Oleh : Dadang ITS |
240
|
Source : -
"Jikalau aku melihat gunung-gunung membiru, aku melihat wajah indonesia. Jikalau aku melihat lautan membanting di pantai bergelora, aku mendengar suara indonesia. Jikalau aku melihat awan putih berarak di angkasa, aku melihat keindahan indonesia". Inilah sepenggal puisi berjudul Aku Melihat Indonesia yang dibacakan oleh Christina Liinak dari Estonia selepas memainkan angklung.
Ialah Azzahroh, mahasiswa Jurusan Teknik Fisika 2013, yang merupakann volunteer IO yang bertugas menjadi pemandu not. Dimana setiap kali not diangkat olehnya, maka angklung yang sesuai bunyi akan digetarkan oleh para pemain angklung tersebut. Suara khas angklung pun bergema di Grha ITS malam itu.
Dengan formasi sepuluh mahasiswa asing ditambah delapan volunteer IO, mereka membawakan tiga lagu. Antara lain, Yamko Rambe Yamko, Surabaya Oh Surabaya, dan Ibu Pertiwi. "Latihan sejak 2 bulan yang lalu sekitar Oktober setiap hari kamis," ujar Azzahro.
Dengan latihan rutin seperti itu, lanjutnya, akan semakin mengharmonisasikan suara angklung yang dimainkan oleh masing-masing mahasiswa asing. Namun,kesalahan pasti ada, terlebih karena mereka merupakan non warga pribumi. Seperti Kenny Xiang Lam, Sander Ott, Maksims Sindorovics, Vaitiare Charez Vela, Cristina Bulgaria dan beberapa mahasiswa lain.
Tak hanya berupa angklung, selang beberapa saat, giliran seni tari yang mereka suguhkan. Tak tanggung-tanggung, Tari Saman dari Aceh yang sangat menuntut kekompakkan dan kerja sama pun dipilih guna menghibur hadirin yang datang.
Cristina, mahasiswi asal Bulgaria menceritakan bahwasanya ia pernah belajar Tari Saman sejak saat berada di Kedutaan Besar Jakarta. Sedangkan di IO hanya butuh waktu 2,5 bulan untuk menyelaraskan gerakan antar mahasiswa asing.
Ketika ditanya kesannya tentang Tari Saman ini, Cristina, mahasiswa baru Jurusan Arsitektur itu mengungkapan rasa senangnya akan keberagaman budaya dan seni Indonesia. "Walau agak sedikit susah karena gerakannya cepat, but it was fun," ujarnya senang. (o8/guh)