ITS News

Senin, 02 September 2024
07 Desember 2015, 23:12

HAM, Islam, dan Agenda Liberalisasi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

 Secara konsep dasar, HAM terbagi dalam enam bidang yaitu hak asasi pribadi, politik, hukum, ekonomi, peradilan, dan sosial budaya. Pada implementasinya, hak-hak tersebut meliputi hak kebebasan untuk memeluk agama/kepercayaan yang diyakini, hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan, hak mendapatkan perlakuan yang sama, serta hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.  

Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa "Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa, dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."

Jauh sebelum gagasan mengenai HAM dalam perspektif hari ini dibuat, islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur hak-hak manusia dalam menjalani hidup di dunia ini.

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat," QS. Al-Isra : 58 ini hanya satu dari sekian banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengusung dasar-dasar HAM hari ini dengan pengemasan yang cukup jelas untuk diimplemantasikan di keseharian kita.

Bahkan hak kebebasan beragama sekalipun telah diatur dalam QS. Al-Kafirun, "Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku." islam telah menata etika berkehidupan manusia hingga pada perihal yang paling mendasar seakan sudah mampu menebak bagaimana zaman akan bergejolak. Namun tak bisa dipungkiri, gejolak zaman ini dalam realitanya telah menghasilkan aturan-aturan diluar Al-Qur’an yang dirancang untuk menata kehidupan manusia.

Secara mendasar, nilai-nilai HAM yang diusung hari ini sebagaimana terlampir dalam UU No.39 di Indonesia yang merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, justru membantu harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. HAM sangat mengecam adanya diskriminasi yang dalam islam sendiri dinyatakan sebagai salah satu sikap dzalim dan sangat dilarang oleh Allah.

Dalam UU No.39, disebutkan bahwa "Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya."

Dapat dilihat dari satu aspek ini saja, sesungguhnya aturan-aturan dalam HAM ini mampu mencegah terjadinya konflik maupun penganiayaan. Hingga pada konteks ini, aturan HAM cukup selaras dengan nilai-nilai HAM dalam islam.

Pertanyaannya, bagaimana jika aturan manusia ini bergesekan dengan aturan Allah? Sebagai sampel, mari kita sorot UU No.39 tahun 1999 Pasal 4, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun."

Perihal HAM yang tak jarang menimbulkan perdebatan dalam kehidupan sosial kita adalah hak kebebasan pribadi. Dalam hal ini, hak kebebasan pribadi diluar yang telah disebutkan cakupannya cenderung sangat luas. Keluasan ini menjadikan dilema antara hak kebebasan pribadi, norma sosial, dan norma agama khsususnya Islam.

Contoh sederhananya, ketika seorang saudari muslim menolak berjilbab atas dasar kebebasan pribadi dan ketidakmampuannya menerima aturan wajib dari agamanya sendiri, lalu datang saudara sesama muslim untuk menasehati. Namun jawaban yang muncul justru bentuk penepisan terhadap aturan islam dengan menyebutkan hak kebebasan pribadi.Inilah kondisi dimana seorang individu merasa terganggu area hak kebebasannya ketika diingatkan perihal apapun, yang dalam kondisi ini sampai pada perihal keagamaan.

Padahal dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,".

Secara nyata Allah menganjurkan umat muslim untuk saling mengingatkan terhadap sesama. Bahkan dalam beberapa pandangan, ayat ini ditafsirkan sebagai kewajiban berdakwah, dimana sifatnya sudah wajib.

Pada kasus yang lebih parah, hak kebebasan pribadi dalam HAM ini bisa dijadikan sebagai dalih pembenaran hal-hal yang sebenarnya tidak dapat dibenarkan dari segi aturan islam. Semisal soal legalisasi pernikahan sesama jenis.

Secara nyata sejarah islam telah mencatat bagaimana Allah melaknat kaum Luth, kaum penyuka sesama jenis yang terdokumentasi dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raaf ayat 80-84 sebagai sesuatu yang sangat keji dan wajib dijauhi. Namun fakta hari ini, atas nama HAM, beberapa negara seperti Belanda, Belgia, Spanyol, dan 20 negara lain di dunia telah melegalkan pernikahan sejenis.

Sedangkan pada kasus yang samar-samar, HAM telah berhasil membuat banyak perempuan di dunia merasa terbela hak-hak kesetaraannya dengan laki-laki. Sekumpulan perempuan yang menuntut kesetaraan ini menamakan diri sebagai kaum feminis. Atas nama HAM, kaum feminis menuntut kebebasan bertindak tanpa intervensi lelaki manapun, serta kesetaraan hak dalam segi apapun.

