ITS News

Senin, 02 September 2024
11 September 2013, 13:09

Lupa Bermimpi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Lihat! Tidak semua orang telah memandang jauh seperti apa hidupnya satu tahun, dua tahun, sepuluh tahun, hingga akhir hayatnya. Tidak semua orang siap menghadapi hari esok. Bahkan beberapa orang takut untuk bermimpi, ”Jangan tinggi-tinggi. Nanti kalau jatuh, sakit.”

Lihat! Tidak semua orang berani bermimpi. Padahal tidak ada pungutan biaya sepeser pun ketika kita bermimpi. Dan yang perlu kita ingat, tidak ada seorang pun yang berhak menjajah mimpi kita. Tidak ada seorang pun yang berhak merampas dan menghina mimpi kita. Tidak ada seorang pun berhak melarang kita untuk bermimpi. Siapapun itu. Kita berhak menentukan mimpi kita. Dengan bermimpi, kita dapat menjadi diri sendiri tanpa terbatas status sosial dan ekonomi.

Saya melakukan otokritik ini kepada seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Saya katakan otokritik karena diri saya sendiri termasuk pelaku yang juga pantas dikritik. Tulisan ini saya buat agar masing-masing dari kita, mulai saat ini, mempunyai mimpi seperti apa kita di masa depan, dengan siapa kita, dan bagaimana seharusnya kita menjadi saat saat itu.

Ini memang hanya masih bermimpi. Tapi seperti kata Ustadz Yusuf Mansur, tidak ada salahnya kita memulai dari diri sendiri di saat negara kita yang mungkin sudah kehilangan mimpinya. Ya, Indonesia mungkin sudah terlalu sibuk dengan badai korupsi, perang politik, seks bebas dan narkoba menyerang generasi muda, kerusuhan, cekikan hutang berbunga dari pihak luar, dan berbagai kasus lainnya.

Indonesia mungkin sudah lupa dengan mimpinya. Sehingga sumber daya yang kita punya dijual dengan harga yang murah lalu kita beli lagi dengan harga yang mahal. Sehingga tidak sedikit orang pintar kita lebih memilih negara asing karena tidak kita hormati ilmunya di sini. Sehingga banyak karya anak bangsa dibiarkan duduk manis di museum sementara produk asing semakin diminati bangsa ini.

Beberapa kali saya mendengar tentang mobil hemat energi buatan anak Indonesia. Saya sempat optimis, apalagi melihat perjuangan mahasiswa di kampus saya dalam mewujudkannya. Semoga saja kabar tersebut tidak ‘hangat-hangat tahi ayam’ seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak mendapat perhatian lebih, kecuali ucapan selamat saja dari bapak-bapak pemegang kebijakan. Bisa jadi ini terjadi karena yang punya mimpi di negeri ini masih segelintir orang, seperti orang-orang yang terlibat dalam pembuatan mobil itu. Banyak pemenang olimpiade dari Indonesia, tapi hanya mereka saja yang mempunyai mimpi. Yang lain belum memilikinya.

Tanpa keinginan untuk meraih mimpi, kita bisa jadi ibarat seorang anak yang ‘disogok’ oleh orangtuanya. "Nak, nanti kalau dapat ranking satu, ibu belikan hadiah sepeda deh," adalah sebuah contoh kalimat yang mungkin pernah lekat dengan kehidupan muda kita dahulu.  Maka si anak ini belajar rajin agar mimpinya dapat memiliki sepeda tercapai. Tidak ada yang salah memang. Tapi apa iya sih, kita selamanya mau seperti anak kecil. Yang mau mewujudkan kebaikan dan mimpinya jika ada imbalan materi.

Jika kita kita tidak mempunyai mimpi, maka jangan salahkan ketika ada orang lain yang memaksa kita untuk mengikuti mimpi mereka. Jika negeri ini tidak lagi mempunyai mimpi, maka jangan salahkan ketika ada negeri lain yang memaksakan mimpinya untuk terwujud melalui orang-orang kita. Lewat budaya, perekonomian, ideologi, dan kekuatan mereka yang sebenarnya tidak sesuai dengan jati diri kita.

Mimpi Setinggi Langit
Dari yang berani bermimpi pun, tidak sedikit juga yang bermimpi tinggi. Mereka lebih memfisolofikan kehidupan mereka mengalir seperti air. Salahkah? Tidak. Tapi sadarkah kita bahwa air selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Kecuali jika ada energi yang mengarahkannya, maka air itu akan naik ke atas. Dan energi itu adalah mimpi yang tinggi.

Seperti yang dikatakan Rosa Torcasio dalam Chicken Soup for The College Soul, ”Gapailah langit, karena jika meleset pun, kau akan berada di antara bintang-bintang.” Ya, memang hidup ini bukan pemakluman, tapi konsekuensi. Ada konsekuensi yang akan kita hadapi dari setiap keputusan yang kita ambil.

”Kuberi satu rahasia padamu, kawan. Buah paling manis dari bermimpi adalah kejadian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya,” kata Andrea Hirata dalam Maryamah Karpov-nya. Mari kita miliki mimpi setinggi langit, kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup kita dalam perjuangan menggapai mimpi-mimpi itu. Bisa jadi di sana Tuhan telah menyiapkan peristiwa besar untuk menyiapkan diri kita agar menjadi pantas untuk meraih mimpi besar.

Hidup hanya sekali, maka mari kita jadi yang berarti. Sekali lagi, otokritik ini saya sampaikan untuk masyarakat Indonesia. Mungkin otokritik ini lebih tepatnya ditujukan kepada diri saya sendiri yang belum melakukan apa-apa.

Nanda Iriawan Ramadhan
Mahasiswa Jurusan Fisika angkatan 2009

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Lupa Bermimpi