Sejak dulu hingga sekarang, umat manusia terus mencari pembaharuan demi menutup celah dari kualitas hidup mereka di masa sebelumnya. Bila Alexander Graham Bell tidak berpikir untuk menciptakan telepon, belum tentu sekarang tidak ada telepon. Pasti akan ada manusia lain yang mencoba untuk mewujudkan gagasan tersebut. Artinya, memang sudah menjadi fitrah manusia untuk berinovasi.
Inovasi memang bukan melulu tentang teknologi. Tapi, menarik untuk mengaji bahasan inovasi teknologi terkait pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar. Juga kehidupan manusia yang mana seakan tidak dapat lepas daripadanya.
Sebagai contoh yang paling dekat adalah smartphone. Batangan logam tipis itu terbukti telah mendominasi hidup kita. Namun, alih-alih membuat hidup semakin produktif, terkadang gadget yang satu ini justru membuat kita terlena. Seperti dikutip dari inet.detik.com bahwa kebanyakan pengguna smartphone di usia remaja hanya menggunakannya untuk alasan entertainment. Banyak dari mereka yang tidak melihat lebih jauh mengenai batasan-batasan penggunaan aplikasi tersebut dan dampak yang ditimbulkannya, baik positif maupun negatif.
Tentang smartphone, saya teringat dengan pengalaman pribadi saya. Pertama kali menggunakan jasa batangan logam ini ketika memasuki dunia kampus. Dikatakan teman saya bahwa arus informasi akan sukar kita terima bila tidak memiliki batangan yang satu ini.
Aneh tapi nyata, teman kuliah yang satu atap dengan saya sekarang ada yang masih tidak menggunakan smartphone. Dan, dia tetap enjoy saja dalam menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa. Entah itu bersumber dari teman atau apa, tapi arus informasi juga tetap rutin mampir ke ruang dengarnya.
Pernah juga saat itu pergi ke sebuah toko bersama teman yang lain. Saat itu, antrian lumayan panjang, hampir dua jam kita menunggu. Poinnya, saat itu saya lupa tidak membawa smartphone. Tahukah engkau apa yang ada di benak saya sembari mengantri?
Kanan, kiri, depan, belakang, dan bahkan teman saya sendiri sibuk dengan smartphone mereka. Pun tidak menutup kemungkinan saya akan melakukan hal serupa andai smartphone saya tidak tertinggal. Miris memang. Meski tidak bisa disalahkan, tapi hal ini cukup membuat hati prihatin.
Lebih dari sekedar dampak sosial, perkembangan teknologi yang tidak ditangani dengan baik akan mengancam kehidupan manusia. Memang manusia yang menciptakan teknologi, namun manusia jugalah yang terancam untuk diperbudak oleh teknologi.
Meski sebagaian masyarakat terlena dengan sebagian teknologi, beberapa dimensi justru mati-matian menolak upaya perkembangan teknologi. Rumbai dari pemikiran itu, jadilah sebagian sosok anti dengan perkembangan teknologi. Segala macam upaya mengalami penolakan dari masyarakat dengan alasan kelestarian lingkungan.
Penolakan bukanlah masalah apabila teknologi yang dimaksud memang mengancam kelestarian lingkungan. Bahkan, upaya penolakan harus didukung mati-matian agar teknologi ini tidak terealisasi. Namun, apabila penolakan itu hanya berasal dari mitos atau pancingan sebagian oknum bagaimana?
Nyatanya, untuk mengatakan suatu teknologi atau industri harus didukung atau ditolak tidaklah mudah. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Kasus nyata terjadi pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang dibangun besar-besaran di negeri matahari terbit, Jepang. Setelah meledaknya PLTN di kota fukushima akibat bencana tsunami 2011 silam, pemerintah Jepang menonaktifkan sebanyak 48 PLTN di negaranya.
Meski demikian, empat tahun setelah terjadinya bencana, pihak birokrasi justru memutar haluan. Mereka berniat untuk mengaktifkan kembali sejumlah PLTN yang ada demi mencukupi kebutuhannya dalam hal energi.