Memang tak dapat dipungkiri, tuntutan-tuntutan ini merupakan efek dari diskriminasi gender yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat dan budaya di dunia sepanjang catatan sejarah manusia. Namun, lagi-lagi kondisi ini sedikit bergesekan dengan nilai-nilai Islam.

Dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari, Turmudzi, dan An-Nasa’i, diterangkan bahwa Islam menentang adanya sosok pemimpin yang datang dari kaum perempuan. Bahkan Surat Ali-Imron ayat 36 menyatakan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan.

Lebih frontal lagi, surat An-Nisaa’ ayat 34 secara langsung membunyikan, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita." Dengan HAM yang mengatasnamakan kebebasan pribadi, aturan Islam tersebut seakan ditiadakan. Sebagai agama yang sempurna, sesungguhnya Islam telah mengatur proporsi HAM sampai pada detail kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, salah satunya dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228.  

Melihat fenomena gesekan-gesekan yang terjadi, HAM bisa jadi tidak secara penuh membawa dampak positif pada kehidupan manusia jika dipandang dari perspektif islam. Kebebasan pribadi yang diusung HAM sangat mungkin mengarah pada liberalisme, sebuah konsep ideologi yang mengusung kebebasan dan persamaan hak sebagai nilai politik yang utama.

Dalam konsep HAM, seakan tersisip agenda liberalisasi yang mengajak seluruh manusia di bumi untuk secara bebas bersuara atas apapun yang ingin disuarakan. Kondisi yang terlalu bebas seperti ini secara logis bisa memberikan konsekuensi berupa ketidakseimbangan roda kehidupan di dunia. Secara perspektif agama Islam, kebebasan ini dapat mengundang laknat Allah jika keadaan aktivitas manusia di bumi semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran Allah.

Lebih dalam lagi, liberalisasi ini bisa mengikis prinsip-prinsip dasar islam dari seorang muslim, mengikis norma-norma sosial yang selama ini dipegang, hingga menyamarkan batasan-batasan aturan agama yang berlaku di masyarakat.

Jika ditarik garis sejarah perkembangan peradaban, dalam agama samawi khususnya, terdapat aturan-aturan yang datang dari Allah untuk dijadikan pedoman bagi manusia dalam menjalani hidup yang dikemas dalam kitab Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.

Hingga pada abad ke-7, telah disempurnakan sebuah ajaran bagi umat manusia, ajaran yang mencakup semua aspek hidup manusia hingga ke detil terkecil, ajaran yang disampaikan melalui perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam rangka menjadikan manusia sebagai khalifah fiil ard. Tercatat baik dalam kitab yang tidak pernah berubah dari sejak diturunkan, kitab Al-Qur’an.

Hingga dalam urusan Hak Asasi Manusia, Al-Qur’an pun telah mengaturnya secara sempurna tanpa perlu penambahan maupun pengurangan. Mulai dari hak hidup yang dipaparkan dalam QS. Al-Maidah ayat 45, hak kehormatan pribadi dalam Surat At-Taubah ayat 6, hak seorang anak dari orang tua yang diatur dalam Al-Baqarah ayat 233, dan masih banyak lagi.

Bahkan lebih manis lagi, islam mengatur hak seorang muslim atas muslim lainnya, seperti hak mengucapkan salam, memenuhi undangan, memberi nasehat, menjenguk dikala sakit, sampai mengantarkan jenazah saudara muslimnya.

Beginilah bagaimana islam sebagai penutup semua ajaran, sebagai agama yang paling sempurna mengemas aturan-aturan kehidupan manusia secara sempurna pula. Kesempurnaan yang memang disiapkan untuk menjadi pedoman hidup, kompas mengarungi waktu selama di dunia, acuan kembali atas perihal apapun dalam hidup ini.

Namun bagaimanapun, bumi ini dihuni oleh lebih dari 7 milyar manusia, terpisahkan oleh batasan 200 negara, dengan kehadiran 4.200 agama/kepercayaan, belasan ideologi, dan berbagai karakteristik hukum yang berbeda-beda. Kondisi sosial-budaya di dunia pun senantiasa dinamis.

Masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda tentu akan memiliki perspektif berbeda pula tehadap konsep HAM. Begitupun dengan Islam. Sebanyak 23 persen dari penduduk dunia yang memeluk Islam sebagai pilihan hidupnya semestinya mampu menyaring perkembangan sosial yang terjadi. Memahami dan mempelajari ajaran islam, menjadikannya prinsip sekaligus filter dalam menjalani kehidupan ini.

Oleh Ilmi Mayuni Bumi
Mahasiswi Teknik Material dan Metalurgi 2013

Berita Terkait