Maya yang bergerak di bidang kerajinan tangan seperti bantal sofa, dekorasi dinding, dan dekorasi bingkai ini mengaku telah memiliki bakat menyulam sejak dirinya duduk di bangku sekolah dasar. "Waktu itu, saya sering diremehkan orang lain karena menyulam identik sebagai hobi nenek-nenek," kenang Maya.
Dari yang semula berupa hobi, keinginan Maya untuk menjadikannya sebagai bisnis mulai muncul ketika dirinya berhadapan dengan mata kuliah technopreneurship. "Awalnya karena kepepet dan akhirnya saya jadikan usaha," ujar perempuan kelahiran Mojokerto tersebut.
Lain lagi dengan Riza yang berkutat sebagai konsultan IT. Awal mula kecintaannya terhadap dunia komputer justru muncul akibat suatu tragedi. "Saya pernah ditipu orang saat mereparasi laptop. Sejak saat itu, saya mulai merasa butuh untuk belajar mengenai seluk beluk laptop," ujar Riza.
Dari situ, Riza mulai mencoba menggunakan ilmu yang ia peroleh untuk sekedar membantu teman yang memiliki masalah dengan laptop mereka. "Setidaknya, saya bisa memberi tahu ke mereka dimana letak permasalahannya agar mereka tidak gampang ditipu orang lain seperti saya dulu," terangnya.
Bekerja di bidang yang nyeleneh dengan apa yang dipelajari sewaktu kuliah sempat memberikan permasalahan tersendiri bagi mereka berdua. Persetujuan dari orang tua adalah salah satunya. Maya merasakan betul bagaimana sang ayah menginginkan dirinya untuk menjadi seorang arsitek.
Diambillah jalan tengah untuk mengatasinya. Maya dan ayahnya membuat semacam perjanjian. "Oke lah saya tetap bekerja di bidang keilmuan sembari berbisnis. Tetapi, kalau bisnis saya berkembang sebelum saya berusia 25 tahun, saya akan fokus membuat usaha," terangnya. Kini, di usianya yang baru menginjak 23 tahun, bisa dibilang Maya berhasil memenangkan perjanjiannya dengan sang ayah.
Sementara itu, Riza mengaku cukup alot untuk meyakinkan kedua orang tuanya kala ia memutuskan untuk berkecimpung di dunia bisnis. Semula, Riza dipaksa untuk bekerja di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengingat sang ayah juga bekerja di instansi serupa.
"Padahal, fisika dasar saya saja dapat D, kalkulus saya malah pernah dapat E," selorohnya. Riza menyadari betul bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, baik itu di bidang akademik maupun non-akademik seperti dirinya.
Riza beranggapan orang tua tidak akan mempan kalau hanya dibuktikan melalui teori semata, perlu berkomunikasi dengan menggunakan data dan fakta. Barulah pada semester tiga, pria asli Surabaya ini memberanikan diri untuk memulai bisnis kecil-kecilan dengan berjualan flashdisk.
"Saya ingin belajar hidup mandiri. Saya bilang ke ibu saya agar menghentikan kiriman uang bulanan. Intinya, ini bukti kalau saya mau berjuang," ujarnya. Waktu itu, makan nasi berlaukkan kerupuk sudah menjadi santapan sehari-hari bagi Riza. Dirinya mengaku beruntung karena memiliki teman-teman yang tidak jarang pula menraktirnya makan.
Enam bulan pertama berlalu, Riza mampu mengirimkan pulsa 10 ribu rupiah kepada sang ibu dari hasil jerih payahnya. "Ibu saya menangis. Bukan karena melihat nominal uangnya, tapi karena melihat ikhtiar saya," ucapnya mantap. Ibarat kata, Riza percaya doa seorang ibu kepada anaknya lebih utama daripada doa seorang nabi.
Keduanya berpesan, untuk bisa menjadi seorang creativepreneur diperlukan suatu keyakinan, keberanian, dan utamakan untuk melakukan apa yang kita suka, bukan mencari hal yang baru. "Kita hanya perlu mengasah apa yang kita suka. Kalau mencari hal yang baru itu terlalu lama untuk memulai," ucap alumnus Jurusan Sistem Informasi ITS angkatan 2008 ini.
"Satu lagi. Minta saran dan doa dari orangtua," celetuk Maya yang diamini oleh Riza. Pasalnya, Riza tahu betul akibat sewaktu dirinya mengabaikan omongan orang tua. Memasuki semester sembilan, Riza berulang kali diingatkan sang ibu untuk segera menyelesaikan skripsi. Karena sibuk berbisnis, peringatan itu pun ia hiraukan.
Dampaknya, Riza mengaku seolah dirinya mendapat kutukan akibat ulahnya tersebut. "Selama tiga bulan, bisnis saya sama sekali tidak memperoleh pesanan. Padahal, saya sudah melakukan promosi di semua sosial media tapi hasilnya nol," ucapnya dengan nada getir. Riza lalu memutuskan untuk fokus menyelesaikan skripsi hingga menginjak semester 12.
Meski kuliahnya molor hingga enam tahun akibat kesibukannya berbisnis, Riza mengaku tidak menyesal karena dirinya memperoleh banyak manfaat dari sana. "Bisnis itu hal yang baik, maka jalankan! urusan hasil itu murni diatur Allah, urusan kita cuma proses," tegasnya.
Riza percaya, asalkan bisnis itu dijalankan dengan tujuan fiddunya (untuk kehidupan di dunia, red), maka hasilnya hanya akan menggunakan segala cara. Sedangkan bisnis yang dibangun dengan tujuan wal akhirah (untuk kehidupan di akhirat, red), hasilnya akan menggunakan cara yang halal. "Yang dipikirkan cuma emboh piye carane (bagaimana pun caranya, red) pokoknya harus laku. Bukan bagaimana caranya untuk meningkatkan kualitas produk," tegasnya.
Dari bisnis, Riza mengaku belajar bagaimana cara membangun hubungan yang baik dengan orang lain hingga memperdalam ilmu keagamaan. "Kuliah selama enam tahun, alhamdulillah ijazah saya bukan untuk melamar kerja, tetapi untuk melamar istri saya," kelakarnya. (fah/man)
Kampus ITS, ITS News – Dedikasi tinggi dalam membumikan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kembali mengantarkan dosen Departemen
Kampus ITS, ITS News – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kian mengukuhkan kiprahnya di bidang teknologi robotika melalui
Kampus ITS, ITS News — Sebagai upaya membuka akses pendidikan yang lebih luas, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) memperkenalkan
Kampus ITS, ITS News — Salah satu lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berhasil membuat inovasi yang luar biasa