Kanan kosong, kiri kosong, Bos. Familiar? Itu adalah kalimat yang biasa diungkapkan kernet bus di Indonesia untuk memandu laju bus. Asal kosong langsung terobos. Siapa peduli itu jalur untuk motor atau bahkan jalur yang berlawanan arah. Namun, apakah benar bus adalah dalang angka kecelakaan lalu lintas tinggi seperti mitos masyarakat?
Saat melihat berita di televisi dua hari yang lalu, saya sempat terkejut melihat angka kecelakaan selama musim mudik yang sangat tinggi. Dari laporan berita di Metro TV, Setidaknya ada 856 kasus kecelakaan selama lima hari arus mudik. Lima puluh persennya adalah pengendara kendaraan roda dua. Sedangkan, angka korban meninggal mencapai 170 jiwa lebih.
Padahal angka ini sudah menurun dibandingkan angka kecelakaan tahun lalu. Lebaran tahun lalu, ada 1000 lebih kasus kecelakaan lalu lintas dengan 200 lebih korban jiwa. Bukankah angka ini sangat mengerikan? Bayangkan saja, ada 200 keluarga yang harus memakamkan sanak keluarganya saat harusnya menghapus rasa rindu di Hari Raya Idul Fitri.
Masyarakat tentunya punya seribu satu alasan untuk menyalahkan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah yang dituduh melakukan korupsi dana pembangunan jalan, infrastruktur yang tidak memadai, hingga supir bus yang ugal-ugalan. Namun, sebenarnya, jika kita mau jujur pada diri sendiri, kita sendiri adalah dalangnya.
Tentu saja tidak ada yang bisa menghindari musibah jika memang sudah digariskan. Namun, kita juga harus bercermin pada perilaku berkendara kita. Salah satu pengajar saya, Sabar SE MSi pernah bertanya di kelas Manajemen Pemasaran, siapa yang harus disalahkan ketika terjadi banyak sekali kecelakaan lalu lintas karena bus ugal-ugalan?
Jawaban kami pun klasik. Supir bus yang egois, supir bus yang mengantuk, supir bus yang cuman peduli duit tapi tidak keselamatan. Namun, kami terhenyak ketika beliau mengungkapkan yang salah ya kita sendiri. "Bayangkan saja bila ada bus yang jalannya pelan, hati-hati. Masak laku?" celetuk beliau saat itu.
Di saat yang bersamaan, jawaban tersebut juga terkait pada hal yang lebih besar, yakni perilaku berkendara masyarakat di Indonesia. Perilaku yang bagaimana? Tentunya perilaku berkendara yang berorientasi asal cepat sampai. ‘Asal’ karena mayoritas pengguna jalan di Indonesia hanya memperhatikan faktor cepat, bukan keselamatan.
Di kelas yang sama, saya juga sempat membaca penelitian perilaku konsumen yang mengungkapkan kalau keselamatan dan ramah lingkungan adalah dua hal yang paling tidak popular di kalangan konsumen Indonesia. Lengkaplah sudah jawaban mengapa angka kecelakaan di Indonesia amat besar.
Parahnya mindset tersebut juga diadopsi dengan sempurna di perilaku kendaraan umum Indonesia. Kalau tidak cepat, kita enggan menaikinya. Seperti punya 1000 nyawa, kita membuang jauh faktor keselamatan. Jadilah semua kendaraan umum di jalan raya negeri ini berperilaku sama dengan penumpangnya.
Bukti betapa kita memiliki mindet yang sangat menyepelekan keselamatan nampak jelas. Lihat saja sekeliling kita, atau mungkin pada cermin juga. Sudahkah kita memakai helm bahkan di jalan yang tidak dijaga polisi? Apakah kita menarik gas atau rem ketika lampu lalu lintas berubah kuning? Apa kita menyalakan lampu insyarat ketika akan mendahului kendaraan di depan kita? Apa kita ikut membunyikan bel ke kendaraan di depan kita padahal lampu belum hijau?
Tak perlu menjawab pertanyaan di atas keras-keras. Karena tulisan ini bukan ajang pembuktian diri atau pengakuan dosa. Kesalahan diatas mungkin sangat umum di lingkungan kita. Namun, dosa bersama atau tidak, perilaku tersebut merupakan contoh kontribusi kecil kita pada tingginya angka kecelakaan di negeri ini.
Tentu saja selain perilaku pengguna, banyak faktor lain yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Misalnya saja ‘ranjau’ jalan raya yakni lubang jalan menganga, jalur kereta api tak berpalang, jalan beraspal yang tidak rata hingga faktor alam seperti cuaca. Namun, lebih bijak harusnya faktor tersebut dibarengi dengan peningkatan kewaspadaan pengguna jalan. Bukan malah menjadi arena balapan dan atraksi menghindar dari rintangan layaknya film aksi di Hollywood.
Untuk itulah, sebagai pengguna jalan raya, kita harus senantiasa memperhatikan etika berkendara. Merubah seluruh masyarakat menjadi langsung tertib berlalu lintas tentunya sangat mustahil. Namun setidaknya kita bisa melakukan perubahan kecil, yakni dengan merubah mindset dan perilaku berkendara kita. Perubahan kecil yang dilakukan banyak orang pasti lama-kelamaan akan mengubah wajah lalu lintas Indonesia.
Daripada sibuk mencari kambing hitam dari tingginya angka kematian di jalan raya, lebih baik mengubah diri sendiri dan orang di sekitar kita agar selalu mengutamakan keselamatan. Baru kendaraan umum akan menuruti permintaan penggunanya. Jangan sampai jalan raya yang dibangun untuk memudahkan jalan pulang, malah menjadi jalan tol kita ke akhirat.
Saktia Golda S
Mahasiswa Jurusan Desain Produk Industri
Angkatan 2013