tulisan profil. Kami berharap ITS bisa menerbitkan satu atau dua buku profil tokoh yang membesarkan ITS. Misalkan kisah Kol Ir Marseno, Prof Mahmudz Zaki atau Prof Soegiono.

Posisi tokoh tersebut yang puluhan mengabdi di ITS kami percaya bisa membangkitkan banyak pelajaran hidup, inspirasi dan semangat bagi mahasiswa. Termasuk kisah tokoh tersebut saat bersentuhan dengan aktivis mahasiswa. Atau bisa dengan membuat buku sejarah jurusan/fakultas dengan tulisan yang lebih mendalam dan dibagikan kepada mahasiswa jurusan/fakultas masing-masing.

Terakhir, kami tahu tentang kegigihan seluruh founding father ITS saat mendirikan kampus perjuangan ini. Kami juga sadar atas minimnya apresiasi dari ITS untuk mereka. Mayoritas bahkan sudah hampir dilupakan atau terlupakan oleh waktu. Atas kenyataan ini, kami tentu akan senang jika ada agenda ITS yang diadakan untuk mengenang perjuangan mereka. Minimal dengan ziarah ke makam mereka, atau menggelar temu dengan keluarga mereka.

Harapan kami memang sangat muluk, namun sebagai pemimpi, kami juga berharap semua itu bisa terwujud. Minimal salah satu di antara itu ada yang mewujudkan.

Langkah Ketiga
Melanjutkan tradisi yang kami bangun dalam keluarga besar ITS Online, buku 25 Mahasiswa Inspiratif ITS dan buku Titik Nol Kampus Perdjoeangan bukan akhir dari cerita kami. Akan ada buku selanjutnya yang sedang dikerjakan oleh adik-adik kami di sini. Sesuai rencana, buku selanjutnya akan bertemakan sejarah ITS juga, namun lebih spesifik pada sejarah pergerakan mahasiswa.

Jika ada dari pembaca yang memiliki informasi seputar tema di atas, bisa menghubungi kontak kami. Karena kami di sini bukan berimajinasi, namun menuliskan reportase atas kejadian puluhan tahun silam. Membongkar kembali bongkahan heroisme mahasiswa zaman dahulu untuk kita pelajari bersama.

Terakhir, kami dari segenap tim Djoeang (Aldrin Dewabrata, Nur Huda, Lutfia, Eka Setyowati, dan Fatimatuz Zahroh) mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Termasuk untuk semua masukan dan kritik yang sering kami terima. Terima kasih dan sampai bertemu kembali di buku selanjutnya.

Tim Djoeang
Perpustakaan Pusat ITS Lantai 6
HP: 081231074413

Berita Terkait