Oleh : Dadang ITS |
1,058
|
Source : -
Kita kaum muda selalu diidentikan dengan intelektualitas, idealisme, semangat juang tinggi, masih terbebas dari kepentingan golongan-golongan tertentu dan yang paling utama adalah sebagai agen perubahan Bangsa Indonesia. Agen perubahan zaman ini bukan mengangkat senjata secara langsung melawan para penjjajah, tidak hanya sekedar turun kejalan mengkritisi pemerintahan. Dalam cakupan yang sederhana pun, secara nyata kita dapat berperan sebagai agen perubahan bangsa ini. Bagaimana ?
Sebentar lagi Indonesia akan melangsungkan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), yang serentak akan dilaksanakan 9 Desember mendatang. Nah, disini waktunya kita menjadi agen perubahan. Kita ambil peran untuk memilih calon yang nantinya akan memimpin. Menyuarakan hak suara kita, yang berpengaruh pada nasib bangsa ini esok hari. Seornang pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya, ketika para pemimpin dipilih oleh para idealis, intelek maka akan lahir pemimpin yang ideal untuk lima tahun kedepan.
Permasalahya sekarang adalah, sikap apatis pemuda yang semakin tinggi terhadap negaranya. Arus pemikiran yang terbawa kebarat-baratan, membuat kita tak sempat lagi berpikir untuk masa depan bangsa ini. Kalu kita yang katanya kaum intelek ini saja apatis, bagaimana dengan mereka di luar sana ? masih pantaskah kita disebut sebagai agen perubahan ?
Sikap apatis ini muncul dari kekecewaan terhadap pemerintahan sebelumnya, korupsi mewabah, kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat, janji-jani palsu para calon ketika kampanye, membuat kita tidak puas dengan sistem yang ada. Jadilah kita Golongan Putih (GOLPUT).Memilih untuk tidak memilih. Harus berpikir ulang untuk menjadi Golongan Putih. Bijakkah itu ? tentu tidak.
Sempat bete ketika salah seorang teman, pada saat PEMIRA ITS kemren bertanya, kenapa harus memilih ? gak takut kalau kalau orang yang kita pilih ternyata berbuat zalim ? kita juga kan yang dimintai pertanggung jawaban nantinya ?. Hey tidak ada yang sempurna di nunia ini, kita manusia sangat jauh dari kata sempurna. Ya, nantinya kita juga diminta pertanggung jawaban, tapi dimana kita ketika pemimpin yang zalim itu terpilih ? Dimana kita ketika ia dan orang-orangnya seenaknya mengambil kertas suara kita dan menggunakanya untuk ‘kepentingan’ mereka ? Apa yang sudah kita lakukan ? sudahkah kita menutup jalan mereka untuk terus maju atau kita hanya diam dibalik kekhawatiran yang belum pasti terjadinya. So, No vote no complain.
Sebagai kaum intelek, mahasiswa semestinya dengan bjak dapat memberikan hak suaranya kepada calon yang mempunyai visi misi jelas, yang sesuai ideologi bangsa ini. Sebelum memilih kita harus cari tahu siapa calon yang kita pilih, agar tidak kecewa nantinya dengan pilihan kita. Jangan sampai kita seperti membeli kucing dalam karung, asal pilih saja. Zaman sudah canggih, gadget ditangan dengan sekali sentuhan jari kita sudah bisa mendapatkan informasi tentang siapa dia, apa latar belakangnya, dan visi kedepannya apa. Harus selektif, sehingga untuk periode selanjutnya bangsa ini dapat berbenah.
Jadikan hak suara yang kita miliki sebagai senjata untuk memilih pemimpin yang paling bersih diantara carut marutnya wajah politik bangsa ini. Jadikanlah momentuk lima menit untuk lima tahun sebagai wadah perjuangan mahasiswa mewujudkan perubahan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik lagi.
Meita Afifah
Mahasiswa Lintas Jalur Jurusan Teknik Kimia
Angkatan 2014