ITS News

Senin, 02 September 2024
23 Juli 2013, 00:07

Barangkali, Ternyata Kitalah Dalangnya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

”Kalian yang melakukan?” tanya ‘Umar ra.

”Ya, Amirul Mukminin,” jawab salah seorang pemuda dari mereka. Umar menunduk dengan perasaan tak tega.

”Maka, aku akan melaksanakan hukum Allah,” lanjut Umar. Para pemuda itu ketakutan. Tak percaya bahwa mereka akan menerima hukuman.

”Apa yang kau lakukan dengan untanya?” Umar mengejar mereka dengan pertanyaan.

”Kami menyembelih dan memakannya,” jawab salah seorang pemuda.

”Apa yang membuatmu melakukan itu?” Pemuda itu hendak bicara namun ia mengurungkannya setelah melirik ke arah majikannya. Umar pun curiga.

”Katakanlah dan jangan takut!” tegas Umar.

”Kelaparan telah menimpa kami, wahai Amirul Mukminin.” Umar mengalihkan pandangan menuju majikan dan bertanya menyelidik.

”Kau tidak memberi mereka makan?” Sang majikan terdiam dan menunduk. Dan ada sepatah pun keluar dari lisannya.

Laa haula wa laa quwwata illa billaah. Kemana rasa belas kasihanmu? Kau memperkerjakan mereka tapi membuat mereka kelaparan. Seandainya mereka makan apa yang diharamkan Allah maka aku akan membolehkannya. Sesuai dengan ayat, ‘barang siapa yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun, Maha Penyayang.

Aku tidak menjatuhkan hukuman pada mereka karena mereka dalam keadaan terpaksa. Aku tidak akan menjatuhkan hukum pada perkara syubhat. Lebih baik aku menjatuhkan hukum pada perkara syubhat, pulanglah kalian,” beberapa pemuda itu lantas pulang.

”Untaku bagaimana, Amirul Mukminin?” Tanya pengadu.

”Demi Allah, kalau sampai aku menjatuhkan hukuman, aku akan menjatuhkan denda yang memberatkanmu. Karena kau adalah sumber masalahnya,”’ seru Umar kepada sang majikan. [1]

Begitulah. Vonis bisa berubah seketika. Terdakwa yang sebenarnya bisa berubah begitu kita telah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sayang, sering kali kita memberikan penilaian dari apa yang tampak di permukaan saja. Kita tidak berusaha menggali lebih dalam. Kita hanya melihat kulit buah yang mempesona meski sebenarnya isinya telah busuk dan penuh belatung.

Pun, seperti sekarang ini, saat kehidupan sosial mengalami dinamika yang sangat tinggi, manusia mulai banyak yang berubah. Sebagai contoh, beberapa kali kita dengar berita seorang ibu tega membunuh anaknya. Atau sering kita jumpai seorang bocah kecil sudah berani bohong kepada orang tuanya.

Lantas kita langsung memberikan vonis dan status salah kepada mereka. Memang, bagaimanapun mereka tetap salah. Tapi terkadang ada lakon utama yang menjadi sebab semua peristiwa itu terjadi. Sadarkah bahwa bisa saja kita yang menjadi penyebab mereka melakukan dosa itu. Bagaimana bisa?

Baiklah. Kita mulai dari seorang ibu yang tega membunuh anaknya yang masih kecil. Keluarga tersebut menderita kemiskinan sehingga anaknya tidak dapat sekolah, tidak dapat makan-makanan bergizi, dihina oleh teman-temannya, dan sakit-sakitan. Siapakah orang tua yang tega melihat anaknya merasakan derita tersebut? Maka saat derita itu telah mencapai titik jenuh, sang ibu gelap mata. Ia tidak ingin anaknya merasakan semua derita berkepanjangan. Sang ibu berfikir, sang putra akan terbebas dari derita jika anaknya itu meninggal. Maka, satu-satunya pilihan bagi sang ibu adalah, bunuh anak itu!

Banyak di antara kita yang tidak akan dapat menerima pandangan sang ibu ini. Tapi di manakah kita saat sang ibu membutuhkan bantuan agar lepas dari kemiskinan yang menghimpit? Jangan-jangan keluarga itu menjadi miskin karena kita yang kikir, korupsi, enggan berbagi, dan apatis. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah korban keegoisan kita yang disibukkan dengan agenda pribadi untuk memperkaya dan mencari popularitas diri.

Sama halnya dengan si kecil yang suka berbohong tadi. Kebiasaan berbohong si kecil ini ternyata diajarkan sendiri oleh orang tuanya. Bagaimana bisa? Bisa saja. Mari kita tengok sepasang suami istri yang hendak pergi tanpa ingin melibatkan anaknya dalam perjalanan tersebut. Namun sang anak bersikukuh ingin ikut, sampai-sampai dia merengek-rengek pada orang tuanya. Kemudian ayah ibunya mengatakan, ”Nak, di belakang ada sapi yang gemuk lho. Mau lihat nggak?” Begitu tahu tidak ada sapi dan orang tuanya sudah pergi, maka dia akan mengatakan dalam hati, ”Ohh, berarti yang seperti itu boleh.” [2]

Adilkah jika kita hanya melakukan mereka yang melakukan dosa tersebut padahal sebenarnya kitalah dalang dari dosa itu? Kita bisa saja tidak menjadi subjek, tapi justru kitalah yang melahirkan subjek itu tanpa kita sadari.

 

Maka mulai saat ini, alangkah lebih bijaknya kita tidak langsung menghukumi seseorang tanpa melihat masalah secara mendalam. Karena bisa jadi apa yang menurut kita benar, sebenarnya salah. Dan yang menurut kita buruk, sebenarnya kebenaran hakiki.

Namun, kita juga tidak bisa menyempitkan pandangan bahwa kebenaran itu relatif. Pasti ada nilai-nilai universal yang bisa dijadikan parameter dalam sebuah keputusan untuk bertindak tegas. Semuanya berkonsekuensi, bukan pemakluman belaka.

Sudah saatnya kita tidak hanya memperbaik diri sendiri. Genggam jemari mereka yang butuh uluran tangan untuk sama-sama menjauhkan diri dari segala sebab lahirnya dosa. Maka mari kita bantu mereka dengan ajakan dan gerak nyata, bukan sekedar kritik dan fatwa yang membuat mereka merasa tersudut. Karena, bisa jadi kesalahan yang mereka lakukan berasal dari kelalaian yang kita buat sehingga mereka terdampar dalam keadaan terpaksa.

Wallaahu’alam.
Sumber:
1.    Film Serial Omar Volume 26 menit 13:46- 15: 27
2.    Catatan Ustadz Salim A. Fillah Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita

Nanda Iriawan Ramadhan

Berita Terkait