Tadi pagi ketika saya membuka televisi dan menonton berita, kurs dollar mencapai titik terkelam di sejarahnya (menurut media yg saya nonton tadi pagi) yaitu mencapai Rp 13.800-an dan mencapai akan mencapai Rp 14.000 (mungkin saja sudah turun beberapa point atau bahkan sudah naik lagi). Mungkin saya sebagai mahasiswa teknik yang belajarnya tentang daya motor mungkin merasa biasa saja. Tetapi yang membuat saya semangat untuk menyelidiki lagi tentang pelemahan rupiah ini adalah ketika teman kosan saya kaget akan mahalnya kurs dollar terhadap rupiah.
Setelah browsing di internet selama beberapa jam, ternyata asumsi awal pemerintah melalui APBN-P 2015 menyatakan bahwa kurs dollar mencapai Rp 12.500 dan sekarang sudah lebih dari Rp. 12.500. Dampak negatif dari hal ini adalah naiknya inflasi melalui harga barang-barang impor. Jika barang2 impor naik maka daya beli masyarakat akan tertekan.
Padahal Indonesia masih sangat bergantung kepada barang-barang impor. Contohnya saja industri makanan yang bahan bakunya harus mengimpor sebesar 60-65 persen. Bukanya industri ini tidak menyukai produk dalam negeri tetapi karena bahan baku itu tidak tersedia di indonesia.
Tidak hanya itu melemahnya nilai rupiah juga mengakibatkan meningkatnya biaya produksi dan jika terjadi lama maka akan mengakibatkan menurunya nilai perusahaan. Menurut beberapa ahli ada beberapa faktor yg menyebabkan dollar menguat, tapi izinkan saya mengurai hanya 2 faktor saja.
Pertama, faktor eksternal di mana ekonomi Amerika Serikat lagi baik-baiknya semenjak beberapa tahun lalu terkena krisis (silakan google untuk lebih detailnya). Ekonomi AS membaik karena "pulangnya dollar ke paman Sam" serta Bank Sentral Amerika, the Fed, membuat keputusan untuk menarik dana insentif. Sementara yang kedua adalah faktor internal, yaitu membengkaknya defisit neraca transaksi ekspor dan impor
Beberapa solusi yg dibuat pemerintah utk menyelamatkan faktor internal adalah dengan menggodok lagi UU Mata Uang No.7 tahun 2011 karena pada umumnya ada pengusaha yang berbasis ekspor lebih suka bertransaksi dengan mata uang asing dibandingkan mata uang rupiah ketika bertransaksi di dalam negeri, khususnya industri manufaktur. Pemerintah juga akan membebaskan pajak bunga deposito hasil ekspor. Serta mendorong ekspor non-migas utk menyelamatkan rupiah. Dan juga dalam pidato kenegaraan presiden RI tadi siang, beliau juga akan berusaha menekan angka impor.
Tapi benarkah nilai kurs rupiah kita, kita bebankan utk pemerintah saja? Ataukah ini menjadi tanggung jawab bersama?
Ada sebuah quote yg cukup terkenal dari founding father Indonesia. "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara"
Setelah merenung sejenak ternyata kita sebagai masyarakat juga berpengaruh dalam penentuan nilai kurs rupiah trhdap dollar. Kita (termasuk saya) ternyata masih memiliki mentalitas orang jajahan, yang selalu menganggap barang-barang impor merupakan sesuatu yg lebih bagus dan akan menaikan status sosial kita.
Hingga saat ini, ada beberapa di antara kita yang masih tidak bangga terhadap produk dalam negeri. Mungkin karena tidak memiliki merk yang terkenal. Kemarin ketika saya di Bandung, saya membeli celana jeans produksi lokal karena harganya lebih murah. Tapi, setelah saya bandingkan dengan merk celana jeans yang terkenal, ternyata kualitasnya tidak jauh berbeda.
Hal ini terjadi juga ketika tahun lalu saya dan teman saya berangkat ke Jepang untuk mengikuti lomba Model United Nations (MUN). Saya dan teman saya membawa snack tradisional dari Indonesia dan membagikanya dengan roomate saya di Jepang Dan respon mereka sangat senang karena baru pertama kali mereka makan makanan seenak ini. Semenjak itu saya mulai membangkitkan kepercayaan saya terhadap produk dalam negeri.
Ada lagi satu hal yang sampai sekarang saya pelajari, yaitu menabung. Setelah diskusi dengan teman kosan saya, ternyata menabung tidak hanya kita berinvestasi terhadap diri sendiri, tapi juga bertujuan untuk menghindar dari pola hidup konsumtif.
Dengan berkurangnya pola hidup konsumtif, maka kita bisa menahan keinginan untuk membeli barang-barang impor sehingga menekan laju impor kita. Laju impor meningkat karena adanya demand dari pasar yang ada di negara kita. Adanya demand yang tinggi karena perilaku kita yang konsumtif.
Kembali lagi ke mencintai produk dalam negeri, semakin kita mencintai dan mendukung produk dalam negeri, laju ekspor non-migas kita akan meningkat.Hal ini telah diwanti-wanti oleh pemerintah semenjak tahun lalu ketika pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku bunga untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). UMKM juga sangat berpengaruh terhadap kemandirian bangsa dalam menghadapi AEC atau AFTA.
Oh iya, ada satu hal lagi yg sedang booming sekarang yaitu kekeringan di beberapa daerah di Indonesia. Jika kekeringan terus melanda beberapa sektor pertanian akan gagal panen dan kemungkinan kita akan mengalami kekurangan bahan makanan. Jika kita kekurangan, negara akan berusaha untuk menyediakanya dengan cara impor bahan pangan. Mungkin kita tidak bisa mengalahkan kekuatan alam. Tapi ada hal yg sangat sederhana yg bisa kita lakukan utk menekan impor bahan pangan jika memang pemerintah harus melakukanya, yaitu dengan menghabiskan makanan kita.
Ada beberapa orang yang tidak menghabiskan makanan mereka sehingga makanan tersebut terbuang sia-sia. Jika kita membuang makanan kita, itu sama saja kita mau meningkatkan laju impor, dan juga mengakibatkan naiknya harga dollar.
Mungkin hal ini akan terjadi secara tidak langsung, tapi bayangkan jika 200 juta penduduk Indonesia makan tanpa sisa, kita bisa melalui iklim El Nino ini tanpa harus menaikan lagi kurs dollar. Sangat simple tapi berdampak.
God Bless Indonesia!
Yabes David
Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin ITS
Angkatan 2011