Sesempurna apapun sebuah acara, sehebat apapun seorang pembicaranya, semuanya percuma apabila pendengarnya (atau yang diharapkan untuk mendapatkan perubahan setelah acara) memiliki akar kebiasaan yang jauh dari harapan. Hal ini merupakan fakta, karena pondasi sebuah bangunan menentukan bagaimana bangunan itu akan terbentuk.
Saya masih ingat ketika dulu peresmian mahasiswa baru, ITS mengundang Dr Handry Satriago, CEO General Electric Indonesia. Ketika itu beliau sebagai motivator dan dengan luar biasa mampu membuat seluruh mahasiswa baru memiliki antusias yang tinggi. Intinya, beliau ingin mengajarkan kepada seluruh audience untuk bermimpi. "Tidak ada mimpi yang terlalu kecil, dan juga tidak ada mimpi yang terlalu besar. Namun bagaimanapun itu, bermimpilah," ungkapnya kala itu.
Dengan sederhana beliau mengajarkan mimpi bisa dibentuk dengan sederhana. Bahkan, beliau mengatakan ayahnya mendapatkan impian dengan melihat sebuah poster minuman bersoda. Beliau bercerita ayahnya membuat impian ingin mengajak keluarganya ke sebuah hotel mewah di Jakarta dengan sajian minuman bersoda itu. Begitu sederhana, namun apabila sebuah impian terwujudkan, rasanya luar biasa.
Faktanya, saat ini di sekeliling saya masih ada mahasiswa yang tidak tangkas menyebutkan impiannya. Terlebih, beberapa masih belum memiliki impian, atau impiannya terlalu umum. Bahagia dunia akhirat, contohnya.
Memang tak sedikit orang yang langsung merancang impian begitu termotivasi. Namun, bagaimanakah realisasi usaha untuk mengejar impian itu? Hal yang membuat mereka menjadikan impian sebagai kata-kata bualan tak lain adalah: kebiasaan.
Kebiasaan seperti racun yang menyenangkan. Kita tidak bisa mengubah kebiasaan dengan waktu singkat. Perubahannya memerlukan proses yang sangat panjang. Apalagi bagi beberapa orang, mengubah kebiasaan memerlukan tekanan keras.
Contoh dalam konteks kemahasiswaan kebiasaan paling parah mahasiswa adalah menunda tugas. Anehnya mahasiswa bangga bisa mengerjakan tugas di detik-detik menjelang batas akhir. Hal ini disampaikan dalam sebaran gambar yang bertuliskan, "Kami para deadliner berjanji. Berikan kami waktu satu jam, maka akan kami guncang UTS," seloroh mereka.
Lalu setelah melihat gambar itu, saya menjalani pelatihan yang membahas sebuah buku terkenal karya Stephen Covey: 7 Habits of Highly Effective People. Di sana, para mahasiswa ditunjukkan bahwa orang-orang yang berpengaruh akan melakukan kebiasaan nomor tiga: Put first things first. Yang artinya, orang yang memiliki kebiasaan ini akan menaruh waktu istirahat di akhir, bukan di awal layaknya deadliner.
Apakah dengan pelatihan, seminar, dan hal semacam ini berdampak kepada pesertanya? Mungkin iya, tapi tidaklah besar. Hanya beberapa orang saja yang mampu mengambil dampak. Mereka adalah orang-orang yang bersikeras dalam menjawab tantangan masa depan. Mereka adalah orang-orang yang berkomitmen tinggi dan mampu memposisikan diri dalam tekanan untuk mengeluarkan racun yang telah diteguknya bertahun-tahun.
Aryanda Putra
Mahasiswa Jurusan Manajemen Bisnis
Angkatan 2015
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)