Dalam lagu itu pula, Koes Ploes mengatakan tanah Indonesia ini adalah tanah surga. Tempat di mana penduduknya bisa hidup dengan nyaman. Tempat di mana setiap orang bisa tercukupi makannya sehari-hari. Tempat di mana setiap orang peduli satu sama lain. Namun, apakah itu yang saat ini terjadi di Indonesia? Kalau benar tanah yang kita pijaki sejak kita lahir ini adalah tanah surga, bukankah harusnya semua orang yang ada di dalamnya bahagia?
Kenyataannya, janganlah jauh-jauh memandang mereka yang hidup terpelosok dan tidak menyentuh dunia modern. Lihat saja sekeliling kita, lihat saja orang yang hidup di luar tembok rumah kita. Masih banyak dari mereka yang harus duduk menunggui jualannya dari pagi hingga petang. Ada mereka yang harus berkeliling berjalan kaki, di bawah teriknya matahari. Ada mereka yang harus terus-terusan menghibur anak mereka yang kelaparan atau yang tidak bisa pergi ke sekolah. Ada mereka yang terpaksa hidup di lingkungan yang kotor dan bau, karena tidak ada tempat yang cukup layak lainnya.
Sedangkan yang lainnya hidup seenaknya, hanya mengejar kepentingan diri-sendiri, lalu cuek pada lingkungan sekitarnya. Sementara ada orang yang hanya perlu duduk di dalam ruang bertakhta pendingin ruangan, membubuhkan beberapa tanda tangan dan mendapatkan uang. Orang lainnya harus rela pergi pagi pulang pagi untuk mengais rizki. Sementara ada pemuda-pemuda yang bercanda tawa dalam sebuah kedai kopi dengan harga empat puluh ribu rupiah per gelasnya, ada pemuda lain yang mencuri-curi waktu istirahat dengan meneguk kopi dalam plastik seharga dua ribu rupiah.
Sepertinya, keindahan negeri ini sudah pudar dimakan usia. Jika kita analogikan sebagai seorang manusia, usia 70 tahun bukanlah lagi usia muda. Helaian rambut yang memutih, keriput-keriput yang sudah mengisi kulit-kulit di sekujur tubuh, gigi yang tidak lagi lengkap, kaki yang tertatih, otak yang sudah tidak lagi bisa mengingat masa lalu dengan pasti. Mungkin keadaannya sama dengan negeri kita. Tanah-tanah yang dulunya dipenuhi dedaunan hijau, berubah menjadi bangunan abu-abu. Sungai-sungai yang dulunya jernih dan banyak ikannya, kini menjadi sungai-sungai hijau berbau sampah.
Masyarakat terlalu bersandar pada kehadiran pemerintah mereka. Menjadi pemimpin bangsa ini seolah menjadi ‘korban kebakaran’, menjadi orang yang selalu disalah-salahkan dalam segala hal. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat, pemerintah langsung dihakimi tanpa investigasi yang jelas. Jika ada suatu permasalahan, pemerintah kembali dibebankan. Semua orang berlomba-lomba menanggapi dengan kalimat, "Seharusnya pemerintah bisa begini, begitu…," atau "Mereka dipilih kan untuk memimpin negeri ini, bukan untuk korupsi."
Bukanlah hal yang salah mengkritisi pemerintah. Namun, jauh di lubuk hati kita sendiri cobalah kita bercermin diri. Sudahkah kita melakukan sesuatu untuk merubah negeri ini menjadi ‘tanah surga’ yang dielu-elukan seperti sedia kala? Kita, semestinya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan semua orang yang duduk di jajaran parlemen, untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi. Untuk menyejahterakan masyarakatnya, untuk membangun moral dan pendidikan masyarakatnya, untuk melestarikan lingkungannya, untuk membangkitkan ekonominya yang lemah, untuk mengembalikan atau menemukan kembali atlantis yang hilang itu. Atau mungkin Indonesia butuh super hero untuk menolong semua orang yang ada di dalamnya.
Clarisha Melciana
Mahasiswi Jurusan Manajemen Bisnis
Angkatan 2015
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)