ITS News

Kamis, 14 November 2024
24 April 2016, 22:04

Salah Siapa Wanita Memberontak?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Wanita yang hidup di jaman sekarang adalah wanita yang beruntung. Kita bebas menyulam gelar sepanjang mungkin, bebas memilih jadi petani hingga presiden, bebas memilih wakil rakyat, atau bahkan tidak memilih.Namun apakah nasib wanita selalu begitu?

Pada tahun 1281, terdapat konferensi di Perancis yang membahas apakah wanita adalah manusia atau bukan. Di India, wanita dilarang duduk di kursi seperti suaminya. Bahkan ketika Islam telah menyebar di negeri kita dan di Kitab-nya telah tertulis jika wanita dan pria berderajat sama, budaya patriark (laki-laki lebih superior dari wanita) masih subur mengikat para wanita yang ingin melihat dunia yang lebih besar dari dapur, sumur dan kasur.

Jika memang derajat pria dan wanita adalah sama, tidak akan ada Virginia Woolf yang mati-matian menulis kesetaraan lewat bukunya. Tidak ada Emily Davidson yang harus dipenjara berkali-kali karena menganggap wanita dan pria harusnya punya hak suara yang sama. Jika memang derajat wanita dan pria dianggap sama, Kartini tidak akan pernah menulis surat-surat kepada temannya di Belanda mengenai emansipasi wanita.

Kenyataannya, derajat wanita dan pria memang tidak sama. Kita sendiri yang berkata seperti itu. Tatanan sosial yang dibuat manusia telah membuat konvensi mengenai hal tersebut. Untuk itulah saya akan sangat berhati-hati bila berbicara mengenai kodrat. Karena bisa jadi apa yang kita anggap kodrat hanyalah sebuah konvensi dari tatanan sosial.

Kesepakatan tidak tertulis tentang wanita yang paling sering saya dengar adalah wanita harus lemah lembut. Hal lainnya adalah larangan bagi wanita untuk terlalu mandiri, wanita harus bergantung pada pria,  dan banyak hal lain yang anda sudah pasti mendengarnya.

Bahkan konvensi tersebut tergambar dari citra RA Kartini yang tampil di lukisan yang dipajang di sekolah-sekolah dan film-film tentang Kartini. Dimana Kartini ditampilkan sebagai sosok yang keibuan dan kalem. Menurut saya, sangat ironis bila kita memperingati hari Kartini dengan memakai kebaya dan tampil sefeminin mungkin. Karena dalam masa hidupnya, Kartini berusaha menggebrak semua opini tersebut. Kenyataannya, Kartini adalah feminis pertama di Indonesia.

Sayangnya kata feminis atau emansipasi adalah dua kata yang  takut diucapkan oleh para perempuan. Bagaimana tidak, feminisme sering kali dianggap identik dengan pemberontakan, kebencian kepada pria hingga tidak religius. Siapa wanita yang suka dianggap seperti itu.

Emansipasi wanita pada dasarnya adalah gerakan untuk melepaskan diri dari tatanan sosial yang saya sebut di atas. Tatanan sosial yang dulu membelenggu wanita untuk cerdas dan berkembang. Jika ada seorang wanita yang berkata dia menjunjung emansipasi dan mengabaikan keluarganya, yang salah bukan emansipasi wanitanya, tapi pelakunya.

Banyak juga opini yang berkata jika wanita yang buka-bukaan, hingga kontes kecantikan yang mengekspos fisik wanita adalah efek buruk dari emansipasi wanita. Menurut saya itu pendapat yang salah kaprah.

Kontes atau komersial yang mengekspos fisik wanita justru adalah musuh seorang feminis. Hingga saat ini, dunia hiburan hingga komersial masih sering mengeksploitasi wanita. Ini merupakan bukti bahwa budaya patriarki sejak jaman Romawi dan Yunani yang menjadikan wanita sebagai obyek seksual masih kental di  kehidupan kita.

Lebih parah karena banyak orang yang memanfaatkan salah kaprah ini untuk menyerang para feminis. Jadilah terbentuk opini bahwa semua feminis pasti membenci laki-laki dan mencoba lari dari kodratnya. Yang saya rasa semua orang perlu pahami, feminisme membenci tatanan sosial yang menjadikan wanita sebagai penghuni kasta lebih rendah di hierarki sosial, bukan laki-laki.

Mungkin sekarang tatanan sosial sudah melonggarkan belenggunya pada wanita. Namun belenggu itu masih terasa. Jika ada yang salah dengan keluarga, yang disalahkan akan langsung wanita. Hal tersebut karena tatanan sosial berkata anak adalah tanggung jawab wanita. Setahu saya, anak adalah tanggung jawab baik ayah dan ibu, bukan ibu-nya saja.

Bahkan saya sering menjumpai wanita yang takut untuk mengutarakan opininya, hanya karena takut dianggap terlalu pintar oleh laki-laki. Hal ini juga menunjukkan kalau korban tatanan sosial bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan.

Opini publik tentang idealnya wanita selama ini sering membuat berbagai tipe perempuan takut untuk menunjukkan jati dirinya. Seorang wanita yang cerdas malah ditakuti laki-laki. Para wanita merasa harus jadi seseorang yang rapuh dan lembut dan penurut seperti tipe wanita ideal tatanan sosial kita. Bahayanya, hal ini juga membuat wanita sering kali berpikir kekerasan baik fisik maupun psikologis juga merupakan kodratnya.

Untuk itulah sebagai masyarakat modern, kita perlu bercermin kembali kepada sejarah dan bertanya, mana yang merupakan kodrat dan mana yang hanya tatanan sosial. Saya percaya bahwa laki-laki tidak lebih baik dari wanita, begitu pula sebaliknya. Pria dan wanita adalah partner dalam membangun peradaban. Untuk itulah masing-masing perlu saling menghormati dan bekerjasama.

Saktia Golda S
Mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual Angkatan
2013

http://saktiagoldas-liskrafb.blogspot.co.id/

Berita Terkait