Pembaca yang menyukai jenis-jenis karya science fiction pasti akan lebih mengerti mengenai hal ini. Dunia sains tak lagi sekadar rumus dan ketetapan-ketetapan alam. Di tangan seorang insinyur kreatif, imajinasi teknologi beraneka warna bisa dihasilkan.
Di awal tahun 1900-an, Victor Appleton sudah berpikir jauh, bahkan melebihi teknologi sekarang. Di bawah nama tokoh ilmuwan bernama Tom Swift, ia mengajak para pembaca muda menikmati perjalanan menjelajah angkasa luar. Tom mengemudikan sebuah pesawat luar angkasa bernama Exedra, ditemani oleh robot yang bisa berinteraksi layaknya manusia biasa bernama Aristotle.
Ayah Tom juga seorang ilmuwan. Mereka hidup di luar angkasa, di salah satu koloni buatan milik bumi. Koloni tersebut ditunjang oleh atmosfer dan gravitasi buatan, sehingga bisa bernafas, beraktivitas, bahkan bercocok tanam layaknya manusia biasa. Sinar matahari menjadi sumber energi utama di dalamnya.
Namun, luar angkasa tak hanya dimiliki oleh manusia. Berbagai makhluk lain ditemui oleh Tom selama petualangan-petualangannya. Maka, terjadilah perjanjian antar bangsa-bangsa luar angkasa. Ada pula peperangan (dengan teknologi persenjataan canggih tentunya). Ada penyakit-penyakit antar spesies yang ditularkan. Karya Appleton menjadi inspirasi bagi banyak ilmuwan lain, termasuk menjadi dasar nama bagi senjata senapan Taser.
Apa yang membuat karya Appleton ini lebih dari sekadar hiburan imajinatif biasa? Semuanya terasa begitu real. Appleton bisa menggambarkan berbagai macam fenomena dengan detail dan akurasi prinsip sains yang awam kita kenal. Sehingga, apa yang ia ceritakan menjadi stokastik dan masuk akal (dan sebagian memang mungkin suatu hari bisa terjadi).
‘Spesies’ sains/insinyur kreatif ini masih eksis hingga sekarang. Hanya saja bentuknya memang sudah berbeda. Ada Kate Orff yang sebenarnya seorang arsitek tapi cita-citanya adalah mewujudkan oyster-tecture, sebuah arsitektur berbasis tiram. Mahasiswa arsitektur lain di Swedia telah melakukan eksperimen menumbuhkan kristal sejak masa sarjana. Felicia Guldberg, nama mahasiswa itu, bercita-cita untuk menjadikan kristal sebagai struktur bangunan baru nantinya.
Tak semuanya masih dalam taraf mimpi dan penelitian. Michael Pritchard bisa membuktikan bahwa air dari sumber yang tercemar oleh berbagai macam zat lain bisa diminum hanya dengan beberapa kali kocokan. Karyanya yang bernama Lifesaver Bottle ditawarkan terutama kepada masyarakat yang tertimpa bencana alam serta masyarakat di negara-negara dengan sumber air tercemar.
Sayang, kesempatan ‘berekspresi bebas secara engineering‘ ini terkesan masih belum gencar dimanfaatkan. Bayangan imajinasi yang kita miliki tak jarang hanya sekadar lintasan ide dalam akal, namun tidak ditangkap dan dikembangkan. Banyak yang terjebak dalam solusi-solusi pragmatis sehingga kurang tercipta ciri khas atau keunikan dari solusi yang ditawarkan.
Contoh akibatnya kira-kira begini. Indonesia, demi memanfaatkan potensi energi angin, mulai mencanangankan untuk implementasi beragam turbin yang cukup mahal harganya. Di benua Amerika, sejumlah ilmuwan justru bermain dengan layang-layang untuk menghasilkan jenis energi yang sama. Padahal, festival layang-layang terbesar setiap tahunnya justru terjadi di halaman rumah kita sendiri, Bali.
Ada Prosesnya
Menangkap imajinasi memang butuh waktu, eksplorasi, berhipotesa dengan teori, serta banyak upaya pembuktian. Butuh banyak pemikiran dari segala sisi sains dan bidang keilmuan. Dalam pembuktian, akan selalu ada trial and error yang dihasilkan. Akan ada bantahan, ada juga masukan dari berbagai ahli lainnya.
Bagi seorang ilmuwan murni, justru hal tersebut adalah unsur fun utama dari menjadi ahli teknologi. Mungkin karena belum merasakan jenis fun seperti ini, maka ekspresi ilmuwan belum sepenuhnya unleashed. Mungkin karena itu juga, jumlah Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM GT) ITS tahun ini menurun tajam dari sebelumnya.
Konsep Jakarta Mangrove Waterfront City (JMWFC), gagasan tim riset Mangrove RhizophoraChitecture (MRaC) pertama kali dipresentasikan dalam sebuah lomba di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Beragam tanggapan dari juri menunjukkan skeptisisme terhadap ide tersebut.
Sebenarnya bisa dimaklumi, karena baru sekali itu pula para penggagas ide mencoba sebuah ide yang sedikit di luar pemikiran awam. Setelah berbagai tinjauan ulang dan pembenahan, karya itu pun akhirnya memperoleh apresiasi yang sangat baik dalam ajang kompetisi PKM GT nasional.
Mungkin juga karena jenis ekspresi seperti ini belum sepenuhnya dihargai, maka kontribusi engineer belum merangsek berbagai lapisan kehidupan masyarakat. Film-film Indonesia terjebak pada tema-tema yang sama. Jarang, atau bahkan mungkin belum ada, film Indonesia yang ‘bumbu’-nya jenis teknologi canggih nan imajiner. Adakah engineer ITS yang berani membuat yang pertama?
Lisana Shidqina
Mahasiswa Jurusan Arsitektur angkatan 2009
"There are always possibilities." – Jack B. Sowards, screenwriter Star Trek.
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)