Sesuai dengan surat edaran Dirjen Dikti Nomor 97/E/KU/2013, kebijakan ini akan diterapkan pada tahun akademik 2013/2014 untuk mahasiswa baru program S1 (reguler). Kini semua kampus telah bersiap-siap menerapkan UKT termasuk ITS. Namun, ada beberapa pertanyaan yang patut diajukan terkait pelaksanaan kebijakan ini.
Tinjauan Yuridis
Proses penyusunan pola regulasi hukum terhadap kebijakan UKT terasa abnormal. Jika kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pasal 88, maka sudah dijelaskan pada ayat (5) bahwa ketentuan akan lebih lanjut akan dijelaskan melalui Peraturan Menteri. Namun sebelum Peraturan Menteri tersebut keluar, telah muncul Surat Edaran yang menjadi landasan hukum bagi kebijakan UKT tersebut.
Pertanyaan pertama diajukan terkait Surat Edaran Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012 tertanggal 4 Januari 2012, No. 305/E/T/2012 tertanggal 21 Feb 2012, dan No. 488/E/T/2012 tertanggal 21 Maret 2012 yang tidak memiliki landasan hukum. Hal ini karena Surat Edaran tersebut terbit sebelum Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dijadikan landasan kebijakan UKT. UU PT sendiri baru terbit pada tanggal 10 Agustus 2012.
Pada dasarnya, Surat Edaran tidak bersifat mengikat dan hanya bersifat himbauan yang boleh tidak dilaksanakan oleh PTN. Namun muncul statement ancaman yang berlandaskan kekuasaan oleh Dirjen Dikti bahwa jika ada PTN yang tidak siap mengimplementasikan UKT, maka Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) tidak akan dicairkan ke PTN tersebut.
Dalam hal ini kita juga perlu mempertanyakan bagaimana substansi Peraturan Menteri yang dijanjikan selesai tanggal 25 Maret 2013. Disinyalir Peraturan Menteri ini hanya bersifat menetapkan hal-hal teknis dalam rangka implementasi kebijakan UKT.
Permasalahan Dana
Formulasi kebijakan UKT menunjukkan keterkaitan yang erat dengan dana BOPTN. Padahal, BOPTN sendiri terjebak dalam prosedural administratif yang birokratis di pemerintah pusat. Faktanya, banyak BOPTN di PTN yang tidak cair tepat waktu. Hal ini membuat pengelolaan operasional perguruan tinggi kurang adaptif.
Selain itu, kebijakan ini akan berpihak kepada perguruan tinggi yang memang sudah besar dan baik. Namun tidak memberikan pembinaan kepada perguruan tinggi yang kecil. Hal ini bisa dinilai dari kesesuaian Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan BOPTN. BKT yang tinggi tentu memiliki konsekuensi BOPTN yang besar, sedangkan perumusan BKT tergantung kepada parameter-parameter tertentu yang tidak mendukung perguruan tinggi yang kecil.
Permasalahan Penerapan
Proses penerapan UKT juga tidak lepas dari kerancuan. Setidaknya, pertanyaan yang masih mendasar belum menghasilkan jawaban yang memuaskan. Benarkah kebijakan UKT lebih mempermudah pembiayaan uang kuliah untuk masyarakat?
Sejatinya, UKT memang mempermudah di awal masa kuliah karena tidak ada uang pangkal yang besar dibandingkan sistem SPP saat ini. Namun pada sistem SPP, masih diperbolehkan penundaan pembayaran untuk meringankan beban beberapa mahasiswa. Ketika kebijakan UKT diterapkan, sistem tersebut akan dihapuskan karena UKT merupakan biaya wajib yang harus segera dibayarkan (tepat waktu).
Selain itu, tidak adanya penundaan juga untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di ITS sebagai tindakan preventif ketika BOPTN tidak cair tepat waktu. Jika demikian, boleh dikatakan bahwa kebijakan UKT ini sebenarnya lebih mempermudah masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas namun menyengsarakan masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
Perumusan parameter klasifikasi kemampuan orang tua dalam membayar tarif UKT pun masih dipertanyakan. Bagaimana proses teknis verifikasi yang akan dilakukan terhadap sekitar 4.800 mahasiswa untuk menjamin keadilan klasifikasi SPP.
Perbandingan sistem SPP dan sistem UKT juga disinyalir bakal memberatkan mahasiswa dengan waktu tempuh kuliah lebih dari delapan semester. Menurut perhitungan UKT, mahasiswa yang masih menempuh kuliah di semester sembilan dan seterusnya, seakan-akan harus kembali membayar SPI baru. Seharusnya SPI tersebut sudah selesai dalam arti dicicil hingga delapan semester. Perlu diingat bahwa di ITS masih ada beberapa prodi tertentu yang rata-rata kelulusannya lebih dari empat tahun.
Pendapat Masyarakat
Pada tanggal 31 Maret 2013 lalu, BEM ITS mengadakan aksi tentang kebijakan UKT. Aksi ini didahului dengan aksi simpatik yang disusul oleh pencerdasan masyarakat Surabaya. Kegiatan ini ditutup dengan jaring aspirasi dan penyebaran kuisioner secara acak.
Hasilnya, kebijakan UKT ini masih belum dirasa ‘membumi’ oleh sebagian masyarakat Surabaya. Sebesar 55,56 persen masyarakat masih belum mengetahui kebijakan UKT yang akan dilaksanakan pada tahun akademik 2013-2014. Sisanya telah mengetahui melalui media cetak dan sosial media di dunia maya. Sebanyak 72,3 persen responden menyatakan tidak setuju dengan penerapan sistem UKT dan 80,55 persen lebih menyukai sistem pembayaran SPP non-UKT.
Entah mengapa kebijakan UKT seakan-seakan harus diimplementasikan tahun ini. Padahal sudah terbukti belum seluruh elemen masyarakat mengetahuinya. Sosialisasi secara intensif, terlebih kepada kebijakan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, masih sangat kurang. Sementara menunggu kepastian hukum yang dijanjikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, waktu transisi sudah semakin berkurang…
Yoga Widhia Pradhana
Mahasiswa Teknik Elektro angkatan 2009
Menteri Sosial Politik BEM ITS 2012-2013
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)