ITS News

Minggu, 15 Desember 2024
06 Januari 2015, 11:01

Sebegitu Haruskah Mahasiswa Berpolitik?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saat ini, kurang lebih ada seratus Perguruan Tinggi Negeri (berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik), 52 Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), 272 Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, dan 3.078 Perguruan Tinggi Swasta yang tersebar di seluruh nusantara. Diketahui dari Angka Partisipasi Kasar (APK) pada tahun 2012, jumlah mahasiswa Indonesia kurang lebih sekitar 4,5 juta (dari 25 juta usia produtif 19-24 tahun) atau 1,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan peningkatan persentase jumlah mahasiswa hingga 2014 ini, taruhlah 2 persen penduduk Indonesia adalah mahasiswa.

Semua penduduk Indonesia dengan latar pendidikan yang berbeda-beda menempati perannya masing-masing di berbagai sektor dimana mereka dibutuhkan. Mulai dari buruh pabrik, tenaga pendidik, spesialis industri, pemerintah, hingga wiraswasta. Kondisi tersebut adalah jika proporsi jumlah penduduk, kebutuhan konsumsi keseharian, dan ketersediaan sumber daya alam atau manusia menunjukkan kondisi yang tepat terintegrasi dan seimbang.

Namun, dari 250 juta penduduk Indonesia, ternyata 7,24 juta diantaranya adalah pengangguran. Selain itu, masih ada persoalan kesehatan, pembangunan, pendidikan, aktivitas impor-ekspor, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang dianggap masih belum mencapai kondisi ideal.

Berangkat dari hal tersebut, kita menyadari bersama bahwa sistem ini perlu mendapat perhatian lebih. Masalah-masalah perlu ditanggulangi dengan tepat. Ada begitu banyak variabel yang terlibat dalam pembentukan suatu kebijakan. Mulai dari masalah yang dihadapi, efisiensi solusi, ketersediaan tenaga, pembagian peran, gesekan kepentingan dalam maupun luar negeri. Cara mencapai itulah yang biasa disebut politik.

Apa itu Politik?

Menurut teori klasik Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Perspektif lain mengatakan bahwa politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, atau sesuatu yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Definisi yang paling klop untuk saya pribadi, yaitu politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Saya memahami bahwa dalam perumusan dan pelaksanaan inilah banyak perilaku-perilaku politik yang menunjukkan ketidaksamaan persepsi. Dalam arti, sedemikian banyak kepentingan disana, sehingga menimbulkan gesekan dan  pelanggaran yang dapat berefek pada kebijakan yang kurang tepat. Pada akhirnya, rakyat juga yang paling menikmati dampak dari suatu kebijakan tanpa bisa banyak berpartisipasi.

Bicara partisipasi politik, sejak saya mengenal Indonesia dan bangku kuliah, mahasiswa selalu dielu-elukan sebagai subjek terpercaya dalam mengawal kebijakan pemerintah. Hal ini lantaran kalangan ini dianggap sebagai kaum intelek yang berada pada posisi netral. Benarkah?

Status Mahasiswa

Perguruan Tinggi menyuguhkan atmosfer pendidikan yang lebih terfokus dan mendalam, juga menawarkan lingkungan yang intelek. Untuk bisa survive sebagai mahasiswa, dikatakan perlu daya berpikir lebih daripada mereka yang tidak mengenyam bangku kuliah.

Tanpa bermaksud mengeneralisir dan menyalahi takdir, kondisi ini tidak salah jika mahasiswa dikatakan mampu melihat serta mengkritisi keadaan pemerintah. Tak hanya otaknya yang diklaim terlatih mengkaji persoalan, mahasiswa berada dibawah institusi legal yang mana track untuk mencapai meja pemerintah lebih dekat. Apalagi, para pengajar di area kampus adalah mereka yang sering bersinggungan langsung dengan pemerintah.

Ditambah lagi, mahasiswa tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan pemerintah namun dianggap mampu mengkritisi kebijakan-kebijakannya. Maka posisi mahasiswa menjadi sangat netral dan strategis untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik karena menjadi pengawal kebijakan dan penyambung lidah rakyat.

Lalu, populasi 2 persen dari total penduduk Indonesia ini juga adalah yang paling memungkinkan dijadikan sebagai pemegang tongkat estafet pemerintahan Indonesia. Dalam hal ini, Ibu Susi Pudjiastuti Sang Menteri lain cerita. Akhirnya, dikatakanlah bahwa mahasiswa memiliki peranan khusus yang meliputi peran sebagai agent of change, moral force, iron stock, dan social control.

