ITS News

Kamis, 14 November 2024
24 Juli 2013, 07:07

Barangkali, Ternyata Kitalah Dalangnya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Umar lantas bertanya kepada para pemuda lain yang turut mengantri. ”Kalian yang melakukan?” tanyanya. Mereka tidak membantah. Malah, membenarkannya. Umar menunduk dengan perasaan tak tega.

”Maka, aku akan melaksanakan hukum Allah,” lanjut Umar. Para pemuda itu ketakutan. Tak percaya bahwa mereka akan menerima hukuman. Namun, ternyata Umar hendak berlaku adil.

Umar menanyakan terlebih dahulu, apa yang mereka lakukan dengan unta sang pemilik kebun. Rupanya, para pegawai itu menyembelih dan memakannya. Sebelum memberikan hukuman, Umar terlebih dahulu menanyakan alasan perbuatan mereka itu. 

”Kelaparan telah menimpa kami, wahai Amirul Mukminin," jawab para pegawai takut-takut. Rupanya, pemilik kebun itu pun lalai memberikan para pegawai makan. Tak heran apabila mereka pun nekat mencuri untanya.

Umar pun memutuskan, untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada para pegawai. Tidak ada yang dihukum hari itu. Bahkan, Umar sempat berpesan. Kalau ada yang harus terkena sanksi, maka seharusnya pemilik kebun itulah yang bertanggung jawab.

Siapa sangka, vonis bisa berubah seketika. Terdakwa yang sebenarnya bisa berubah begitu kita telah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sayang, sering kali kita memberikan penilaian dari apa yang tampak di permukaan saja. Kita tidak berusaha menggali lebih dalam. Kita hanya melihat kulit buah yang mempesona meski sebenarnya isinya telah busuk dan penuh belatung.

Pun seperti sekarang ini juga. Saat kehidupan sosial mengalami dinamika yang sangat tinggi, manusia mulai banyak yang berubah. Sebagai contoh, beberapa kali kita dengar berita seorang ibu tega membunuh anaknya. Atau sering kita jumpai seorang bocah kecil sudah berani bohong kepada orang tuanya.

Lantas kita langsung memberikan vonis dan status salah kepada mereka. Memang, bagaimanapun mereka tetap salah. Tapi terkadang ada lakon utama yang menjadi sebab semua peristiwa itu terjadi. Sadarkah bahwa bisa saja kita yang menjadi penyebab mereka melakukan dosa itu. Bagaimana bisa?

Baiklah. Kita mulai dari seorang ibu yang tega membunuh anaknya yang masih kecil. Keluarga tersebut menderita kemiskinan sehingga anaknya tidak dapat sekolah, tidak dapat makan-makanan bergizi, dihina oleh teman-temannya, dan sakit-sakitan. Siapakah orang tua yang tega melihat anaknya merasakan derita tersebut?

Maka saat derita itu telah mencapai titik jenuh, sang ibu gelap mata. Ia tidak ingin anaknya merasakan semua derita berkepanjangan. Sang ibu berfikir, sang putra akan terbebas dari derita jika anaknya itu meninggal. Maka, satu-satunya pilihan bagi sang ibu adalah, bunuh anak itu!

Banyak di antara kita yang tidak akan dapat menerima pandangan sang ibu ini. Tapi di manakah kita saat sang ibu membutuhkan bantuan agar lepas dari kemiskinan yang menghimpit? Jangan-jangan keluarga itu menjadi miskin karena kita yang kikir, korupsi, enggan berbagi, dan apatis. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah korban keegoisan kita yang disibukkan dengan agenda pribadi untuk memperkaya dan mencari popularitas diri.

Sama halnya dengan si kecil yang suka berbohong tadi. Kebiasaan berbohong si kecil ini ternyata diajarkan sendiri oleh orang tuanya. Bagaimana bisa? Bisa saja. Mari kita tengok sepasang suami istri yang hendak pergi tanpa ingin melibatkan anaknya dalam perjalanan tersebut.

Sang anak bersikukuh ingin ikut, sampai-sampai dia merengek-rengek pada orang tuanya. Kemudian ayah ibunya mengatakan, ”Nak, di belakang ada sapi yang gemuk lho. Mau lihat nggak?” Begitu tahu tidak ada sapi dan orang tuanya sudah pergi, maka dia akan mengatakan dalam hati, ”Oh, berarti yang seperti itu boleh.”

Adilkah jika kita hanya melakukan mereka yang melakukan dosa tersebut padahal sebenarnya kitalah dalang dari dosa itu? Kita bisa saja tidak menjadi subjek, tapi justru kitalah yang melahirkan subjek itu tanpa kita sadari.

Maka mulai saat ini, alangkah lebih bijaknya kita tidak langsung menghukumi seseorang tanpa melihat masalah secara mendalam. Karena bisa jadi apa yang menurut kita benar, sebenarnya salah. Yang menurut kita buruk, bisa jadi sebenarnya kebenaran hakiki.

Namun, kita juga tidak bisa menyempitkan pandangan bahwa kebenaran itu relatif. Pasti ada nilai-nilai universal yang bisa dijadikan parameter dalam sebuah keputusan untuk bertindak tegas. Semuanya berkonsekuensi, bukan pemakluman belaka.

Sudah saatnya kita tidak hanya memperbaiki diri sendiri. Genggam jemari mereka yang butuh uluran tangan untuk sama-sama menjauhkan diri dari segala sebab lahirnya dosa. Maka mari kita bantu mereka dengan ajakan dan gerak nyata, bukan sekedar kritik dan fatwa yang membuat mereka merasa tersudut. Karena, bisa jadi kesalahan yang mereka lakukan berasal dari kelalaian yang kita buat sehingga mereka terdampar dalam keadaan terpaksa.

Nanda Iriawan Ramadhan
Mahasiswa Jurusan Fisika angkatan 2009

Berita Terkait