ITS News

Kamis, 14 November 2024
03 Mei 2016, 11:05

Gap ini Salah Siapa? PENDIDIKAN?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Berhubungan dengan satu hari setelah satu Mei, Indonesia juga memiliki peringatan yang tak kalah penting bagi suatu bidang fundamental penyokong pilar di setiap negeri, pendidikan. Senin (2/5) tepatnya, bertepatan dengan hari di mana Ki Hadjar Dewantara terlahir ke dunia. Orang yang namanya besar dengan Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani itu menjadi perlambang peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Lalu apa kaitannya Mayday dengan dua Mei?

Bukan koneksi secara langsung yang akan saya bahas di sini, melainkan hubungan tak langsung yang menjadi rantai domino dalam membangun peradaban bangsa ini.

Tak jarang orang menganggap bahwa suatu pekerjaan adalah segala-galanya, dengan cara merendahkan pekerjaan yang lain. Sering juga orang salah menganggap bahwa suatu posisi adalah lebih keren daripada posisi yang lain, tanpa mempertimbangkan bagaimana peran dari masing posisi tersebut.

Sama, seperti apa yang terjadi pada buruh (eh, selanjutnya akan saya sebut pekerja saja ya) di negeri ini. Harap bersabar jika Anda semua para pembaca gelisah karena saya tidak segera membahas hari pendidikan, karena memang tautannya akan ada setelah saya selesai dengan urusan perburuhan dari sudut pandang saya.

Terkadang saya tak habis pikir dengan para pekerja di negeri ini. Banyak dari mereka yang seharusnya bangga dengan posisi yang mereka sandang sekarang.

Karena tanpa pekerja, sang pemilik modal tak berdaya apa-apa. Sang pemegang saham dan pemilik kebijakan pekerjaan tak bisa berkutik tanpa mereka, pekerja.

Orang-orang yang menjadi poros penggerak perekonomian suatu negara lebih sering mengerdilkan posisi mereka sendiri dengan menganggap dan mengotakkan diri mereka pada level rendahan dan terkesampingkan.

Berbeda dengan sang pemilik modal, atau yang dalam hal ini saya sebut si pemberi kerja. Mereka justru merasa super power dengan apa yang mereka miliki, apa yang mereka kumpulkan, aset-aset perusahaan bernilai miliaran bahkan triliunan, dan seakan lupa dengan siapa yang menyokong bisnis mereka, ya, sekali lagi para pekerja.

Ini baru dua ulasan tentang dua posisi berbeda yang saling berhubungan, sudah nampak bukan bagaimana ketidak-sinkronan-nya? Ya, nampak jelas, bahkan tanpa ada tulisan ini pun khalayak juga sudah paham posisinya.

Begitulah anggapan masyarakat, tak hanya Indonesia, saya kira masyarakat Internasional yang katanya sudah menerapkan keadilan dan hak asasi manusia di atas segala-galanya pun masih resah dan gundah dengan gap semacam itu.

Tahukah Anda? Termasuk menunjuk ke diri saya sendiri juga kok, tenang saja. Bahwa ketidaksinkronan semacam itu timbul karena ada kesalahan mendasar yang tertanam sejak kecil dari diri kita. Mungkin dulu semasa kecil sering kita melihat, atau justru malah mengalami, suatu percakapan di mana seorang ibu mengancam anaknya yang tak mau belajar membaca/berhitung dengan menunjuk-nunjuk seseorang dengan pekerjaan yang menurut orang tua kita tak layak sebagai contoh bahwa jika gagal dan tak pandai akan menjadi seperti mereka.

Itulah mindset awal timbulnya suatu anggapan salah kaprah tentang gap si kaya dan si miskin, si pekerja dan si pemberi kerja, dan sebagainya. Disadari atau tidak, masalah ini menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan kita.

Kok orang tua kita, wong guru saja tak jarang menggunakan metode yang sama dalam mendidik murid-muridnya. Katanya mengajarkan kesetaraan dan penghormatan kepada sesama, toh tak jarang juga meski konteksnya dalam bercanda para pendidik berujar tentang perbandingan suatu posisi pekerjaan dengan posisi lainnya dengan merendahkan salah satunya.

Tak perlu lah saya sebut konkretnya seperti apa, bahkan mungkin pembaca sudah banyak yang paham bagaimana teknis peristiwanya.

Ya, di situlah missing link-nya. Adanya gap antarposisi menyebabkan carut marutnya negeri ini. Dan tanpa disadari ternyata hal itu bermula dari fundamental utama dari suatu peradaban, pendidikan.

Andai sejak awal yang diajarkan pada kita adalah mindset tentang bagaimana pendidikan bukan berguna untuk mengejar posisi dan materi semata, serta bagaimana manusia harus bertahan hidup di masyarakat dengan peran masing-masing yang mereka miliki berdasarkan kapasitas dan kapabilitas mereka, mungkin generasi saat ini bisa lebih pandai bersikap dan menyikapi layaknya sang inisiator Ing Ngarsa sung Tuladha (yang di depan memberikan contoh dan teladan), Ing Madya Mangun Karsa (yang di tengah memberi semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan daya kekuatan), Ki Hadjar Dewantara.

Dari tiga semboyan tersebut saja telah nampak jelas, bahwa tak perlu ada pengotakan peran di masyarakat. Karena semua posisi memiliki peran. Tak harus merendahkan satu sama lain ataupun merasa direndahkan, masing-masing dari kita adalah manusia pilihan yang harus menjalankan peran masing-masing. Karena memang seperti itulah utopia dari kehidupan bermasyarakat yang sempurna.

Selamat Hari Buruh Internasional, yang mari kita maknai bersama dengan semangat Hari Pendidikan Nasional.

Rahmandhika Firdauzha Hary Hernandha

Mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS Angkatan 2012 
http://tanpa-inspirasi.blogspot.co.id/2016/05/gap-ini-salah-siapa-pendidikan.html

Berita Terkait