Seperti yang kita ketahui pada masa orde baru yaitu pada masa pemerintahan Soeharto kebebasan berpendapat sangatlah dijaga ketat. Yakni yang paling terlihat adalah ketika kita menghina atau menyenggol sedikit saja megenai kinerja presiden. Tak ayal kita akan diasingkan bahkan keberadaan kita akan langsung lenyap.
Padahal apabila kita mengingat-ingat pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan dengan berasaskan pancasila tapi dalam pengaplikasiannya sangat jauh dari pendasaran pancasila. Kita dapat melihat bukti nyatanya yaitu kesulitan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi melalui pers. Saat pemerintahan Presiden Soeharto, banyak media massa cetak yang dilarang terbit seperti Kompas, Tempo, Merdeka, Sinar Harapan, pelita, dan sebagainya. Bahkan keadaan itu diperparah lagi dengan perjanjian paksa yang apabila mengingkarinya maka akan ada perintah penutupan kegiatan bagi media tersebut.
Saat itu sifat pers bisa dikatakan bebas tapi harus berfungsi sebagai pengontrol pemerintah, tidak serasi bila diselaraskan dengan ideologi pancasila. Lalu apa hubungannya dengan kondisi yang ada di masa pemerintahan Jokowi saat ini? Pemaparan mengenai kebebasan berpendapat yang sangat dijaga ketat kini kembali terjadi. Rambu-rambu orde baru mulai timbul dan bangkit. Rambu tersebut terlihat pada presiden Jokowi yang mulai mengusulkan UU mengenai pasal penghinaan terhadap presiden ke DPR.
Pada awalnya memang pasal mengenai penghinaan terhadap presiden ada di dalam KUHP yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kehadiran pasal itu baik pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto digunakan untuk menakut-nakuti mereka yang berani melawan pemerintah yang sedang berkuasa. Namun, pasal tersebut dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan alasan bertentang dengan UUD 1945. Kini, pemerintah kembali ingin menghidupkan pasal tersebut dengan ancaman lima tahun penjara.
Pada kenyataannya, seharusnya apabila pasal mengenai penghinaan presiden benar-benar diterapkan kembali, makan akan mengingkari keputusan negara ini yang merupakan negara hukum, yaitu melanggar tentang kebebasan berpendapat. Penghinaan memang harus dibedakan dengan fitnah. Dilihat dari arti penghinaan adalah merendahkan seseorang, sementara fitnah atau pencemaran nama baik merujuk pada tuduhan atau pengungkapn fakta yang tidak benar. Yang harus ditindak lanjuti adalah fitnahnya bukan penghinaannya. Karena penghinaan merupakan salah satu betuk argumen dari masyarakat dan justru hal tersebut dapat dijadikan kritik yang membangun untuk meninjau kembali kinerja pemerintahan.
Disisi lain kita sebagai pengamat media juga tidak menutup mata bahwasannya diluar sana sangat benyak yang berkicau mengenai pemerintahan Presiden Jokowi. Salah satunya adalah mengatakan bahwa Jokowi memerintah dengan tidak becus dan tolol. Hal tersebut jelas bukan fitnah. Akan tetapi beda halnya bila ada seseorang yang mengeluarkan pendapat bahwa Presiden Jokowi melakukan korupsi yang pada kenyataannya tidak, itu baru fitnah. Sama halnya dengan meme atau gambar yang nyeleneh.
Kesimpulannya, pasal penghinaan presiden tidak perlu dicantumkan kembali layaknya masa orde baru. Karena negara kita adalah negara demokrasi yang membutuhkan masyarakat yang bersedia berbicara mengeluarkan pendapatnya bukan malah diancam atau ditekan dengan pidana yang ada. Apabila dari kalangan masyarakat sendiri sudah takut mengeluarkan pendapat maka yang rugi adalah bangsa Indonesia.
Sifa Rahmania A’la
Mahasiswi Jurusan D3 Teknik Mesin
Angkatan 2015
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)