ITS News

Senin, 02 September 2024
19 Mei 2016, 01:05

Kampus Itu Tempat Berjuang, Bukan Cari Nyaman

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tidak dipungkiri, kehidupan di ITS sangat kontras dibandingkan kampus-kampus pada umumnya. Tak sedikit kawan saya dari universitas lain yang heran dengan budaya di sini. "Ha? Ayamene sek ndek kampus? Rapat macem arek BEM ae. Nugas opo kok kayake akeh banget? Nginep sisan poo (ha? Jam segini masih di kampus? Rapat macam anak BEM saja. Mengerjakan tugas apa, sepertinya banyak sekali? Kok tidak sekalian menginap di kampus)," celetuk sebal seorang teman yang merantau di ibu kota.

Belum lagi teguran bapak kos saat menyapa saya tadi pagi. "Mbak, kok sering pulang malam?". Saya jawab dengan kejujuran hati. "Ada rapat, Pak. Semacam pengenalan himpunan dari kakak tingkat ke mahasiswa angkatan 2015,". Lalu dengan wajah menggoda, beliau mengalihkan pembicaraan. "Kok nggak pernah ngajak tamu cowok, mbak?". Saya timpali dengan senyum. Boro-boro, Pak.

Selepas pulang malam (dini hari, tepatnya), sering saya melamun akan berbuah apa segala keletihan ini, yang bahkan belum apa-apa jika melihat kebiasaan banyak senior yang luar biasa sibuknya. Tulisan saya tidak membahas hal-hal idealis. Bukan. Saya mencoba berbicara rasional karena belum saatnya saya membahas hal yang terlalu tinggi. Dan bukan bertujuan mengeluh, lebih sebagai sarana instropeksi diri, juga bacaan bagi calon maba ITS yang mungkin sedang kepo-kepo.

Ada sebuah artikel di forum Kaskus yang menjadi renungan panjang saya. Ceritanya, hidup seorang sarjana yang lulus setelah menempuh kuliah tujuh tahun, dan kini masih menganggur hingga umurnya yang menjelang kepala tiga. Belum menikah, pula. Makan masih minta suap orangtua. Padahal seorang pria.

Saya bergumam. Kuliah itu berat. Tapi kehidupan setelahnya bisa jadi lebih runyam, kejam.

Di sini yang salah bukan lama dia berkuliah. Bukan salah usianya yang semakin tua juga. Setelah dianalisis, ternyata sang penulis (mungkin) masih belum menemukan jalan kehidupannya. Atau dengan arti lain, dia belum tahu mau jadi apa. Semasa kuliah pun, dia tidak memanfaatkan waktunya untuk menggembleng skill, dalam hal ini soft skill¬ nya. 

Alhasil, ketika masuk tahap wawancara kerja, dia gelagapan. Ditanya mengenai pengalaman, dia miskin. Indeks prestasinya juga minim. Kasihan memang, semoga Tuhan menyegerakan rejeki baginya. Namun kisah hidupnya menggertak banyak mahasiswa. Terutama saya.

Sudah mahasiswa. Lalu mau apa? Ikut kelas, mengerjakan tugas, bla bla. Itu saja?

Itu memang yang utama. Namun mengutip nasihat orang-orang besar, ‘hal-hal kecil yang kamu biasakan sejak sekarang bisa jadi adalah jalan menuju suksesmu kelak’. Dalam konteks mahasiswa, ‘hal-hal kecil’ di sini dapat diartikan banyak hal. Ada yang mengartikannya sebagai ketekunan menjalani sesuatu sejak dini, misalnya hobi atau mencuri-curi waktu mengembangkan bakat yang dimiliki.

Ada juga yang memaknai ‘hal kecil’ sebagai kebiasaan untuk bekerja keras, kebiasaan lembur, kebiasaan tidak tidur. "ITS ini dikenal akan mahasiswanya yang mau diajak kerja keras," petuah seorang alumnus suatu hari. Apapun persepsinya, intinya, segala hal yang menjadi kebiasaan kita sekarang akan berbuah sesuatu di masa depan.

Mari bandingkan cerita Kaskus tadi dengan seorang senior panutan saya di kampus perjuangan. Beliau juga lulus terlambat, meski tidak terlalu lama seperti mas-mas di atas. IPnya pernah jeblok. Namun begitu bersandang wisudawan, dia direkrut tiga perusahaan besar. Saat ditanya bagaimana caranya, dia hanya nyeletuk. "Dari jualan CV," katanya sambil terkekeh.

Dan begitu ditelusuri, pengalamannya semasa kuliah memang top. Pernah jadi ketua himpunan, pers resmi kampus, volunteer international office, magang di surat kabar nasional, dan sederet daftar yang seingat saya sepanjang dua halaman.

Ada lagi contoh lain. Kali ini mahasiswi. Tidak study oriented, pun bukan aktivis. Tapi kini dia sukses dengan dunia fotografi, bidang yang ia gemari sejak kecil. Padahal jurusannya saat kuliah berbau sains. Jangan ditanya lama masa kuliahnya. Karena sering meninggalkan kelas lantaran ikut kompetisi, seminar, dan kegiatan yang berhubungan dengan hobinya tersebut, kuliahnya keteteran. Berhenti kuliah pun sempat jadi pilihan.

Saya bukan bermaksud mengatakan bahwa lulus terlambat lebih baik daripada mereka yang lulus cepat. Tidak. Sama sekali bukan di situ poinnya. Yang saya tangkap di sini adalah apa-apa yang kudu dilakukan semasa kuliah, agar begitu bergelar sarjana maupun diploma, kita tak jadi manusia sia-sia. "Karena gelar saja jauh dari kata cukup," tutur salah satu mawapres ITS beberapa waktu lalu.

Kuliah memberi kita pada tiga pilihan. Menjadi mahasiswa yang fokus pada pendidikan, maniak organisator, atau golongan yang suka nongkrong dengan para pelaku titip absen di buku kehadiran. Ketiga-tiganya akan mengantarkan kita pada berbagai kemungkinan di masa depan. Karena apa yang dilakukan saat kuliah sesungguhnya membantu membentuk pribadi kita di waktu mendatang. Sebab kata orang, kuliah itu miniatur kehidupan.

Dan bisa jadi sebuah keberuntungan bagi kalian mahasiswa ITS yang dijuluki kampusnya para pejuang. Atmosfernya menuntut kerja keras, bahkan sejak baru melangkah dua bulan di kota pahlawan. Contoh umumnya, apalagi kalau bukan pengaderan. Selain kata sakral barusan, banyak hadir senior inspiratif yang tak sungkan berbagi kisah sukses mereka, motivator-motivator dadakan jika diajak berbicara mengenai masa depan. Juga sekelumit keadaan yang mau tidak mau memaksa kita untuk andil dalam suatu kepanitiaan, organisasi, atau bentuk pengembangan lainnya.

Sebagai penutup, saya mengutip chat kakak tingkat yang dikirim barusan. "Hidup itu keras. Maka jangan biarkan dirimu terus berpangku tangan menyalahkan keadaan. Tak ada salahnya mengeraskan diri sejak sekarang. Kelak saat menapaki kehidupan yang liar di luar, kau akan tahu makna sebenarnya sebuah pengaderan."

Dari seorang mahasiswi yang belum lama menanggalkan kata ‘baru’ di belakang statusnya.

Taufiqotul Masrukha Tesha Nisva
Mahasiswi Angkatan 2015
Jurusan Statistika 
ITS

Berita Terkait