Menurut Putri Sagu Indonesia Dr Saptarining Wulan MM, krisis pangan terjadi karena konsumsi beras di Indonesia terus meningkat. Dalam satu tahun masyarakat Indonesia mengkonsumsi 139 kilogram beras per orang. "Tak heran jika Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan konsumsi beras tertinggi di Asia," imbuhnya.
Saptarining mengatakan jika ditinjau dari segi alam, Indonesia merupakan negara dengan vegetasi hutan hujan tropis dengan ciri polikultur. Namun karena banyaknya konsumsi beras, lahan yang tadinya merupakan polikultur diubah paksa menjadi monokultur untuk kebutuhan sawah padi.
Perubahan ini menurutnya menimbulkan kerusakan pada habitat asli dan menyebabkan lahan menjadi rusak dan sulit untuk direvitalisasi. "Ketidakefektifan lahan tersebut akhirnya menyebabkan tumbuhan pengganti beras tidak mampu tumbuh," ungkapnya miris.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Saptarining menuturkan perlunya solusi yang tepat berupa diversifikasi pangan. Dalam hal ini, bahan pangan yang disarankan adalah sagu. Sagu dipilih karena merupakan tanaman indigenous (asli, red) Indonesia dan mampu tumbuh subur di seluruh wilayah Indonesia. Perlu diketahui, padi bukan merupakan tanaman indigenus Indonesia melainkan tanaman yang tumbuh di wilayah India.
Selain itu sagu juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi yaitu 22,36 ton per hektar dalam satu tahun. Diungkapkan olehnya, sagu memang lebih baik dari pada beras jika ditinjau dari segi gizi, rendemen, produktivitas, dan emisi . Bahkan, Saptarining juga memaparkan bahwa kandungan nutrisi sagu lebih tinggi dari beras. "Untuk itu, sebagai warga negara Indonesia, sudah selayaknya kita beralih dari konsumsi beras ke konsumsi sagu," tegasnya.
Itulah sebabnya, Saptarining akhirnya berhasil membuat beberapa produk dengan bahan dasar 100 persen sagu seperti pati sagu, mie sagu, dan beras sagu. Bahkan beberapa jenis kue kering maupun basah serta makanan ringan juga berhasil dibuat dengan bahan dasar sagu olehnya. "Makanan yang dibuat dari sagu itu rasanya tidak jauh berbeda dengan makanan yang dibuat dari bahan dasar terigu," tukas pendiri Sagu Institute ini.
Selain dapat dibuat menjadi produk pangan, ternyata sagu juga dapat digunakan sebagai energi alternatif hingga bahan campuran untuk industri kosmetik. Bagi Saptarining, kelebihan yang dimiliki sagu diharapkan mampu mengantarkan tanaman ini untuk menjadi salah satu tanaman yang berpotensi menjadi pangan lokal. "Dengan sagu dapat dipastikan krisis pangan yang dialami Indonesia dapat berkurang dan dapat meningkatkan perekonomian negara," tuturnya.
Ia mengaku, untuk memperkenalkan sagu sebagai pangan lokal cukup sulit. Mengingat, selama ini masyarakat Indonesia menilai beras sebagai pangan utama. Tak heran jika pernyataan belum makan jika belum mengkonsumsi nasi sangat populer. "Diperlukan peranan pemerintah untuk merubah pemikiran masyarakat mengenai beras," jelasnya.
Dikatakan Saptarining, sebenarnya selama ini masyarakat telah mengkonsumsi sagu yang telah diproduksi dalam bentuk su’un dan hongkue. Namun, karena keterbatasan informasi masyarakat kurang mengetahui hal ini. Di samping itu, masyarakat masih menilai bahwa sagu hanya dapat diolah menjadi papeda dan hanya mampu tumbuh di wilayah timur Indonesia. "Sosialisasi yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk merubah pemikiran masyarakat mengenai sagu dan padi," katanya.
Di akhir, ia pun mengajak mahasiswa untuk turut mendukung gerakan sagu sebagai pangan nasional. "Partisipasi bisa dilakukan dengan cara menggunakan produk sagu dan terjun langsung dalam kegiatan sosialisasi sagu kepada masyarakat," pungkasnya seraya tersenyum. (sho/pus)
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan