ITS News

Sabtu, 23 November 2024
10 Desember 2013, 15:12

Benarkah Pekan Kondom Nasional Solusi Terbaik?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hasil survei menunjukkan, jumlah penderita HIV/ AIDS meningkat setiap tahunnya. Bahkan, dari data yang ada, pengidap virus ini terbanyak berasal dari kalangan ibu rumah tangga yang menikah dengan pria yang memiliki resiko cukup tinggi. Pria yang dimaksud adalah pria yang memiliki 3m, yakni money, mobile, dan macho. Mereka adalah para pria yang memiliki kesibukan dan mobilitas yang tinggi, jarang di rumah, serta memiliki uang dan kekuatan.

Meningkatnya jumlah Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA) tersebut membuat pemerintah bereaksi dengan mencanangkan PKN. Tidak main-main, sebuah bus khusus untuk kelancaran program ini pun dihadirkan. Alhasil bus ini turut mengampanyekan PKN dengan melewati jalanan berbagai kota besar di Indonesia.

Terlepas dari pelaksanaan, sebenarnya masyarakat perlu memberikan apresiasi atas niat baik pemerintah yang ingin mengurangi jumlah penderita HIV/ AIDS, jika memang benar demikian adanya. Namun demikian, niat baik saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan cara yang baik.

Coba saja kita tengok pelaksanaan program ini. Pada bus yang berwarna merah tersebut, terpampang foto seorang artis ibu kota dengan pakaian yang minim dan pose yang sensual. Belum lagi adanya laporan terkait pembagian alat kontrasepsi ini di depan Kampus Universitas Gajah Mada (UGM).” Silakan kondomnya, gratis mas. Bisa dicoba dengan pacarnya,’’ ungkap seorang narasumber ITS Online dari UGM menirukan ucapan petugas yang membagikan kondom tersebut.

Anjuran tersebut seolah-olah memberikan saran agar mahasiswa melakukan hubungan suami istri bersama pacarnya. Kata pacar mengisyaratkan bahwa pasangan yang belum resmi terikat dalam pernikahan. Pantas saja jika masyarakat resah. Pasalnya, tujuan untuk mengurangi HIV/ AIDS justru disertai dengan ajakan untuk melakukan seks bebas.

Jika memang tujuannya untuk mengurangi penderita HIV/ AIDS, mengapa harus kondom? Mengapa juga harus memamerkan foto seronok seorang artis yang berpakaian minim? Masyarakat menilai banyak cara yang lebih beradab dibandingkan dengan pembagian kondom.

Bahkan program pemerintah pusat ini cenderung bertolak belakang dengan berbagai program yang digalakkan oleh pemerintah daerah. Di kota Surabaya sendiri misalnya, Walikota Surabaya, Ir Tri Rismaharini, menggalakkan penutupan lokalisasi Dolly, meski belum seluruhnya, setidaknya Surabaya sudah mengerjakan sedikit demi sedikit. Pemerintah Kota Surbaya pun memberikan pencerdasan kepada para Pekerja Seks Komersial (PSK).

Tidak hanya sampai di situ, Risma beserta jajarannya pun berusaha mencarikan mereka (para PSK, red) pekerjaan baru yang lebih baik dibanding menjual harga diri. Namun, kenapa justru pemerintah pusat terkesan memfasilitasi seks bebas itu sendiri dengan membagi-bagikan kondom secara gratis?

”Kondom bukan barang terlarang, seperti narkotika. Jadi tidak perlu risau, jika ada yang bagi-bagi kondom,” ujar dr Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan (Menkes) dalam konferensi pers Hari AIDS Sedunia di Jakarta, Jumat (29/11). Ia mengatakan lebih berbahaya jika ada yang bagi-bagi rokok secara gratis dan generasi muda mencoba merokok. ”Dari coba-coba bisa jadi ketagihan merokok,” katanya. Jadi, kalau ada yang bagi-bagi kondom, lalu apakah itu berarti bahwa generasi muda akan mencoba menggunakan kondom?

Pihak Komisi Pemberantasan AIDS Nasional (KPAN) menambahkan, bahwa kondom hanyalah salah satu cara untuk menanggulangi HIV/ AIDS. Ada banyak tahapan sebelum pembagian kondom, yakni pencerdasan melalui sosialisasi dan pendidikan.

Penjelasan ini tak lantas membuat pihak yang kontra puas. Pasalnya, tetap saja hal ini seperti menyampaikan,” Tidak masalah melakukan seks bebas, asal lakukan dengan yang aman, yaitu memakai kondom.”

Remaja mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Dengan mendapat informasi bebas yang tidak dibekali dengan pencerdasan sebelumnya, mereka akan mencari tahu informasi tersebut lebih jauh. Tanpa bimbingan yang bijak, rasa penasaran itu bisa membangkitkan keinginan untuk mencoba. Dari yang awalnya berita untuk coba-coba, kelamaan akan menjadi gaya hidup dan jati diri seseorang.

Pada dasarnya, pengguna kondom memang tidak beresiko seperti orang yang merokok. Justru menggunakan kondom dalam berhubungan seksual akan memberikan beberapa manfaat yang diantaranya juga menghindarkan dari virus HIV/AIDS. Akan tetapi, dengan pembagian kondom secara cuma-cuma mengarah kepada pemerintah seolah-olah memfasilitasi perubahan gaya hidup seseorang. Seolah-olah hubungan seks bebas hal yang lumrah di Indonesia, dan bahkan difasilitasi.

