Oleh : Dadang ITS |
796
|
Source : -
Bagi generasi 90’an, hal-hal yang seru untuk dilakukan ketika pulang sekolah adalah bermain bersama teman-teman. Bukan video game, PES, ataupun game online. Tanpa handphone, ipad, laptop, maupun gadget-gadget lainnya.
Mungkin sebagian dari kita dulu dengan sangat percaya diri mengimajinasikan remote televisi sebagai mic untuk karaoke, sapu sebagai gitar, dan baskom sebagai drum. Mungkin juga bagi perempuan lebih asyik memetik daun, berbagai bunga warna-warni, dan pasir untuk masak-masakan. Atau bermain lompat tali, petak umpet, gobak sodor, dakon, kelereng? Entahlah. Mungkin sederet permainan itu kini sudah menyejarah.
Mungkin juga kita akrab dengan karakter Telettubies, Twinies, Dragonball, Maruko-chan, Captain Tsubatsa, P-Man, Ninja Hatori, si Unyil, Casper, Tazmania, Donald Bebek, Mickey Mouse, hingga Tom and Jerry. Berbagai program televisi tersebut dulu pernah menjadi favorit.
Yang bahkan kita tak rela orang tua kita merebut remote untuk menonton berita. Tayangan kartun dan animasi yang membuat kita terburu-buru menanti bel pulang sekolah. Dan tayangan yang menyemangati kita untuk bangun pagi di hari libur tersebut kini terlah tergeser oleh sinema-sinema romansa.
Generasi muda krisis moral katanya. Generasi muda tak berpendidikan katanya. Generasi muda anti sosial katanya. Sungguh lucu, padahal tayangan televisi saja tak mampu difilter oleh pemerintah. Jika hal-hal penggerus moral semacam itu dijadikan panutan, apa kabar Indonesia 20 tahun ke depan?
Media telah bertransformasi begitu pesat. Seakan tak lagi pro dengan pendidikan generasi muda. Biar mengikuti arus perkembangan zaman kah? Supaya anak-anak tidak dibodohi oleh tayangan kartun kah? Lalu menggantikannya dengan program-program yang membatasi imajinasi mereka? Ataupun tayangan-tayangan yang memaksa mereka ‘dewasa’ sebelum waktunya? Mana yang lebih bodoh?
Jangan heran bila banyak anak SD sudah mengenal pacaran, lebih dari 50 persen pelajar sudah tak lagi perawan, narkoba dan minuman keras menjadi kebutuhan, gaya hidup hedonisme menjadi panutan, clubbing dan dunia malam menjadi bagian dari kehidupan. Itulah beberapa hasil didikan media yang mereka implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu siapa yang salah?
Kami rindu tontonan yang sarat edukasi untuk kami konsumsi. Tontonan yang tak mengajarkan pembodohan publik pada kami yang masih dini. Tontonan yang selalu memberi kami ruang dan inspirasi untuk berimajinasi. Tontonan yang tak ‘mendewasakan’ kami sebelum waktunya. Kembalikan generasi muda pada dunia dimana mereka seharusnya berada.
Riris Septi Arimbi
Jurusan Diploma Sipil
Angkatan 2014
ririsarimbi.blogspot.com