Di satu sisi pemerintah memang bersalah karena dianggap tidak mau belajar dari pengalaman. Namun, tidak sepenuhnya salah, karena krisis energi benar-benar dirasakan Jepang secara keras apabila PLTN tidak kembali diaktifkan.
Tuntutan dari aktivis lingkungan dalam hal penolakan ini juga tidak main-main. Menurut mereka, terus menerus mengimpor bahan bakar fosil adalah lebih baik bagi jepang daripada kembali menghidupkan PLTN miliknya. Menurutnya, biaya perawatan untuk industri PLTN jauh lebih mahal daripada biaya impor fosil.
Bahkan, upaya penolakan itu mendapat simpati dari masyarakat Indonesia. Ribuan warga berunjuk rasa menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (11/6). Aksi tersebut dikenal sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Jepang yang masih berjuang menyelamatkan diri dari pengaruh radiasi nuklir menyusul ledakan reaktor PLTN Fukushima.
Bila masyarakat menolak karena khawatir, ada pula oknum yang menolak karena tidak adanya uang pelicin. Memang miris mengetahui bahwa sepak terjang rasuah kian populer pada beberapa instansi di negeri bebek tercinta.
Terkadang, kita melihat bahwa lolos tidaknya suatu industri untuk direalisasikan bukanlah bergantung pada kecil besarnya risiko terhadap kelestarian alam. Seakan lebih kepada kecil besarnya uang pelicin yang diterima oknum negeri bebek.
Wacana seperti mobil listrik yang tidak lolos uji emisi tentu menjadi hal konyol yang menjadi bahan tertawaan orang banyak. Belum lagi perakit TV yang disebut ilegal karena tanpa ijazah. Serta puluhan teknologi membanggakan yang terpaksa gulung tikar karena alasan konyol.
Beralih dari masalah rasuah, mari kembali kepada kajian teknologi, manusia, dan alam. Mari sejenak merenung, apakah alam akan lebih baik seandainya manusia berhenti untuk mengembangkan teknologi? Tentu tidak bukan? Bisa jadi justru manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhannya karena tidak ada teknologi yang mumpuni untuk mengolahnya.
Lagi pula alam ini memang ditujukan untuk dimanfaatkan dengan segala cara yang halal. Jadi, mengembangkan teknologi untuk mengolah alam sah-sah saja asalkan tidak menghalalkan segala cara. Pada dasarnya, semua tergantung pada bagaimana kebijakan manusia dalam mengelola teknologi tanpa merusak alam.
Poinnya, mari berhenti berpikir bahwa teknologi yang manusia ciptakan cenderung membawa dampak negatif bagi kehidupan sosial dan alam sekitar. Memang ada risiko yang mengikuti dalam setiap pengembangan teknologi. Namun, bukan berarti dengan adanya risiko maka kita harus berhenti mengembangkannya. Justru kita harus terus mengembangkannya agar risiko yang ada kian minimalis.
Akhirnya, tidak usah jauh-jauh memikirkan masalah nuklir atau pun kong kali kong dalam masalah perijinan industri besar. Marilah kita turut mengambil peran melestarikan lingkungan mulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan kita.
Seperti membuang sampah pada tempatnya, membawa tas kosong sebagai pengganti kantong plastik sekali pakai hingga membawa botol minum isi ulang untuk mengurangi pemakaian botol sekali pakai. Menghemat konsumsi tisu juga merupakan langkah strategis untuk mengurangi kayu yang diblender menjadi pembersih ingus.
Apabila anda sebagai tenaga pendidik, upaya kecil layaknya menganjurkan mahasiswa anda untuk membuat laporan tanpa jilid dan mika secara akumulatif akan sangat membantu mengurangi konsumsi plastik. Kebiasaan untuk mencetak laporan dengan format bolak-balik atau menggunakan kertas bekas juga mengambil peran dalam menghemat jumlah pohon yang ditebang setiap harinya.
Rifqi Nur Mukhammad
Mahasiswa Jurusan Teknik Industri
Angkatan 2015
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)