Aulia menuturkan, kurang lebih 290 triliun rupiah sebenarnya telah disediakan pemerintah untuk pemenuhan infrastruktur. Jumlah ini kian meningkat seiring pengurangan subsidi bahan bakar minyak.
Berbagai infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, pasar, jalan, perpipaan, irigasi hingga perumahan menjadi pilihan alokasi dana yang ada. "Sayangnya sektor perumahan, utamanya rumah sederhana belum menjadi idaman," tukasnya.
Meski telah diatur dalam perundangan bahwa setiap individu berhak akan rumah layak, nyatanya 7,6 juta keluarga di Indonesia pada tahun 2014 tidak memiliki rumah. Tak hanya itu, 3,4 juta unit rumah bahkan tidak layak disebut sebagai rumah.
Pemerintah menargetkan penurunan hingga lima juta unit untuk keluarga tanpa rumah dan 1,9 juta unit untuk rumah tak layak huni pada tahun 2019. "Caranya dengan program satu juta rumah," ujar Aulia.
Sayangnya hal ini tidak selaras dengan rendahnya minat akademisi bidang konstruksi dalam pengembangan rumah, utamanya rumah sederhana yang banyak dibutuhkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Kurangnya riset menjadi kendala pengembangan kontruksi rumah sederhana tersebut. "Padahal kebutuhan rumah sederhana mencapai 59 persen dari total kebutuhan hunian yang ada," tegasnya.
Mirisnya, tambah Aulia, pemerintah sendiri bahkan terkesan menghambat program satu juta rumah tersebut. Terbukti dari pembatasan jumlah rumah yang membuat pihak pengembang menekan kualitas rumah yang dibuat. "Akibatnya rumah pun hanya bertahan satu dua tahun saja, padahal penghuni rumah sederhana banyak yang tak mampu merenovasi rumahnya sendiri," jelas pria asal Padang Panjang ini.
Salah satu solusi yang menurut Aulia belum banyak dikembangkan adalah rumah fabrikasi yang dibangun dengan bahan-bahan pabrik. Rumah fabrikasi dipilih karena banyak memiliki keunggulan, mulai dari kualitasnya, ukurannya yang presisi, cepat dalam pengerjaan hingga karakteristiknya yang ramah lingkungan.
"Ukurannya yang presisi bahkan memungkinkan pekerja tanpa skill tertentu mampu mengerjakannya dengan maksimal," ucap Aulia.
Bahan fabrikasi yang kini tengah dikembangkan terdiri dari dinding, kusen dan struktur rumah itu sendiri. Bahan ini juga dirancang dengan material khusus seperti styrofoam dan sabut kelapa demi terciptanya bahan yang ringan namun tetap kokoh.
Cepatnya pembangunan rumah fabrikasi memungkinkan pembangunan 50 unit rumah tipe 36 dengan 20 pekerja hanya dikerjakan dalam dua bulan. Keunggulan ini menjadi hal penting dalam realisasi program satu juta rumah yang hanya membutuhkan waktu lima tahun. "Kalau mau membuat model fabrikasi sendiri tinggal menambah sekitar sembilan pekerja lagi," tuturnya.
Sayangnya, riset rumah fabrikasi ini masih sangat kurang. Beberapa riset masih perlu dikembangkan untuk menutup kekurangan rumah fabrikasi, seperti modelnya yang terbatas dan strukturnya yang kurang rapi. Selain itu masyarakat juga masih belum familiar dengan rumah fabrikasi ini.
Tak hanya itu, ayah dua anak ini juga menjelaskan kurangnya pasar yang menjadi salah satu penghambat pengembangan rumah fabrikasi. Banyak pihak kontraktor yang masih mengeluhkan mahalnya harga bahan fabrikasi.
"Lagi-lagi riset sangat penting di sini. Sarjana teknik sipil masih terlalu fokus dengan jembatan, bangunan tinggi dan jalan padahal rumah fabrikasi masih butuh perhatian," pungkasnya. (arn/pus)
Kampus ITS, ITS News – Dedikasi tinggi dalam membumikan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kembali mengantarkan dosen Departemen
Kampus ITS, ITS News – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kian mengukuhkan kiprahnya di bidang teknologi robotika melalui
Kampus ITS, ITS News — Sebagai upaya membuka akses pendidikan yang lebih luas, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) memperkenalkan
Kampus ITS, ITS News — Salah satu lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berhasil membuat inovasi yang luar biasa