Dari pengalaman yang dimiliki, Pemerintahan Jokowi sangat optimis bisa memberantas terorisme. Inilah yang beliau sampaikan pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AS-ASEAN di Sunnylands, California, AS. Indonesia dianggap memiliki peran penting dan pengalaman yang cukup dalam menangani terorisme. Sehingga dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi mendapatkan kehormatan menjadi pembicara pertama dalam sesi mengenai counter-terrorism(Antaranews.com, 18/2/2016).
Keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menangani terorisme bisa dilihat dari beberapa program yang telah dirancang bahkan telah berjalan. Lembaga-lembaga pelaksana counter-terrorism diantaranya Densus 88 dan BNPT. Menurut penuturan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah menyiapkan alokasi dana senilai Rp 1,9 triliun untuk Densus 88 antiteror Polri.
Dana sebesar itu, kata Luhut untuk memperkuat Densus 88 mulai dari peremajaan alat persenjataan, peralatan pendukung, penambahan gaji, pelatihan hingga fasilitas asrama untuk 400 personel Densus 88. Dana itu akan dialokasikan pada APBN Perubahan tahun ini. (Radarpena.com, 19/2/2016).
Kita perlu memperjelas definisi terorisme yang menjadi sasaran penangkapan Densus 88 maupun BNPT. Menurut ketentuan hukum Indonesia, aksi terorisme dikenal dengan istilah Tindak Pidana Terorisme (Asshiddiqie, 2003). Indonesia memasukkan terorisme sebagai tindak pidana, sehingga cara penanggulangannya pun menggunakan hukum pidana.
Sebagaimana tertuang dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002. Kemudian diperkuat menjadiUndang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 15 tahun 2003. Judul Perpu atau Undang-Undang tersebut adalah Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsure pidana sesuai dengan ketentuan Perpu. Perbuatan tersebut termasuk yang sudah dilakukan ataupun yang akan dilakukan. Dua hal ini termaktub dalam pasal 6 danpasal 7 (Perpu, 2002).
Terkait dengan unsur-unsur tindak pidana terorisme, ada perbedaan antara pasal 6 dan 7. Pasal 6 menyatakan;
“Pelaku tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat missal. Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasionalâ€.
Sementara pasal 7 menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau tindakan ancaman kekerasan yang dimaksudkan untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara luas atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidupâ€.
Dari pasal yang ada, yang tergolong teroris adalah mereka yang sudah jelas terbukti melaksanakan tindakan kekerasan, baik berupa terror ataupun secara fisik. Pertanyaannya, apakah selama ini Densus 88 anti terror sudah melaksanakan tugasnya dengan tepat?
Pasti masih hangat dalam ingatan masyarakat Indonesia tentang tewasnya terduga teroris siyono. Laki-laki kerempeng asal Desa Pogung, Cawas, Klaten, Jawa Tengah itu harus meregang nyawa di tangan Densus 88, sebuah lembaga yang katanya sangat professional menangani terorisme.
Masih dalam pakaian sholat, Siyono dibawa oleh Densus 88 entah kemana. Tahu-tahu keluarganya dihubungi, diajak ke Jakarta dan diberitahu kalau Siyono telah meninggal. Awalnya pihak kepolisian berdalih Siyono meninggal karena kelelahan akibat perkelahian dalam mobil.
Namun alasan polisi malah menimbulan kejanggalan, bagaimana mungkin tahanan bisa melawan dalam kondisi tangan diborgol, mata ditutup? Lalu kepolisian membuat alasan lain yakni kepala Siyono terbentur sudut mobil karena berkelahi.
Penyebab kematian Siyono terungkap setelah diautopsi. Tim Forensik dari PP Muhammadiyah menduga kuat Siyono disiksa sehingga mengakibatkan sebagian tulang iganya patah dan menembus jantungnya. Terlepas apakah Siyono teroris atau bukan, karena memang hingga meninggal dia hanya berstatus terduga teroris karena diduga menerima senjat aapi, tindakan Densus 88 itu jelas tidak pada tempatnya. Tidak ada undang-undang di Negara ini yang memberikan kewenangan untuk menyiksa seseorang agar mengakui perbuatannya.
Tindakan Densus 88 bukan hanya menimpa Siyono. Banyak korban lain tewas di tangannya. Meski pihak Densus 88 maupun BNPT mengakui bahwa itu hanyalah kesalahan kecil dari sebuah operasi. Apalagi Komnas HAM mencatat ada 121 orang yang tewas di tangan Densus 88 di luar pengadilan.
Apakah dengan alasan melawan terorisme yang membahayakan NKRI, kita membiarkan tindakan brutal Densus 88. Jika ditelisik, pemberantasan terorisme oleh Densus 88 bukan domain Indonesia asli. Ini adalah agenda yang dirancang oleh Amerika Serikat pasca tragedy WTC 2001. Sasarannya pun jelas mengarah pada islam.
Makanya, dalam penanganan terorisme selalu ada paradigma yang ditanamkan kepada para ‘pemberantas’ teroris bahwa yang namanya teroris selalu dikaitkan dengan islam. Akhirnya terjadi generalisasi kelompok teroris dengan islam dan stigmasisasi negatif umat islam.
Bukti yang selalu ada saat penggrebekan teroris adalah Al-Qur’an, bendera dengan lafadz syahadat, dan pelaku beragama islam. Ini menunjukkan bahwa penyebab munculnya terorisme adalah islam, lebih khususnya paham islam radikal. Yakni kelompok yang menginginkan penerapan islam sebagai sebuah sistem, atau disebut Khilafah. Makanya proyek pemberantasan terorisme diubah dengan nama deradikalisasi. Proyek ini akan dijaga oleh Amerika, karena islam memiliki potensi menggeser posisinya sebagai negara adidaya.
Indonesia dengan penduduk muslim terbesar seharusnya merasa tersinggung dan marah dengan agenda deradikalisasi. Begitupula dengan apa yang dilakukan Densus 88. Islam bukan agama yang mengancam Negara. Nyawa seorang manusia sangat berharga dalam pandangan islam. Haram menghilangkan nyawa seseorang yang tidak bersalah.Apa yang telah dilakukan Densus 88 tidak akan pernah memberantas terorisme. Malah akan muncul teroris baru karena dendam dan sakit hati karena kebrutalannya.
Walhasil, negeri ini perlu punya sikap. Hentikan kekerasan pada rakyat. Jaga jiwa dan kehormatan umat islam. Insya Allah dengan aturan dari Allah SWT, Indonesia akan menjadi Negara yang aman dan terhindar dari cengkeraman asing.
Mailatifatul Farida, S.Si
Alumni ITS
Jurusan Kimia FMIPA