Fenomena Mahasiswa Hari Ini

Lima juta lebih mahasiswa dengan berbagai fokus bidang yang berbeda ini dipaksa oleh sistem ataupun passion-nya untuk memenuhi kebutuhan peradaban. Sementara menurut riset, untuk mencapai kondisi ideal, Indonesia membutuhkan seratus ribu dokter umum, 6000 dokter spesialis, 2,7 juta teknisi, 600 aktuaris, dan masih banyak lagi sektor yang harus dipenuhi oleh para mahasiswa. Tak ayal, pikiran untuk menjadi spesialis pun muncul, dimana mahasiswa berpikir bahwa apa yang perlu dilakukannya hanyalah menggeluti fokus bidangnya saja.

Hal tersebut tidak salah, mengingat dalam tatanan kehidupan ini memang dibutuhkan para jenius di bidang-bidang khusus yang pendalamannya membutuhkan fokus penuh. Tapi, apakah semua mahasiswa harus begitu?

Adanya jurusan ilmu politik, hukum, ilmu pemerintahan, dan lain sejenisnya ini dianggap oleh  beberapa mahasiswa sudah cukup menjawab kebutuhan panggung perpolitikan Indonesia. Lantas mahasiswa-mahasiswa jurusan tersebut dianggap yang paling bertanggung jawab mengurusi politik. Terus, kita-kita mahasiswa teknik, sains, dan lainnya ini apakah tidak diperlukan? Layakkah lepas peran dan tanggung jawab sebagai mahasiswa?

Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah orientasi kebanyakan individu mahasiswa itu sendiri. Bersekolah, kerja, mendapat gaji cukup, dan hidup bahagia, agaknya menjadi situasi dambaan banyak mahasiswa saat ini. Tak salah memang, sudah menjadi dasar sifat manusia untuk mencari kenyamanan hidup. Dikatakan kebanyakan mahasiswa sekarang pragmatis dan oportunis. Mementingkan kenyamanan hidup sendiri, begitu?

Kondisi lingkungan Indonesia pasca reformasi pun menghadirkan kenyamanan tersendiri. Tidak ada gejolak nyata ataupun common enemy, sehingga nampak seperti semuanya tidak ada yang salah. Lupa melihat masih ada rakyat yang susah, dikatakan kebanyakan mahasiswa sekarang cenderung elitis dan kurang merakyat. Katanya penyambung lidah rakyat?

Niat berkontribusi untuk bangsa, tapi terpelintir istilah nanti saja kalau sudah sukses, lantas sekarang fokus kuliah tanpa peduli apa yang terjadi dengan bangsanya. Ada yang berkata, cara paling efektif untuk merusak suatu bangsa adalah dengan membuat para pemudanya tidak kenal sejarah. Bagaimana bisa kita membantu berkontribusi untuk bangsa sedangkan sejarah akar masalahnya saja kita tidak paham karena tidak memerhatikan sedari dulu?

Fenomena yang paling mudah ditemui adalah, ”Kuliah saya saja sudah susah, tambah susah mikirin politik.” Padahal semua yang kita hadapi adalah menyangkut politik, bahkan pendidikan sekalipun. Intinya, tidak mau susah?

Jadi, Sebegitu Haruskah?

Mengutip perkataan dari salah satu tokoh penulis favorit saya, Bertolt Brecht mengatakan buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.

Orang yang buta begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Ia tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.

Lihat betapa sebenarnya kita semua ini pada hakikatnya adalah pelaku politik. Bahkan saintis yang sibuk di laboratorium dan teknisi yang sibuk merancang bangunan sekalipun. Jika kehidupan sebagai teknisi misalnya, tidak sejahtera, temuan tidak dihargai, kompetensi tidak terstandardisasi, dan lainnya, apa lagi kalau bukan persoalan politik?

Tinggal bagaimana kita mau mengalokasikan waktu dan tenaga untuk berpartisipasi aktif sesuai kapabilitas yang kita miliki. Mahasiswa dengan kapabilitas sebesar itu, apakah hanya mau memilih belajar di kelas dan iya-iya saja? Ketika sebetulnya kebertahanan status mahasiswa kita ini diperjuangkan oleh rakyat melalui dana pajak, dan perputaran uang negara. Masih merasa tidak berdosakah untuk bersikap apatis terhadap peristiwa menyangkut rakyat Indonesia?

Andai pemimpin bangsa dapat lahir dari masa lalu yang tidak peduli dan tidak mau mengenal politik, apa mungkin?

Ilmi Mayuni Bumi

Mahasiswi Jurusan Teknik Material dan Metalurgi

Angkatan 2013

Berita Terkait