Di sisi lain, kriminalitas di era ini terjadi bukan hanya terjadi karena niat pelakunya. Melainkan juga karena ada kesempatan yang bisa dimanfaatkan. Dengan membagi-bagikan kondom, sama halnya dengan pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk masyarakat Indonesia dapat berhubungan seks bebas.

Jika menyebarnya virus HIV/AIDS memang merepresentasikan seluruh masyarakat Indonesia, maka bisa saja akan banyak pihak yang mendukung program ini. Namun, fakta yang ada, penderita hanya beberapa persen saja. Jika ditilik dari data statistik Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) merupakan jumlah yang minoritas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Maka terkesan tidak adil jika harus semua orang dikampanyekan untuk mencoba kondom.

Jumlah penderita ODHA memang bagaikan gunung es yang semakin lama justru semakin mencair menjadi banyak. Dan upaya pemerintah untuk mengurangi tingginya angka penderita HIV/AIDS memang sangat dibutuhkan. Tapi tidak dengan kampanye PKN. Pemerintah semestinya juga menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang kental dengan adat ketimuran, yang mengharamkan seks bebas. Bukan menganut pada adat kebarat-baratan yang tidak sedikit seorang ibu mengingatkan putrinya untuk membawa pil anti hamil ketika keluar rumah.

Jika tidak dengan PKN, maka apakah ada cara lain untuk menurunkan tingginya angka penderita AIDS di Indonesia? Tidak ada pilihan lain selain taat kepada ajaran agama, gaya hidup yang sehat, serta tidak mencoba-coba seks bebas.

Disamping itu, pemerintah sebaiknya menggalakkan pemberantasan pornografi secara masif. Sebab, saat ini ada banyak tools untuk mengakses pornografi, atau informasi terkait itu. Meski Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sudah memblokir situs-situs yang berbau pornografi, faktanya di beberapa situs masih kerap ditemukan tampilan berbau pornografi.

Tidak perlu dilakukan kampanye kondom. Cukup diberikan penanaman pengetahuan seksual sejak dini ke anak muda. Sebuah pembelajaran khusus yang akan membuat paradigma dari tiap-tiap generasi muda terhadap seks tidak salah kaprah. Caranya dengan menyampaikan pendidikan reproduksi yang disesuaikan dengan usia anak tersebut. Sehingga mereka dapat menciptakan bentengnya sendiri untuk tidak melakukan seks bebas dan mengetahui resikonya.

Solusi lain yang mungkin dapat digalakkan sekarang juga, menggantikan PKN yang sudah diberhentikan ddi hari kedua pelaksanaannya ialah pekan cek kesehatan nasional. Program ini bisa menjadi menjadi solusi terbaik untuk mencegah HIV/AIDS sejak dini, bagi seluruh masyarakat di Indonesia saat ini. Yang dimulai dari pencanangan program di setiap rumah sakit setempat. Sebut saja Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) telah melaksanakan program ini.

Dengan berbagai usaha yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia maupun lembaga yang turut berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan tingginya angka penderita AIDS, diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan itu sedikit demi sedikit. Dengan hidup sehat, deteksi dini, lalu melakukan pencegahan, diharapkan virus HIV/AIDS dapat berkurang dan tidak menyebar.

Dari Mereka Yang Positif
Tidak hanya dari generasi muda. Bahkan dari mereka yang positif terkena HIV/ AIDS juga heran terhadap kebijakan ini. Jika memang benar pemerintah memiliki niat untuk mengurangi jumlah penderita penyakit ini, mereka juga ingin agar pemerintah lebih fokus memikirkan solusi bagaimana agar mereka tidak dikucilkan dalam hidup bermasyarakat.

Apapun Alasannya
Ketika dimintai klarifikasi siapa pihak yang paling bertanggunjawab pun, pihak-pihak terkait seperti saling lempar tanggung jawab. Namun, ada seorang politisi yang menduga adanya kalkulator bisnis yang berjalan di belakang pelaksanaan program ini. Pasalnya, kondom yang digunakan dalam kegiatan ini bekerja sama dengan salah satu perusahaan kondom yang cukup ternama.

Anggaran yang dikeluarkan pun tidak main-main. Kabarnya, sampai merogoh kocek sebesar Rp 25 milyar. Benarkah dugaan ini? Atau ada kepentingan politis lainnya? Tapi kita setidaknya bisa sedikit bernafas lega. Pasalnya, pemerintah menarik kembali bus berwarna merah tersebut setelah menerima adanya laporan tentang cara pembagian kondom seperti yang diceritakan di atas.

Namun bagaimanapun, jika dikatakan kondom dapat mencegah penularan HIV/AIDS, tidak juga sepenuhnya seperti itu. Karena ukuran virus HIV/ AIDS jauh lebih kecil dibandingkan ukuran pori-pori kondom.

Apapun alasannya, di balik kepentingan apapun, seharusnya pemerintah menjalankan niat-niat baiknya dengan cara yang lebih anggun, elegan , dan berwibawa. Solusi dari setiap masalah memang perlu, tapi bukan berarti kita memilih solusi yang bertentangan dengan hati nurani manusia.

Selain itu, tidak setiap masalah harus diselesaikan dengan memar solusi baru. Lebih baik kita cari dulu penyebabnya, baru kita pikirkan solusi. Anologinya seperti orang yang sakit perut diberi obat sakit kepala. Tidak mempan atau justru bertambah sakitnya.

Tim Redaksi ITS Online

Berita Terkait