Sebuah tragedi pada masa peralihan era orde baru menuju reformasi tersebut memang sangat dalam dirasakan, apalagi bagi para mahasiswa. 12 Mei 1998 menjadi bukti peran mahasiswa dalam mengubah sejarah pemerintahan tak bisa dianggap remeh. Sebuah ungkapan atas kejenuhan terhadap sistem yang diberlakukan selama orde baru. Mulai dari kondisi perekonomian yang semakin menekan, kebebasan hak berpendapat yang begitu terbatas, dan juga hutang negara ke pihak asing, seakan menjadi alasan ”bom waktu” itu sesegera mungkin diledakkan.
Tuntutan agar Sang Bapak Pembangunan untuk segera menanggalkan jabatannya sebagai orang nomor satu di negeri ini semakin tak terbantahkan. Jika saat itu tidak ada tekad besar dimiliki oleh mahasiswa untuk mengayunkan langkah pertamanya, akankah tercipta ribuan langkah yang mengantarkan sistem pemerintahan menjadi seperti sekarang ini? Di mana setiap lidah memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, pendidikan yang tampak lebih baik, lapangan pekerjaan yang kian terbuka, dan pastinya ideologi yang tak mengekang masyarakat.
Alangkah beratnya, menembus tembok-tembok vertikal pemerintahan kala itu. Yang dibayar dengan nyawa enam mahasiswa Universitas Trisakti dan juga darah puluhan mahasiswa lainnya. Siapa yang salah? Pemerintahkah? Aparat keamanan? Atau bahkan mahasiswa? Tak ada yang perlu disalahkan. Apakah mereka berani turun ke jalan dengan segala resiko hanya untuk menuntut pertanggungjawaban nantinya?
Bukan. Sekali lagi bukan. Yang mereka inginkan pada saat itu hanyalah perubahan. Perubahan sistem pemerintahan. Yang bahkan mereka sendiri tak merasakan buah perjuangan beratnya saat itu. Dan kita saat ini, kita beruntung. Mahasiswa dengan segala kebebasannya untuk berpendapat. Leluasa mengemukakan aspirasi. Bayangkan, betapa mahalnya kenikmatan ini.
Namun nyatanya, dari sekian banyak orang, hanya sedikit yang peduli dan mau berpendapat. Dari sedikit yang mau berpendapat, hanya sedikit dari mereka yang mampu memberikan solusi. Dari sedikit orang yang mampu memberikan solusi, hanya sedikit pula yang mampu mengantarkannya dengan aksi. Dari sedikit orang yang mampu beraksi, hanya sedikit yang bersih dari korupsi. Korupsi waktu, pikiran, tenaga, bahkan secara plastis menjadi otot-otot para insan masa kini. Tak hanya yang duduk di kursi pemerintahan. Bahkan yang masih menyandang gelar pelajar.
Akankah kematangan reformasi diragukan? Kuncinya ada pada kita. Jawabannya ada pada kita. Perubahan yang telah digenggam. Mari bersama melanjutkan mimpi-mimpi sang pejuang reformasi. Bukan dengan aksi di jalan, bukan dengan kerusuhan yang meresahkan, dan bukan dengan darah kita. Melainkan dengan karya-karya kita. Kitalah arsitek perubahan, membangun revolusi negeri dengan karya nyata.
Dengan bekal Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, mari bangun kesejahteraan masyarakat di dalam negeri. Kita bukan memulai, kita melanjutkan, kita memperbaiki. Semoga ingatan tentang tragedi Trisakti 15 tahun yang lalu bukan hanya sebuah elegi pagi yang kemudian terlupakan ketika matahari terbenam. If we believe, there will be hope.
Holly Aphrodita
Mahasiswa Jurusan Teknik Industri
Angkatan 2011
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)