ITS News

Kamis, 14 November 2024
21 April 2016, 13:04

Antara Emansipasi dan Hilangnya Sebuah Kodrat

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi diartikan sebagai pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jika bicara tentang emansipasi, RA Kartini menjadi sosok yang sangat melekat di balik kata tersebut.

Dalam pengertiannya, Kartini memaknai emansipasi dengan wanita yang mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan seluas-luasnya dan diberi kesempatan untuk mengaplikasikan keilmuannya. Juga agar wanita tidak lagi dipandang sebelah mata akan kecerdasannya. Namun, perlu digarisbawahi bahwa tidak ada pernyataan tentang persamaan seluruhnya antara hak wanita dengan pria.

Sekarang, emansipasi di-elu-elu-kan mengingat saat ini adalah zaman terang menurut definisi RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Berkedok emansipasi, perempuan kini menyuarakan tentang hak kebebasan seluruhnya. Memprotes habis-habisan dengan kekerasan mengenai haknya, emansipasi, katanya.

Berlenggak-lenggok menjual paras dan keindahan tubuh, kebebasan berekspresi, katanya. Atau protes dengan menghujat dan mencela habis-habisan mengenai suatu permasalahan, kebebasan berpendapat, katanya. Atau bahkan bekerja hampir 20 jam sehari dan menitipkan keluarganya pada jasa penitipan, biar mandiri finansial, katanya.

"Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan menyerang pengertian emansipasi yang ada seperti sekarang ini. Kartini akan menyerang kontes ratu-ratuan yang mengumbar aurat, Kartini akan menyerang keinginan perempuan untuk menjadi seperti pria, yang sebenarnya berangkat dari perasaan rendah diri dan pengakuan jika pria lebih unggul, sebab menurut Kartini, perempuan dan laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing yang unik, sebab itu mereka memerlukan satu dengan yang lainnya, saling melengkapi," -era muslim.

Belakangan, terjadi banyak sekali fenomena mengatasnamakan emansipasi. Beberapa perempuan sekarang sangat gigih memperjuangkan hak-haknya, lebih lagi perkara hak keperempuanannya. Berwawasan luas tentang kehidupan, namun tidak untuk keluarga. Sistem Gila Kerja dan Gila Karir, mulai merambah pada sisi kehidupan perempuan kita.

Jasa penitipan anak sangat marak belakangan, juga jasa menjaga anak. Keluarga bukan lagi sebagai media pembelajaran awal bagi seorang anak ataupun anggota lain, namun beralih fungsi sebagai status semata. Beberapa kasus bunuh diri seorang anak karena merasa kesepian pun belakangan marak terjadi.

Juga, banyak kaum suami yang kini tak lagi menjadikan rumah atau keluarga sebagai peristirahatan atau memaknai kata pulang. "Saya lebih suka makan di luar daripada di rumah, istri saya tidak bisa memasak dan terlalu sibuk akan pekerjaannya," merupakan salah satu jeritan kaum suami yang tak lagi nyaman berada di rumah.

Akibatnya? Beragam. Kasus perceraian dan tingkat kriminalitas anak-anak korban broken home meroket dalam 10 tahun terakhir. Makna perempuanku mulai sirna, berganti dengan nama dan deretan jabatan yang mentereng. Tak hanya itu, kehidupan bebas dan perselingkuhan pun marak terjadi karena sudah tidak adanya batas antara laki-laki dan perempuan.

Beberapa fenomena juga terjadi pada perempuan muda kini. Perempuan-perempuan kita dengan gigihnya mengaplikasikan keilmuan yang ditekuninya hingga sistem Gila Kerja dan Gila Karir tercipta. Kemudian perempuan-perempuan ini tidak lagi menginginkan adanya suatu hubungan pernikahan dan memunculkan beberapa pemikiran-pemikiran naif seperti takut gagal menjalin hubungan, atau anti terhadap lawan jenis untuk menjalin hubungan namun sangat bebas batasnya dalam berteman.

Tak ada masalah mengenai pengaplikasian atau sistem Gila Kerja-nya. Namun, melupakan kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari yang membuat kata emansipasi menjadi miris terdengar. Oleh karenanya, yuk perempuan-perempuan Indonesia membangun kembali opini yang telah dicetus oleh Kartini kita. Bahwa perempuan itu hebat dalam segala hal, keluarga dan pekerjaan. Bahwa perempuan itu rumah bagi keluarganya, bahwa perempuan itu tahu batas antara hak dan kewajibannya. 


"Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata aku tiada dapat! melenyapkan rasa berani. Kalimat aku mau! membuat kita muda mendaki puncak gunung."-RA Kartini

Ottidilia Nur Laily
Mahasiswa Desain Produk Industri 2013

Berita Terkait