ITS News

Senin, 02 September 2024
05 November 2015, 21:11

Surabaya, Metropolitan yang Belum Mengenal Jamban

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Menyandang gelar Adipura Kencana kategori Kota Metropolitan selama tiga kali berturut-turut rupanya bukan jaminan kota pahlawan beres mengurus urusan kesehatan dan lingkungan. Ironisnya, Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyampaikan bahwa dari 161 kelurahan di Surabaya, 25% nya masih ditemukan masyarakat yang belum mengenal jamban. Senada dengan hal tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum menyampaikan bahwa 76,3% sungai di Surabaya tercemar bahan organik yang salah satunya berasal dari kotoran manusia. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan syarat Kota Adipura yang mengharuskan adanya konsistensi kualitas air di Surabaya.

Tak heran jika pemerintah Surabaya getol menuntaskan program sanitasi demi tercapainya daerah Open Defecation Free (ODF).  ODF, kondisi dimana setiap individu dalam komunitasnya tidak buang air besar sembarangan, rupanya belum mampu dilakoni Surabaya. Bahkan, kota berusia ratusan tahun ini masih kalah dengan kota-kota lain seperti Pacitan, Magetan, Ngawi dan Madiun yang sudah dinyatakan bebas ODF sejak 2014 silam.

Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah Kota Surabaya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menjalankan program 100-0-100 besutan Kementerian Pekerjaan Umum. Program yang menarget pemerintah mencapai 100 persen akses air minum, 0 persen kawasan permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak yang dipatok tuntas pada tahun 2019 nanti. Meski dipandang ambisius, pemerintah Surabaya tampak optimis menggandeng akademisi, mahasiswa, dan masyarakat guna mencapai target tersebut.

Pentingnya upaya pemerintah memang dirasa sangat diperlukan. Pasalnya, menurut World Bank kerugian ekonomi yang diderita akibat kurangnya layanan sanitasi yang memadai bahkan mencapai 2,3 persen dari PDB tahunan atau sekitar 6,3 miliar dolar Amerika. Angka yang terbilang fantastis hanya untuk menyelesaikan urusan jamban.

Tak hanya masalah finansial, WHO juga mencatat 88% angka kematian anak akibat diare disebabkan karena sulitnya mengakses air bersih dan terbatasnya sistem sanitasi di lingkungannya. Karena itu, di sinilah reputasi mahasiswa teknik kampus teknologi terbesar di Surabaya dipertaruhkan. Tak hanya sebagai penyambung lidah masyarakat ke pemerintah, mahasiswa juga dituntut mampu menciptakan teknologi tepat guna untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Kini sudah bukan waktunya lagi mengeluh pada pemerintah, karena masa depan Surabaya juga bergantung pada keseriusan mahasiswa.

Arina Wida Imania

Mahasiswi Teknik Lingkungan

Angkatan 2014

Berita Terkait