Prof Dr H Nang Primadi Tabrani mengungkapkan pada dasarnya setiap manusia pasti memiliki nilai-nilai kreativitas di dalam dirinya. Namun, cara berfikir kreatif pernah dipandang sebelah mata di masa lalu, yakni ketika manusia lebih mempercayai cara berfikir rasional.
Hal ini tak terlepas dari cara berfikir manusia di daerah barat di dalam kesehariannya. Yakni pola hidup berfikir secara rasional, mementingkan literatur atau bahasa kata, dan lebih mempercayai apa yang mereka lihat. Cara berfikir inilah yang kemudian mendorong terciptanya sistem belajar ala bangsa barat. "Lebih jauh lagi, cara belajar ala barat akhirnya juga mempengaruhi cara belajar sebagian besar penduduk di dunia, termasuk juga di Indonesia," ungkap pria yang akrab disapa Primadi ini.
Namun, Primadi mengungkapkan bangsa barat selalu mengukur kreativitas dengan kacamata pemikiran rasio, sehingga belum ditemukan cara untuk menjembatani cara belajar rasional dan kreatif. Lebih jauh lagi, cara belajar dalam pendidikan saat ini sudah terlalu lama dikuasai oleh rezim pemikiran rasio. "Sehingga menggabungkan proses belajar rasional dan kreatif menjadi sulit dilaksanakan," ungkap Guru Besar Institut Teknologi Bandung ini.
Belajar Menggunakan Imajinasi
Pria berkacamata ini mengungkapkan salah satu hal yang tidak lepas dari kreativitas ialah imajinasi. Ia mencontohkan seorang bayi yang baru lahir tidak akan pernah tahu bagaimana penampilan ibunya atau membedakan apakah suara ibunya cempreng atau bagus. Namun, seorang bayi mampu membedakan mana yang merupakan ibunya dan tidak. Saat digendong orang lain, bayi akan menangis. "Hal itu menunjukkan bahwa imajinasi telah dianugerahkan Tuhan kepada kita sejak kita kecil," ungkapnya.
Pun demikian, Primadi menyatakan dalam proses imajinasi, proses belajar dan proses kreasi, sebenarnya yang paling penting ialah proses imajinasi. Hal itu lantaran imajinasi dapat menjembatani apa yang indera kita rasakan menuju ke kesimpulan sebelum disimpan di otak.
Primadi mengungkapkan tiap ilmu yang masuk akan memasuki ‘jalan tol-nya’ masing-masing. Dengan proses ini, maka orang bisa saja lulus semua mata kuliah yang diajarkan. "Namun, sering terjadi kesulitan ketika berusaha memecahkan soal yang melibatkan gabungan berbagai disiplin ilmu," ungkapnya.
Hal ini dikarenakan susunan syaraf untuk cara belajar rasio berbentuk vertikal. Tidak ada jalan untuk menghubungkan satu jalan ke jalan yang lain. Hal yang bisa menggabungkan keduanya ialah proses belajar kreatif dengan imajinasi. "Susunan syaraf kreatif berbentuk horizontal sehingga dia mampu menghubungkan tiap jalan vertikal dengan jalan lainnya," ungkap Primadi.
Sayangnya, dalam ajaran konvensional, cara berfikir kreatif cenderung diabaikan. Hal ini mengakibatkan apabila memori di dalam celebral cortex telah memudar, maka manusia harus mempelajari semuanya dari awal lagi. Maka dari itulah para ilmuwan barat membuat terobosan dengan menghindari proses belajar mengajar di sekolah. Hal itu dikarenakan pada masa lampau hampir seluruh sekolah membatasi dan mencekal proses berfikir kreatif manusia.
Sehingga Primadi mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia harus mengkaji ulang sistem belajar untuk siswa. Indonesia harus menghapus doktrin belajar rasional dan mulai menggabungkan sistem belajar rasional dan kreatif. "Karena proses belajar yang baik sejatinya merupakan kerjasama antara syaraf vertikal dan horizontal, atau proses belajar rasio dan kreasi," pungkasnya. (gol/man)
Kampus ITS, ITS News — Dalam rangka memperingati Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggelar upacara
Kampus ITS, ITS News — Tim Robotika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali memboyong prestasi membanggakan di ajang kompetisi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) resmi menjalin kemitraan strategis dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana
Kampus ITS, ITS News —Memenuhi kebutuhan penyelia halal berkualitas, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui Tekno Sains Academy menggelar